Berpulang Jelang Dapat Penghargaan Bali Jani Nugraha
Penyair Ketut Syahruwardi Abbas Meninggal Dunia di Usia 62 Tahun
Meninggal di Monang Maning, jenazah Ketut Syahruwardi Abbas kemarin pagi dibawa pulang ke kampung halamannya di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng untuk dimakamkan
DENPASAR, NusaBali
Setelah kepergian Mahaguru Umbu Landu Paranggi pada 4 April 2021 lalu, kini dunia sastra di Bali kembali berduka. Ini menyusul meninggalnya penyair Ketut Syahruwardi Abbas, 62, di rumahnya kawasan Monang Maning, Denpasar Barat, Kamis (28/10) sore pukul 16.45 Wita. Almarhum berpulang buat selamanya hanya sepekan menjelang dianugerahi penghargaan Bali Jani Nugraha 2021 oleh Pemp-rov Bali, 6 November 2021 depan.
Jenazah penyair Ketut Syahruwardi Abbas sempat disemayamkan semalaman di rumah duka di Perumnas Monang Maning. Kemudian, Jumat (29/10) pagi sekitar pukul 07.30 Wita, jenazah penyair berusia 62 tahun yang akrab dipanggil Bung Abbas ini diberangkatkan ke kampung halamannya di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng untuk dimakamkan.
Menurut sahabat dekat Bung Abbas, yakni penyair Warih Wisatsana, almarhum memang sudah lama sakit-sakitan, namun tubuhnya masih bugar. Kepergiannya pun tidak ada yang menyangka, karena dalam kesehariannya Bung Abbas masih terlihat penuh semangat dan aktif menghadiri berbagai kegiatan, termasuk urusan berksenian.
“Almarhum sebenarnya memang sudah sakit-sakitan. Kalau tidak salah, penyakit gula. Tapi, kondisi tubuhnya terlihat masih baik. Hanya saja, tiba-tiba beliau meninggalkan kita semua Kamis kemarin. Semoga jalannya lapang,” cerita Warih Wisatsana, Jumat kemarin.
Bung Abbas sebenarnya dalam waktu dekat akan menerima penghargan Bali Jani Nugraha dalam bidang sastra dari Pemprov Bali, serangkaian Festival Seni Bali Jani (FSBJ) III 2021 yang sedang berlangsung secara offline dan daring di Taman Budaya Provinsi Bali, Jalan Nusa Indah Denpasar. Menurut Warih, Bung Abbas sudah diverifikasi dan lolos menerima penghargaan Bali Jani Nugraha 2021, atas dedikasinya sebagai sastrawan dan penyair yang mumpuni, serta ikut andil mema-jukan dunia sastra di Bali.
Namun sayang, Tuhan berkehendak lain, Bung Abbas keburu tutup usia sebelum menerima penghargaan Bali Jani Nugraha tersebut. “Ya, Bli Abbas sudah diverifikasi dan rencananya akan menerima penghargaan Bali Jani Nugraha, 6 November 2021 nanti. Namun, takdir berkata lain. Kami sungguh merasa sangat kehilangan,” jelas Warih, penyair yang juga bertindak sebagai kurator di FSBJ III 2021.
Bung Abbas sendiri mulai jadi penyair sejak tahun 1980-an, seangkatan dengan Nyoman Wirata (yang lebih dikenal sebagai pelukis), almarhum Adhi Riyadi, dan Warih sendiri. Karya puisinya dimuat di berbagai media, seperti Bali Post, Nusa Tenggara (cikal bakal Harian NusaBali), Kompas, dan Republika.
Karya-karyanya juga terangkum dalam sejumlah buku bersama, seperti ‘Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta’ (2016). Buku puisi tunggalnya bertajuk Antara Kita (2018), yang diluncurkan di Bentara Budaya Bali, Jalan Bypass Prof Dr IB Mantra kawasan Desa Ketewel, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Bung Abbas juga cukup lama menemani para penyair muda di Jatijagat Kampung Puisi---kini bernama Jagijagat Kehidupan Puisi.
