Antropolog I Wayan Geriya Meninggal Dunia dalam Usia 81 Tahun
Sempat Selama Lima Hari Dirawat di RS Bali Mandara karena Kelainan Paru-paru dan Gagal Ginjal
Sebelum meninggal, almarhum I Wayan Geriya sempat mengutarakan keinginan agar panjang umur, minimal bisa hidup sampai usia 90 tahun. Apalagi, kedua orangtuanya dulu tembus usia 105 tahun
GIANYAR, NusaBali
Bali kehilangan salah satu tokoh antropologi menyusul meninggalnya Drs I Wayan Geriya, 81, Sabtu (30/11) siang. Tokoh berusia 81 tahun asal Banjar Batur, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Gianyar yang mantan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unud ini menghembuskan napas terakhir dalam perawatan di RS Bali Mandara, Jalan Bypass Ngurah Rai Sanur, Denpasar Selatan, setelah sempat dirawat selama 5 hari.
Putra bungsu almarhum I Wayan Geriya, yakni I Komang Sutriawan, mengatakan ayahnya dilarikan ke RS Bali Mandara, Selasa (26/10) malam sekitar pukul 21.00 Wita. Sebelum dibawa ke RS Bali Mandara, almarhum sempat sehari semalam dirawat di RS Primagana, Desa Batubulan dan kemudian tiga hari dirawat di RS PTN Unud (kawasan Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung).
Awalnya, almarhum Wayan Geriya mengeluh sakit sebulan lalu, mengeluhkan radang tenggorokan. “Kami pikir sakit biasa, almarhum kami ajak berobat ke dokter dan dikasi antibiotik. Namun, seminggu pasca ke dokter, tidak ada perubahan," jelas Komnang Sutriawan saat ditemui NusaBali di rumah duka kawasan Banjar Batur, Desa Batubulan, Minggu (31/10).
Hanya saja, kata Sutriawan, almarhum Wayan Geriya enggan diajak berobat ke rumah sakit, sehingga keluarga mengambil tindakan home care. "Kita panggil dokter dan perawat untuk merawat bapak di rumah,” jelas Sutriawan yang juga Ketua Umum Toyota Land Cruiser Indonesia (TLCI) Provinsi Bali.
Menurut Sutriawan, kondisi almarhum Wayan Geriya justru semakin memburuk sampai akhirnya sama sekali tidak mau makan. Keluarga kemudian mengajaknya ke RS Primagana, Desa Batubulan, 23 Oktober 2021.
“Dari hasil pengecekan dokter (termasuk rontgen dan tes darah), bapak ternyata ada kelainan organ dalam, selain mengalami radang tenggorokan. Bapak mengalami kelainan di paru-paru dan ginjal,” kenang Sutriawan.
Oleh pihak RS Primagana, almarhum Wayan Geria kemudian diarahkan ke RS PTN Unud di Kelutrahan Jimbaran, 24 Oktober 2010. Mantan dosen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Unud ini pun sempat selama 3 hari opname di Ruang ICU RS PTN Unud, 24-26 Oktober 2021.
Selama perawatan di RS PTN Unud, kata Sutriawan, almarhum Wayan Geriya sempat menjalani tes PCR dua kali dengan hasil negatif. Namun, karena harus menjalani cuci darah, almarhum Wayan Geriya kembali harus pindah perawatan ke rumah sakit yang melayani hemodialisis.
Versi Sutriawan, ada dua pilihan yang dituju, yakni RSUP Sanglah atau RS Bali Mandara. Karena di RSUP Sanglah katanya sudah penuh, akhirnya sang Antropolog dibawa ke RS Bali Mandara, Selasa (26/10) malam pukul 21.00 Wita.
Namun, karena kondisinya drop setibanya di RS Bali Mandara, tindakan cuci darah yang baru berjalan 15 menit terpaksa dihentikan dan dilanjutkan keesokan harinya. Setelah tuntas melakukan cuci darah, pada hari keempat opname di RS Bali Mandara almarhum Wayan Geriya mengalami kondisi terburuk.
"Waktu itu, dokter minta izin kasi antibiotik terampuh. Keluarga bilang silakan saja kalau itu yang terbaik untuk bapak. Setelah itu, bapak diuji swab lagi, hasilnya keluar siang, ternyata positif," jelas Sutrisawan.
Pasca dinyatakan positif terkonfirmasi Covid-19, kondisi Wayan Geriya semakin drop, hingga akhirnya menghembuskan napas terakhir di RS Bali Mandara pada hari kelima, 30 Oktober 2021 siang pukul 11.00 Wita. Sesuai prosedur, jenazah mendapatkan penanganan khusus dan langsung masuk peti. Sutriawan sendiri mengaku tidak yakin ayahnya positif Covid-19, namun dia pasrah dan berusaha ikhlas.
