Simpan Sertifikat Tanah di Lokasi Transmigrasi Sebagai Kenang-kenangan
Kisah Pengungsi Eks Timtim di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng
Sertifikat itu masih disimpan Nengah Kisid, satu dari 107 KK warga Pengungsi Eks Timtim, yang kini tinggal di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Desa Sumberklampok, Gerokgak, Buleleng.
SINGARAJA, NusaBali
Nengah Kisid, 56, warga Banjar Dinas Bukit Sari, Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, nampak tergopoh-gopoh keluar dari pintu samping rumahnya, Sabtu (16/10). Di tangan kanannya dia memegang tiga bendel kertas hijau muda, warna khas yang dikeluarkan Badan Pertanahan Negara (BPN).
Pria 58 tahun itu dengan bangga menunjukkan tiga Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dimilikinya. Luas tanahnya pun cukup fantastis. Bidang SHM pertama seluas 25 are, kemudian bidang kedua seluas 1 hektare dan bidang ketiga seluar 75 are. Sayangnya lokasi lahan dalam sertifikatnya itu beralamat di Desa Beco, Kecamatan Suai Kota, Kabupaten Covalima, Timor Timur (kini Negara Timor Leste).
Tiga bidang sertifikat itu masih disimpan dengan apik oleh Kisid, salah satu dari 107 KK warga Pengungsi Eks Timtim, yang kini tinggal di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng. Bidang sertifikat itu merupakan salah satu bukti dan kenang-kenangan pernah hidup di rantauan.
Ayah empat anak ini pun menceritakan kisah bersejarah dalam hidupnya saat menjadi transmigran di Timor Timur.
Dia dan istrinya Luh Sumantri memutuskan untuk ikut program transmigrasi pada tahun 1985 silam. Alasannya klasik, karena terlahir dari keluarga kurang mampu dan orangtuanya hanya sebagai petani penggarap asal Desa Sari Mekar, Kecamatan/Kabupaten Buleleng.
Kisid dan Sumantri yang saat itu masih pengantin baru, memiliki harapan dan cita-cita masa depan hidup yang lebih mapan. Mereka pun membulatkan tekad untuk meraih impiannya di tanah rantauan, bersama sejumlah keluarga dari Bali. Upayanya merabas hutan dan menciptakan lahan pertanian produktif di Kovalima, Timtim saat itu disebutnya sudah berhasil. Bahkan hasil pertaniannya juga sudah menjajal kawasan Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Kurang lebih dua tahun lahan sudah menghasilkan. Di sana tanahnya produktif, air juga tersedia melimpah. Kami saat itu sudah senang dan hidup enak. Kadang hasil pertanian palawija juga dijual sampai ke Kupang,” ceritanya saat ditemui di rumahnya. Program transmigrasi untuk pemerataan penduduk pun memberinya keuntungan. Bahkan luas lahan garapan 1,75 hektare sudah menjadi hak milik. Selain menanam palawija dan sayur mayur, Kisid dan transmigran eks Timtim lainnya juga bertani padi.
Namun mimpinya untuk hidup enak dan tenang tak dapat berjalan mulus karena jajak pendapat dan referendum Kemerdekaan Timor Timur tahun 1999. Kondisi tersebut membuat dia dan keluarganya harus kembali pulang ke Bali dan mengubur impian dan capaiannya selama di lokasi transmigran. “Yang bisa saya bawa pulang hanya sertifikat ini. Walaupun sudah tidak bisa digunakan lagi, ini satu-satunya kenangan saya dan keluarga pernah hidup di Timor Timur,” kenang Kisid.
Situasi Timor Timur diceritakannya sudah tidak kondusif jelang dua tahun referendum tahun 1999. Suara baku tembak antara kelompok pro merdeka dengan prajurit RI sangat jelas terdengar dari permukimannya. Bahkan dia dan transmigran lain selama dua tahun penuh, ketika keluar kampung untuk berkegiatan harus menyertakan surat jalan.