Warih mengenang kembali kedekatannya bersama almarhum Bung Abbas sejak tahun 1980-an. Warih mengaku mengenal betul sosok almarhum, baik sebagai penyair, penekun teater, jurnalis, maupun personal. Sebagai jurnalis, Warih dan Bung Abas sempat sama-sama bergabung di Harian Nusa Tenggara 1989-1990, bersama I Ketut Naria yang kini Pemimpin Redaksi NusaBali.
Menurut Warih, sosok Bung Abbas adalah pribadi yang hangat dan supel dalam bergaul. Lahir dari masyarakat yang akulturatif di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Bung Abbas memiliki karakter yang terbuka dengan siapa saja. “Beliau toleransinya tinggi dan sangat guyub. Kita sering saling meledek, karena itu bagian dari persahabatan,” kenang Warih.
Dari sisi kepenyairan, Warih mengakui sajak-sajak karya Bung Abbas memiliki kecenderungan otentik. Bung Abbas bisa melihat Bali dari sudut pandang yang lain. “Sajak-sajaknya agak berbeda dengan sebagian sajak-sajak milik teman lain yang ornamentik dengan kata-kata yang penuh kekayaan visual kebudayaan Bali. Nah, kalau Bli Abbas itu sajaknya lebih memasuki sisi lain dari Bali,” terang penyair kelahiran Salatiga, Jawa Tengah ini.
Bung Abbas berpulang buat selamanya dengan meninggalkan satu istri dan tiga anak. Dua pekan sebelum berpulang, almarhum sempat menjadi narasumber mengisi podcast ‘Tutur Tokoh’ yang digagas oleh Jatijagat Kehidupan Puisi.
Dalam podcast tersebut, almarhum Bung Abbas menceritakan suka duka perjuangan hidup yang dilaluinya, serta siapa yang menginspirasinya dalam bidang seni. Bung Abbas juga banyak bercerita tentang dirinya dan kebudayaan Desa Pegayaman, tanah kelahirannya.
Bung Abbas mengaku darah seni mengalir dari neneknya yang dulu seorang penari Bali. Sejak kecil, Bung Abbas memang dirawat oleh neneknya itu. Memasuki masa SMA, Bung Abbas mulai mengenal baca puisi dan drama. Kecintaannya pada seni moderen pun akhirnya menuntun Bung Abbas untuk melanjutkan kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan sempat bercita-cita menjadi pengajar teater.
Sepulang dari Jakarta, Bung Abbas sempat mengikuti tes menjadi pegawai pemerintah di Departemen Keuangan, dengan tempat penugasan di Singaraja, Buleleng. Dia berhasil lolos. Sayangnya, selama 6 tahun bekerja di pemerintahan, Bung Abbas melihat bobroknya birokrasi pada masa itu. Bung Abbas pun memutuskan keluar dari kerja di pemerintahan.
Keputusan untuk cabut itu mendapatkan dukungan dari mertuanya, yang seorang tokoh umat. Bahkan, mertuanya yang mengarahkan agar Bung Abbas memilih pekerjaan di bidang komunikasi. Maka, jadilah dia seorang jurnalis. Dengan menjadi jurnalis, Bung Abbas mengaku banyak sekali mendapatkan kesempatan menulis sastra.
“Mertua saya bilang waktu itu bilang, pensiun dengan pengetahuan jauh lebih baik daripada pensiun dengan uang. Akhirnya, saya mendalami jurnalistik. Saya tidak pernah menyesali apa pun yang sudah saya putuskan,” kata almarhum Bung Abbas dalam podcast tersebut.
Namun, saat menjadi jurnalis, Bung Abbas kerapkali mendapat intimidasi ketika liputan di masa Orde Baru. Berhenti dari dunia jurnalistik era 1990-an, Bung Abbas pun sempat nekat membangun perusahaan advertising di Jakarta.
Bung Abbas sendiri merupakan penyair kedua di Bali dalam kurun 6 bulan terakhir yang berpulang ke alam sunyi. Sebelumnya, mahaguru penyair Umbu Landu Paranggi, 77, telah lebih dulu meninggal dunia, 6 April 2021. Sang mahaguru kala itu menghembuskan napas terakhir dalam peratawan di RS Bali Mandara, Jalan Bypass Ngurah Rai Sanur, Denpasar Selatan dinihari sekitar pukul 03.55 Wita. Sebelum berpulang, sempat selama tiga hari dirawat di RS, sejak 3 April 2021.
