Wajib PCR Penumpang Pesawat, Arimbawa: Bali Jangan Di-Prank Terus
DENPASAR, NusaBali.com – Denyut pariwisata Bali yang bergerak sejak bulan September 2021, kini terancam kembali mampet. Penyebabnya adalah diberlakukannya kembali kewajiban rapid test (RT) PCR bagi pelaku perjalanan udara yang masuk ataupun keluar dari Pulau Dewata.
Sebelumnya, berdasar Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 38 Tahun 2021 yang terbit 30 Agustus lalu, pelaku perjalanan udara yang sudah melaksanakan dua kali vaksin, hanya perlu melakukan rapid antigen. Kini Inmendagri Nomor 53 Tahun 2021 yang dikeluarkan pada 18 Oktober 2021 kembali mewajibkan tes berbasis polymerase chain reaction (PCR) bagi penumpang pesawat.
“Aneh, saat Bali berada di PPKM Level 4 hanya diberlakukan persyaratan rapid antigen. Sekarang Bali PPKM Level 2 malah dipersulit dengan PCR,” tanya Ketua DPD Partai Hanura Bali, Kadek Arimbawa, Sabtu (23/10/2021).
Arimbawa menyebut kebijakan ini seolah-olah ‘prank’ bagi pariwisata Bali yang antusias menyambut mulai mengalirnya wisatawan ke Pulau Seribu Pura sejak bulan September lalu.
“Kita semua sudah bersemangat, para pelaku jasa pariwisata juga sudah bersiap menyambut wisatawan. Sekarang tiba-tiba orang dipersulit datang ke Bali. Bali jangan di-prank terus!,” sembur Senator DPD RI Dapil Bali periode 2009-2014 dan 2014-2019 ini.
Diingatkan oleh Arimbawa jika kebijakan ‘prank’ ini bukan sekali ini saja menimpa Bali. “Mulai Juli 2020, lalu September 2020, dan sebelumnya juga Desember 2020. Awalnya dikasih angin surga, lalu tiba-tiba dilakukan perubahan kebijakan hingga membuat banyak orang, khususnya pelaku jasa pariwisata kalang-kabut,” urai Arimbawa.
Politisi yang juga dikenal sebagai seniman ini mengungkap jika masih satu tahun, masyarakat Bali masih bisa bersabar. “Namun kita sudah mengalami krisis hampir dua tahun. Jangan samakan dengan kita-kita yang masih bisa makan, di luar sana banyak lho yang tidak tahu besok bisa makan atau tidak. Apalagi bansos juga tidak diterima semua yang membutuhkan,” ujarnya.
Arimbawa mengaku heran lantaran pemerintah menerapkan kebijakan PCR yang harus dibayar Rp 495.000 – Rp 525.000. " Pemerintah agar kaji ulang kebijakan syarat PCR untuk penerbangan, karena terlalu mahal dan masa berlakunya juga hanya dua hari. Artinya wisatawan ke Bali harus dua kali melakukan PCR," kata Arimbawa.
Menurut Arimbawa, kewajiban PCR semakin memberatkan masyarakat untuk menjalankan mobilitas menggunakan transportasi udara. Oleh karena itu, dia meminta pemerintah kembali mengkaji ulang penerapan PCR untuk syarat penerbangan.
"Bukan karena dia orang kaya bisa naik pesawat, dan juga bukan orang miskin dia naik transportasi darat, tapi karena kebutuhan masyarakat dalam melakukan perjalanannya," tandas Arimbawa.
Terkait statemen dari Ketua Satuan Tugas (Satgas) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban yang mengatakan bahwa risiko pesawat lebih tinggi karena berada di tempat tertutup, Arimbawa pun mempertanyakan teknologi pada pesawat yang sudah ada.
”Seharusnya tidak demikian. Karena saat ini pesawat terbang telah dilengkapi dengan sistem penyaring udara HEPA (High Efficiency Particulate Air),” kata Arimbawa.
Sebelumnya sebuah riset menyatakan bahwa dengan adanya HEPA ruang kabin memiliki kemampuan untuk menghilangkan hingga 99,99 persen airborne particles dari dalam kabin pesawat.
“Artinya udara dalam kabin pesawat terbang sangat aman dari risiko penularan virus Covid-19. Dan ini juga sudah disampaiakan langsung oleh otorita penerbangan sejak tahun lalu,” ungkap Arimbawa.
Oleh karena itu, Arimbawa meminta agar syarat penerbangan dicukupkan kembali kepada syarat sudah melakukan dua kali vaksin. Adapun PCR dilakukan hanya untuk mereka yang belum vaksin lengkap. ”Kebijakan ini tentunya juga akan semakin mendorong masyarakat menunaikan dua kali vaksin,” tuntas Arimbawa. *mao
Komentar