Hingga tadi malam, jenazah Antropolog kelahiran 1 Desember 1940 ini masih dititip di RS Bali Mandara. Upacara pengabenan rencananya akan digelar di Krematorium Banjar Punduk Dawa, Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Klungkung pada Anggara Paing Sungsang, Selasa (2/11) besok. Almarhum Wayan Geriya berpulang buat selamanya dengan meninggalkan istri tercinta Dra Si Luh Suarsi MSi dan tiga anak laki-laki, serta 8 orang cucu.
Menurut Sutriawan, semasa hidup almarhum Wayan Geriya jarang masuk rumah sakit. Seingat Sutriawan, almarhum terakhir kali opname di rumah sakit tahun 1996 silam. "Kala itu, ada sedikit gangguan jantung hingga sempat 2 hari opname dan sembuh. Setelah itu, bapak tidak pernah lagi opname. Kalau ke rumah sakit, paling untuk cek tensi saja," katanya.
Semasa muda, almarhum Wayan Geriya juga dikenal sebagai olahragawan. "Bapak adalah pemain voli andal, selain juga hobi bulutangkis dan sepakbola,” papar Sutriawan sembari menyebut almarhum setahun lalu sempat operasi katarak.
Sutrisawan menyebutkan, kepada anak-anaknya, almarhum sempat mengutarakan keinginannya agar panjang umur, minimal hidup sampau usia 90 tahun. “Apalagi, kakek dan nenek kami dulu usinya sampai 105 tahun," kata Sutriawan.
Namun, almarhum Wayan Geriya berpulang buat selamanya hanya berselang 2 bulan menjelang usianya meninjak 81 tahun. Di usianya yang sudah terbilang sepuh itu, almarhum Wayan Geriya masih menkalankan perans ebagvai Tim Ahli Pemkot Denpasar dan Pemkab Gianyar. Almarhum juga aktif menjadi narasumber di berbagai kegiatan menyangkut kebudayaan.
Almarhum Wayan Geriya menamatkan pendidikan S1 Jurusan Antropologi Fakultas Sastra UI, Jakarta tahun 1976. Dia sempat menjabat Dekan Fakultas Sastra Unud (kini Faklutas Ilmu Budaya) periode 989-1996, lalu Ketua Pusat Studi Jepang Unud (1997-2000). Selain itu, almarhum juga sempat jadi Staf Ahli Pemerintah Provinsi Bali (1990-1999).
Dari pernikahannya dengan Dra Si Luh Suarsi MSi, almarhum Wayan Geriya dikarunian 3 anak laki-laki. Si sulung I Wayan Arsita saat ini menjabat sebagai Kepala UPT Taman Budaya Provinsi Bali. Anak kedua, I Kadek Suarjaya, adalah pebisnis patung. Sedangkan si bungsu I Komang Sutriawan adalah penghobi motor tua yang kini Ketua Umum TLCI Bali. *nvi
Putra bungsu almarhum I Wayan Geriya, yakni I Komang Sutriawan, mengatakan ayahnya dilarikan ke RS Bali Mandara, Selasa (26/10) malam sekitar pukul 21.00 Wita. Sebelum dibawa ke RS Bali Mandara, almarhum sempat sehari semalam dirawat di RS Primagana, Desa Batubulan dan kemudian tiga hari dirawat di RS PTN Unud (kawasan Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung).
Awalnya, almarhum Wayan Geriya mengeluh sakit sebulan lalu, mengeluhkan radang tenggorokan. “Kami pikir sakit biasa, almarhum kami ajak berobat ke dokter dan dikasi antibiotik. Namun, seminggu pasca ke dokter, tidak ada perubahan," jelas Komnang Sutriawan saat ditemui NusaBali di rumah duka kawasan Banjar Batur, Desa Batubulan, Minggu (31/10).
Hanya saja, kata Sutriawan, almarhum Wayan Geriya enggan diajak berobat ke rumah sakit, sehingga keluarga mengambil tindakan home care. "Kita panggil dokter dan perawat untuk merawat bapak di rumah,” jelas Sutriawan yang juga Ketua Umum Toyota Land Cruiser Indonesia (TLCI) Provinsi Bali.
Menurut Sutriawan, kondisi almarhum Wayan Geriya justru semakin memburuk sampai akhirnya sama sekali tidak mau makan. Keluarga kemudian mengajaknya ke RS Primagana, Desa Batubulan, 23 Oktober 2021.
“Dari hasil pengecekan dokter (termasuk rontgen dan tes darah), bapak ternyata ada kelainan organ dalam, selain mengalami radang tenggorokan. Bapak mengalami kelainan di paru-paru dan ginjal,” kenang Sutriawan.