Almarhum Umbu Landu Paranggi lahir di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, NTT, 10 Agustus 1943. Berkat sentuhan Umbu, lahir banyak penyair maupun sastrawan besar, seperti Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun, Korrie Layun Rampan, dan Linus Suryadi AG. Bung Abbas dan penyair Bali lainnya juga merupakan hasil sentuhan Umbu, *ind
Jenazah penyair Ketut Syahruwardi Abbas sempat disemayamkan semalaman di rumah duka di Perumnas Monang Maning. Kemudian, Jumat (29/10) pagi sekitar pukul 07.30 Wita, jenazah penyair berusia 62 tahun yang akrab dipanggil Bung Abbas ini diberangkatkan ke kampung halamannya di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng untuk dimakamkan.
Menurut sahabat dekat Bung Abbas, yakni penyair Warih Wisatsana, almarhum memang sudah lama sakit-sakitan, namun tubuhnya masih bugar. Kepergiannya pun tidak ada yang menyangka, karena dalam kesehariannya Bung Abbas masih terlihat penuh semangat dan aktif menghadiri berbagai kegiatan, termasuk urusan berksenian.
“Almarhum sebenarnya memang sudah sakit-sakitan. Kalau tidak salah, penyakit gula. Tapi, kondisi tubuhnya terlihat masih baik. Hanya saja, tiba-tiba beliau meninggalkan kita semua Kamis kemarin. Semoga jalannya lapang,” cerita Warih Wisatsana, Jumat kemarin.
Bung Abbas sebenarnya dalam waktu dekat akan menerima penghargan Bali Jani Nugraha dalam bidang sastra dari Pemprov Bali, serangkaian Festival Seni Bali Jani (FSBJ) III 2021 yang sedang berlangsung secara offline dan daring di Taman Budaya Provinsi Bali, Jalan Nusa Indah Denpasar. Menurut Warih, Bung Abbas sudah diverifikasi dan lolos menerima penghargaan Bali Jani Nugraha 2021, atas dedikasinya sebagai sastrawan dan penyair yang mumpuni, serta ikut andil mema-jukan dunia sastra di Bali.
Namun sayang, Tuhan berkehendak lain, Bung Abbas keburu tutup usia sebelum menerima penghargaan Bali Jani Nugraha tersebut. “Ya, Bli Abbas sudah diverifikasi dan rencananya akan menerima penghargaan Bali Jani Nugraha, 6 November 2021 nanti. Namun, takdir berkata lain. Kami sungguh merasa sangat kehilangan,” jelas Warih, penyair yang juga bertindak sebagai kurator di FSBJ III 2021.
Bung Abbas sendiri mulai jadi penyair sejak tahun 1980-an, seangkatan dengan Nyoman Wirata (yang lebih dikenal sebagai pelukis), almarhum Adhi Riyadi, dan Warih sendiri. Karya puisinya dimuat di berbagai media, seperti Bali Post, Nusa Tenggara (cikal bakal Harian NusaBali), Kompas, dan Republika.
Karya-karyanya juga terangkum dalam sejumlah buku bersama, seperti ‘Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta’ (2016). Buku puisi tunggalnya bertajuk Antara Kita (2018), yang diluncurkan di Bentara Budaya Bali, Jalan Bypass Prof Dr IB Mantra kawasan Desa Ketewel, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Bung Abbas juga cukup lama menemani para penyair muda di Jatijagat Kampung Puisi---kini bernama Jagijagat Kehidupan Puisi.
Warih mengenang kembali kedekatannya bersama almarhum Bung Abbas sejak tahun 1980-an. Warih mengaku mengenal betul sosok almarhum, baik sebagai penyair, penekun teater, jurnalis, maupun personal. Sebagai jurnalis, Warih dan Bung Abas sempat sama-sama bergabung di Harian Nusa Tenggara 1989-1990, bersama I Ketut Naria yang kini Pemimpin Redaksi NusaBali.