Namun transmigran warga Indonesia tak pernah mendapatkan serangan langsung. “Mereka perangnya dengan TNI dan Polisi. Kalau melawan rakyat sipil sih tidak,” imbuh dia. Hingga akhirnya di hari terakhir jajak pendapat tanggal 10 September 1999, dia dan sejumlah transmigran dijemput TNI/Polri untuk dipulangkan ke daerah asal. Perjalanan pulang ke Bali pun diceritakannya begitu panjang, dengan kondisi tersebut. Bahkan sebelum sampai Kupang, NTT, mereka sempat bermalam di Dili (ibukota Timtim). Kemudian setelah sampai di Kupang ditampung dan bermalam di Bundaran Pu Kupang, NTT. Lalu diberangkatkan dengan kapal Dobonsolo dari Kupang ke Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali dengan waktu tempuh selama 26 jam.
“Setelah dijemput Bupati Buleleng kala itu bapak Ketut Wirata Sindhu, kami mengungsi seminggu di gedung kesenian. Kemudian karena kami tidak punya aset dan lahan di desa asal kami ditempatkan di Gedung Transito yang sekarang jadi Kantor Imigrasi. Persis setahun di sana, sampai 9 September 2000 kami ditempatkan di sini (Sumberklampok,red),” kisahnya.
Di lahan yang masuk Hutan Produksi Terbatas (HPT) KLHK RI ini, sebanyak 107 KK pengungsi Eks Timtim diberikan kesempatan pemerintah pusat untuk menempati lahan pekarangan seluas 4 are dan lahan garapan masing-masing 50 are. Saat tiba di Sumberklampok, pengungsi Eks Timtim harus membuka lahan pertanian. Mereka pun bergotong-royong merabas semak belukar untuk dijadikan tempat tinggal dan lahan pertanian produktif.
“Kami 107 KK tidak hanya dari Buleleng, ada 46 KK berasal dari Karangasem, 2 KK dari Badung, sisanya 59 KK baru dari Buleleng. Tetapi kami berkumpul di sini karena di daerah asal kami tidak punya lahan untuk ditinggali,” kata Kisid. Perjuangan pengungsi Eks Timtim mengubah semak belukar menjadi lahan pertanian produktif dilakukan hampir dua bulan. Mereka yang memulai hidupnya kembali dari nol, dua tahun hidup di rompyok (gubuk yang dibangun dari anyaman daun kelapa kering,red). Hingga pada tahun 2002, Kementerian Sosial memberikan bantuan bahan bangunan, berupa batako, pair, semen, asbes, kayu hingga triplek untuk membangun rumah berukuran 3x6 meter.
Setelah mendapatkan rumah yang lebih layak meski hanya semi permanen, pengungsi Eks Timtim lebih menggiatkan kinerja mereka di ladang. Hasil ladangnya berupa produk palawija seperti jagung, cabai, kacang tanah, jeruk, dan sejumlah jenis kacang-kacangan. Pekerjaan mengolah lahan itu sudah hingga kini sudah dijalani selama 21 tahun.
Setelah dipulangkan ke Bali dan ketidakpastian nasib mereka atas lahan yang ditempati dan digarap, pengungsi Eks Timtim sempat memperjuangkan hak mereka mendapatkan lahan sebagai hak milik. Namun upaya dan perjuangan tersebut berlarut dan bertahun-tahun, hingga baru mendapatkan arah terang tahun ini.
Selama 21 tahun terakhir, status pengungsi Eks Timtim menggantung. Mereka hanya mendapatkan izin pengelolaan lahan. Perjuangan untuk mendapatkan hak milik atas lahan yang ditempati dan digarap pun sempat dilakukan dengan sejumlah aksi. Bahkan Kisid yang dipercaya sebagai Ketua Tim Kerja Pengungsi Eks Timtim sempat datang langsung ke kementerian menanyakan kepastian pada tahun 2000 silam.
