Dambakan Bantuan Alat dan Akses Pasar
Perajin Kecil Anyaman Bambu di Tigawasa, Buleleng
SINGARAJA, NusaBali
Puluhan perajin jenis sok atau besek (bakul) di Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, masih bekerja dengan peralatan sangat sederhana.
Mereka bekerja mulai dari memotong dan memecah bambu hingga menganyam sebitan (sisiran) helai bambu. Perajin kecil ini sangat mendambakan akses pasar. Pantauan di rumah-rumah kerajinan setempat, tak terlihat ada sentuhan teknologi industri lebih modern di tangan perajin. Misal, untuk membelah bambu hingga nyebit (menyisir bilah bambu agar jadi beberapa bagian) hanya menggunakan pisau. Padahal teknis kerja ini bisa lebih praktis jika memakai pisau cincin catok berbahan besi baja. Alat pemecah bambu seperti ini telah banyak dan lazim dipakai para perajin berbahan bambu di luar Bali, terutama Jawa. Alat tersebut mudah dibuat dan saat pemakaian hanya perlu sedikit tenaga. Bambu yang akan dibelah jadi enam atau delapan helai, cukup dipasang pada pisau cincin catok, lanjut didorong dengan tenaga ringan.
Kerja kerajinan sangat tradisional itu, salah satunya dilakoni salah seorang perajin gedek di Banjar Dinas Kunci, Desa Tigawasa, Putu Sulaksana,47. Putu menekuni bidang kerajinan anyaman bambu sejak puluhan tahun. Kerajinan ini ditekuni karena meneruskan tradisi penghidupan para tetua di banjar sekitar. Tak hanya di banjar, mayoritas masyarakat Desa Tigawasa menekuni bidang kerajinan anyaman bambu. Mulai dari membuat bedeg/gedek, sok, hingga bakul untuk wadah banten atau upakara persembahyangan secara Hindu.
Namun Putu lebih khusus membuat anyaman bedeg dari kulit bambu. Sebagaimana umumnya, bedeg ini lebih banyak dimanfaatkan masyarakat untuk plafon rumah. Banyak juga dipakai warga untuk plafon rumah semi mewah berarsitektur Bali. Palinggih baik di sanggah atau mrajan dan pura, karena tuntutan arsitektur balinya, juga masih sangat padu untuk penggunaan bedeg ini. Yang jelas, plafon dan pelapis dari bedeg menjadikan bangunan tampak lebih klasik.
"Alat kerja tiyange kari sederhana gati (alat kerja saya masih sangat sederhana sekali)," ujar Putu saat ditemui beberapa waktu lalu di rumahnya.
Untuk memproduksi bedeg, Putu hanya mengandalkan tak lebih dari dua alat. Satu berupa pisau ukuran sedang untuk membelah bambu. Satu lagi pisau penyebit atau nyisir bambu agar jadi helai-helai siap anyaman.
Biasanya Putu mencari bambu bahan gedek di tegalan sendiri. Bambu dipotong rata-rata panjang antara 4 meter dan 3 meter. Ukuran panjang ini untuk membuat bedeg ukuran 4 meter x 3 meter. Jika harus membuat bedeg lebih lebar, antara lain 5 meter x 5 meter tentu perlu sambungan helai anyaman. Namun kualitas bedeg tetap kokoh, terlebih jenis bedeg kulit bambu. Lapisan bambu basang atau bagian tengah dipakai bahan anyaman sok atau besek.
Bedeg berbahan kulit bambu atau bedeg tundu ini dijual antara Rp 30.000 – Rp 35.000/meter. Putu mengaku lebih sering melayani permintaan toko bangunan untuk menjual kembali bedeg ini. Jarang ada orang langsung beli bedeg ke perajin. ‘’Dari kerja kerajinan ini, tiyang hanya bisa menghasilkan rata-rata Rp 80.000/hari,’’ ujar laki-laki berperawakan kokoh ini.
Tak sendiri. Putu juga menjaga tradisi kerajinan bambu Tigawasa bersama sang istri, Putu Sri Dewi,45, dan keluarga. Namun Putu Sri dan mertua, lebih banyak terjun sebagai perajin anyaman berbahan bambu jenis sok atau bakul. Sang istri dan ibu kandung Putu, lebih sering membuat besek untuk pelapis sok banten. Industri ini pun selain rumit juga jauh dari harapan ada untung wajar. Sebab seorang perajin hanya bisa membuat sekitar 6 besek/sok. Harga jual sok ini hanya Rp 5.000/buah. Harga ini belum termasuk nilai ekonomi bahan baku bambu yang hanya petik di kebun. ‘’Sok niki untungne tipis gati. Niki pang kawala anggen ngijeng jumah manten (untuk pembuatan sok ini untungnya sangat tipis. Membuat kerajinan ini hanya sambilan jaga rumah saja),’’ jelas Putu Sulaksana di rumahnya, Banjar Dinas Kunci.
Putu berharap pemerintah atau pihak terkait bisa membantu dirinya dan perajin yang sama di Tigawasa. Setidaknya bantuan itu berupa peralatan yang lebih modern sehingga proses kerja lebih cepat dan lancar. Tak kalah penting juga bantuan permodalan dan peningkatan akses pasar. Sedangkan bahan baku berupa bambu, jelas Putu, masih tersedia di tegalan.*lsa
Komentar