Menurut Warih, sosok Bung Abbas adalah pribadi yang hangat dan supel dalam bergaul. Lahir dari masyarakat yang akulturatif di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Bung Abbas memiliki karakter yang terbuka dengan siapa saja. “Beliau toleransinya tinggi dan sangat guyub. Kita sering saling meledek, karena itu bagian dari persahabatan,” kenang Warih.
Dari sisi kepenyairan, Warih mengakui sajak-sajak karya Bung Abbas memiliki kecenderungan otentik. Bung Abbas bisa melihat Bali dari sudut pandang yang lain. “Sajak-sajaknya agak berbeda dengan sebagian sajak-sajak milik teman lain yang ornamentik dengan kata-kata yang penuh kekayaan visual kebudayaan Bali. Nah, kalau Bli Abbas itu sajaknya lebih memasuki sisi lain dari Bali,” terang penyair kelahiran Salatiga, Jawa Tengah ini.
Bung Abbas berpulang buat selamanya dengan meninggalkan satu istri dan tiga anak. Dua pekan sebelum berpulang, almarhum sempat menjadi narasumber mengisi podcast ‘Tutur Tokoh’ yang digagas oleh Jatijagat Kehidupan Puisi.
Dalam podcast tersebut, almarhum Bung Abbas menceritakan suka duka perjuangan hidup yang dilaluinya, serta siapa yang menginspirasinya dalam bidang seni. Bung Abbas juga banyak bercerita tentang dirinya dan kebudayaan Desa Pegayaman, tanah kelahirannya.
Bung Abbas mengaku darah seni mengalir dari neneknya yang dulu seorang penari Bali. Sejak kecil, Bung Abbas memang dirawat oleh neneknya itu. Memasuki masa SMA, Bung Abbas mulai mengenal baca puisi dan drama. Kecintaannya pada seni moderen pun akhirnya menuntun Bung Abbas untuk melanjutkan kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan sempat bercita-cita menjadi pengajar teater.
Sepulang dari Jakarta, Bung Abbas sempat mengikuti tes menjadi pegawai pemerintah di Departemen Keuangan, dengan tempat penugasan di Singaraja, Buleleng. Dia berhasil lolos. Sayangnya, selama 6 tahun bekerja di pemerintahan, Bung Abbas melihat bobroknya birokrasi pada masa itu. Bung Abbas pun memutuskan keluar dari kerja di pemerintahan.
Keputusan untuk cabut itu mendapatkan dukungan dari mertuanya, yang seorang tokoh umat. Bahkan, mertuanya yang mengarahkan agar Bung Abbas memilih pekerjaan di bidang komunikasi. Maka, jadilah dia seorang jurnalis. Dengan menjadi jurnalis, Bung Abbas mengaku banyak sekali mendapatkan kesempatan menulis sastra.
“Mertua saya bilang waktu itu bilang, pensiun dengan pengetahuan jauh lebih baik daripada pensiun dengan uang. Akhirnya, saya mendalami jurnalistik. Saya tidak pernah menyesali apa pun yang sudah saya putuskan,” kata almarhum Bung Abbas dalam podcast tersebut.
Namun, saat menjadi jurnalis, Bung Abbas kerapkali mendapat intimidasi ketika liputan di masa Orde Baru. Berhenti dari dunia jurnalistik era 1990-an, Bung Abbas pun sempat nekat membangun perusahaan advertising di Jakarta.
Bung Abbas sendiri merupakan penyair kedua di Bali dalam kurun 6 bulan terakhir yang berpulang ke alam sunyi. Sebelumnya, mahaguru penyair Umbu Landu Paranggi, 77, telah lebih dulu meninggal dunia, 6 April 2021. Sang mahaguru kala itu menghembuskan napas terakhir dalam peratawan di RS Bali Mandara, Jalan Bypass Ngurah Rai Sanur, Denpasar Selatan dinihari sekitar pukul 03.55 Wita. Sebelum berpulang, sempat selama tiga hari dirawat di RS, sejak 3 April 2021.
Almarhum Umbu Landu Paranggi lahir di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, NTT, 10 Agustus 1943. Berkat sentuhan Umbu, lahir banyak penyair maupun sastrawan besar, seperti Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun, Korrie Layun Rampan, dan Linus Suryadi AG. Bung Abbas dan penyair Bali lainnya juga merupakan hasil sentuhan Umbu, *ind
1
Komentar