Namun kejelasan penyelesaian konflik agraria pengungsi Eks Timtim tahun ini menemukan secercah harapan baru bagi mereka. Komitmen pemerintah daerah dan provinsi untuk menyelesaikan persoalan lahan warga Eks Timtim disambut bahagia. 107 KK warga Eks Timtim yang terdata awal pun sepakat akan memohon lahan yang ditempati dan digarap mereka. Sedangkan 12 KK pecahan tidak diusulkan, namun akan diberikan bagian dari tanah desa. Sementara itu saat ini pemerintah desa yang didampingi oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Bali sedang berproses menunggu rekomendasi Bupati Buleleng untuk pengusulan pelepasan lahan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). *k23
Pria 58 tahun itu dengan bangga menunjukkan tiga Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dimilikinya. Luas tanahnya pun cukup fantastis. Bidang SHM pertama seluas 25 are, kemudian bidang kedua seluas 1 hektare dan bidang ketiga seluar 75 are. Sayangnya lokasi lahan dalam sertifikatnya itu beralamat di Desa Beco, Kecamatan Suai Kota, Kabupaten Covalima, Timor Timur (kini Negara Timor Leste).
Tiga bidang sertifikat itu masih disimpan dengan apik oleh Kisid, salah satu dari 107 KK warga Pengungsi Eks Timtim, yang kini tinggal di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng. Bidang sertifikat itu merupakan salah satu bukti dan kenang-kenangan pernah hidup di rantauan.
Ayah empat anak ini pun menceritakan kisah bersejarah dalam hidupnya saat menjadi transmigran di Timor Timur.
Dia dan istrinya Luh Sumantri memutuskan untuk ikut program transmigrasi pada tahun 1985 silam. Alasannya klasik, karena terlahir dari keluarga kurang mampu dan orangtuanya hanya sebagai petani penggarap asal Desa Sari Mekar, Kecamatan/Kabupaten Buleleng.
Kisid dan Sumantri yang saat itu masih pengantin baru, memiliki harapan dan cita-cita masa depan hidup yang lebih mapan. Mereka pun membulatkan tekad untuk meraih impiannya di tanah rantauan, bersama sejumlah keluarga dari Bali. Upayanya merabas hutan dan menciptakan lahan pertanian produktif di Kovalima, Timtim saat itu disebutnya sudah berhasil. Bahkan hasil pertaniannya juga sudah menjajal kawasan Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Kurang lebih dua tahun lahan sudah menghasilkan. Di sana tanahnya produktif, air juga tersedia melimpah. Kami saat itu sudah senang dan hidup enak. Kadang hasil pertanian palawija juga dijual sampai ke Kupang,” ceritanya saat ditemui di rumahnya. Program transmigrasi untuk pemerataan penduduk pun memberinya keuntungan. Bahkan luas lahan garapan 1,75 hektare sudah menjadi hak milik. Selain menanam palawija dan sayur mayur, Kisid dan transmigran eks Timtim lainnya juga bertani padi.
Namun mimpinya untuk hidup enak dan tenang tak dapat berjalan mulus karena jajak pendapat dan referendum Kemerdekaan Timor Timur tahun 1999. Kondisi tersebut membuat dia dan keluarganya harus kembali pulang ke Bali dan mengubur impian dan capaiannya selama di lokasi transmigran. “Yang bisa saya bawa pulang hanya sertifikat ini. Walaupun sudah tidak bisa digunakan lagi, ini satu-satunya kenangan saya dan keluarga pernah hidup di Timor Timur,” kenang Kisid.
Situasi Timor Timur diceritakannya sudah tidak kondusif jelang dua tahun referendum tahun 1999. Suara baku tembak antara kelompok pro merdeka dengan prajurit RI sangat jelas terdengar dari permukimannya. Bahkan dia dan transmigran lain selama dua tahun penuh, ketika keluar kampung untuk berkegiatan harus menyertakan surat jalan.
Namun transmigran warga Indonesia tak pernah mendapatkan serangan langsung. “Mereka perangnya dengan TNI dan Polisi. Kalau melawan rakyat sipil sih tidak,” imbuh dia. Hingga akhirnya di hari terakhir jajak pendapat tanggal 10 September 1999, dia dan sejumlah transmigran dijemput TNI/Polri untuk dipulangkan ke daerah asal. Perjalanan pulang ke Bali pun diceritakannya begitu panjang, dengan kondisi tersebut. Bahkan sebelum sampai Kupang, NTT, mereka sempat bermalam di Dili (ibukota Timtim). Kemudian setelah sampai di Kupang ditampung dan bermalam di Bundaran Pu Kupang, NTT. Lalu diberangkatkan dengan kapal Dobonsolo dari Kupang ke Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali dengan waktu tempuh selama 26 jam.