Oleh pihak RS Primagana, almarhum Wayan Geria kemudian diarahkan ke RS PTN Unud di Kelutrahan Jimbaran, 24 Oktober 2010. Mantan dosen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Unud ini pun sempat selama 3 hari opname di Ruang ICU RS PTN Unud, 24-26 Oktober 2021.
Selama perawatan di RS PTN Unud, kata Sutriawan, almarhum Wayan Geriya sempat menjalani tes PCR dua kali dengan hasil negatif. Namun, karena harus menjalani cuci darah, almarhum Wayan Geriya kembali harus pindah perawatan ke rumah sakit yang melayani hemodialisis.
Versi Sutriawan, ada dua pilihan yang dituju, yakni RSUP Sanglah atau RS Bali Mandara. Karena di RSUP Sanglah katanya sudah penuh, akhirnya sang Antropolog dibawa ke RS Bali Mandara, Selasa (26/10) malam pukul 21.00 Wita.
Namun, karena kondisinya drop setibanya di RS Bali Mandara, tindakan cuci darah yang baru berjalan 15 menit terpaksa dihentikan dan dilanjutkan keesokan harinya. Setelah tuntas melakukan cuci darah, pada hari keempat opname di RS Bali Mandara almarhum Wayan Geriya mengalami kondisi terburuk.
"Waktu itu, dokter minta izin kasi antibiotik terampuh. Keluarga bilang silakan saja kalau itu yang terbaik untuk bapak. Setelah itu, bapak diuji swab lagi, hasilnya keluar siang, ternyata positif," jelas Sutrisawan.
Pasca dinyatakan positif terkonfirmasi Covid-19, kondisi Wayan Geriya semakin drop, hingga akhirnya menghembuskan napas terakhir di RS Bali Mandara pada hari kelima, 30 Oktober 2021 siang pukul 11.00 Wita. Sesuai prosedur, jenazah mendapatkan penanganan khusus dan langsung masuk peti. Sutriawan sendiri mengaku tidak yakin ayahnya positif Covid-19, namun dia pasrah dan berusaha ikhlas.
Hingga tadi malam, jenazah Antropolog kelahiran 1 Desember 1940 ini masih dititip di RS Bali Mandara. Upacara pengabenan rencananya akan digelar di Krematorium Banjar Punduk Dawa, Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Klungkung pada Anggara Paing Sungsang, Selasa (2/11) besok. Almarhum Wayan Geriya berpulang buat selamanya dengan meninggalkan istri tercinta Dra Si Luh Suarsi MSi dan tiga anak laki-laki, serta 8 orang cucu.
Menurut Sutriawan, semasa hidup almarhum Wayan Geriya jarang masuk rumah sakit. Seingat Sutriawan, almarhum terakhir kali opname di rumah sakit tahun 1996 silam. "Kala itu, ada sedikit gangguan jantung hingga sempat 2 hari opname dan sembuh. Setelah itu, bapak tidak pernah lagi opname. Kalau ke rumah sakit, paling untuk cek tensi saja," katanya.
Semasa muda, almarhum Wayan Geriya juga dikenal sebagai olahragawan. "Bapak adalah pemain voli andal, selain juga hobi bulutangkis dan sepakbola,” papar Sutriawan sembari menyebut almarhum setahun lalu sempat operasi katarak.
Sutrisawan menyebutkan, kepada anak-anaknya, almarhum sempat mengutarakan keinginannya agar panjang umur, minimal hidup sampau usia 90 tahun. “Apalagi, kakek dan nenek kami dulu usinya sampai 105 tahun," kata Sutriawan.
Namun, almarhum Wayan Geriya berpulang buat selamanya hanya berselang 2 bulan menjelang usianya meninjak 81 tahun. Di usianya yang sudah terbilang sepuh itu, almarhum Wayan Geriya masih menkalankan perans ebagvai Tim Ahli Pemkot Denpasar dan Pemkab Gianyar. Almarhum juga aktif menjadi narasumber di berbagai kegiatan menyangkut kebudayaan.
Almarhum Wayan Geriya menamatkan pendidikan S1 Jurusan Antropologi Fakultas Sastra UI, Jakarta tahun 1976. Dia sempat menjabat Dekan Fakultas Sastra Unud (kini Faklutas Ilmu Budaya) periode 989-1996, lalu Ketua Pusat Studi Jepang Unud (1997-2000). Selain itu, almarhum juga sempat jadi Staf Ahli Pemerintah Provinsi Bali (1990-1999).
Dari pernikahannya dengan Dra Si Luh Suarsi MSi, almarhum Wayan Geriya dikarunian 3 anak laki-laki. Si sulung I Wayan Arsita saat ini menjabat sebagai Kepala UPT Taman Budaya Provinsi Bali. Anak kedua, I Kadek Suarjaya, adalah pebisnis patung. Sedangkan si bungsu I Komang Sutriawan adalah penghobi motor tua yang kini Ketua Umum TLCI Bali. *nvi
Komentar