“Setelah dijemput Bupati Buleleng kala itu bapak Ketut Wirata Sindhu, kami mengungsi seminggu di gedung kesenian. Kemudian karena kami tidak punya aset dan lahan di desa asal kami ditempatkan di Gedung Transito yang sekarang jadi Kantor Imigrasi. Persis setahun di sana, sampai 9 September 2000 kami ditempatkan di sini (Sumberklampok,red),” kisahnya.
Di lahan yang masuk Hutan Produksi Terbatas (HPT) KLHK RI ini, sebanyak 107 KK pengungsi Eks Timtim diberikan kesempatan pemerintah pusat untuk menempati lahan pekarangan seluas 4 are dan lahan garapan masing-masing 50 are. Saat tiba di Sumberklampok, pengungsi Eks Timtim harus membuka lahan pertanian. Mereka pun bergotong-royong merabas semak belukar untuk dijadikan tempat tinggal dan lahan pertanian produktif.
“Kami 107 KK tidak hanya dari Buleleng, ada 46 KK berasal dari Karangasem, 2 KK dari Badung, sisanya 59 KK baru dari Buleleng. Tetapi kami berkumpul di sini karena di daerah asal kami tidak punya lahan untuk ditinggali,” kata Kisid. Perjuangan pengungsi Eks Timtim mengubah semak belukar menjadi lahan pertanian produktif dilakukan hampir dua bulan. Mereka yang memulai hidupnya kembali dari nol, dua tahun hidup di rompyok (gubuk yang dibangun dari anyaman daun kelapa kering,red). Hingga pada tahun 2002, Kementerian Sosial memberikan bantuan bahan bangunan, berupa batako, pair, semen, asbes, kayu hingga triplek untuk membangun rumah berukuran 3x6 meter.
Setelah mendapatkan rumah yang lebih layak meski hanya semi permanen, pengungsi Eks Timtim lebih menggiatkan kinerja mereka di ladang. Hasil ladangnya berupa produk palawija seperti jagung, cabai, kacang tanah, jeruk, dan sejumlah jenis kacang-kacangan. Pekerjaan mengolah lahan itu sudah hingga kini sudah dijalani selama 21 tahun.
Setelah dipulangkan ke Bali dan ketidakpastian nasib mereka atas lahan yang ditempati dan digarap, pengungsi Eks Timtim sempat memperjuangkan hak mereka mendapatkan lahan sebagai hak milik. Namun upaya dan perjuangan tersebut berlarut dan bertahun-tahun, hingga baru mendapatkan arah terang tahun ini.
Selama 21 tahun terakhir, status pengungsi Eks Timtim menggantung. Mereka hanya mendapatkan izin pengelolaan lahan. Perjuangan untuk mendapatkan hak milik atas lahan yang ditempati dan digarap pun sempat dilakukan dengan sejumlah aksi. Bahkan Kisid yang dipercaya sebagai Ketua Tim Kerja Pengungsi Eks Timtim sempat datang langsung ke kementerian menanyakan kepastian pada tahun 2000 silam.
Namun kejelasan penyelesaian konflik agraria pengungsi Eks Timtim tahun ini menemukan secercah harapan baru bagi mereka. Komitmen pemerintah daerah dan provinsi untuk menyelesaikan persoalan lahan warga Eks Timtim disambut bahagia. 107 KK warga Eks Timtim yang terdata awal pun sepakat akan memohon lahan yang ditempati dan digarap mereka. Sedangkan 12 KK pecahan tidak diusulkan, namun akan diberikan bagian dari tanah desa. Sementara itu saat ini pemerintah desa yang didampingi oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Bali sedang berproses menunggu rekomendasi Bupati Buleleng untuk pengusulan pelepasan lahan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). *k23
1
Komentar