Perajin Bambu Desa Belega Hijrah ke Luar Bali
GIANYAR, NusaBali.com – Desa Belega, sebuah desa yang ada di Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar yang dikenal sebagai pusat perajin bambu, kini hanya menyisakan sedikit saja perajin yang masih setia menggeluti kerajinan ini.
Jika di era tahun a1990an, lebih dari setengah warga desa yang berkecimpung di kerajinan bambu, maka saat ini hanya ada 10 perajin yang bertahan. “Dominan sekarang kerja ke luar Bali, seperti Sumba, Lombok ataupun Nusa Penida membuat proyek bangunan bambu di sana,” ungkap Perbekel Desa Belega, I Ketut Trisna Jaya, Rabu (3/11/2021) sore.
Hal tersebut bukan tanpa alasan, melainkan para perajin tersebut merasa memiliki pendapatan yang pasti, dibandingkan diam di desa menunggu pesanan yang masuk yang belum tentu kejelasannya. “Kalau kerja di luar lumayan, misalnya kerja 10 hari bikin bangunan bambu, dibayar Rp 200.000 per hari. Berarti sudah dapat Rp 2 juta. Kalau menunggu pesanan di rumah, kejelasannya belum pasti,” tambah I Ketut Trisna Jaya.
Lebih lanjut I Ketut Trisna Jaya mengatakan, bahwa pada tahun 1990 hingga tahun 2000 merupakan masa kejayaan dari para pengrajin bambu yang ada di Desa Belega, dan pada saat itu 60 persen masyarakat Desa Belega memiliki usaha kerajinan bambu berbasis rumah tangga. “Setelah bom Bali pada tahun 2002, pesanan sepi. Jumlah perajin saat itu menurun dan stagnan hingga 2017,” katanya.
Kemudian pada tahun 2019 yang lalu, Desa Belega berupaya membangkitkan kerajinan bambu dengan membuat wisata kampung bambu. Namun belum terlaksana sudah terjadi badai Covid-19. “Tanggapan para perajin sangat baik, namun pada kenyataannya masyarakat harus bersabar dulu, menunggu persiapan yang matang dan momentum yang tepat,” tambahnya.
Sementara itu Made Balik Mudita, 55, salah satu perajin yang tetap bertahan dan aktif mengerjakan pesanan, mengatakan bahwa di masa pandemi Covid-19, pesanan yang ia terima mengalami penurunan dibandingkan sebelum pandemi melanda. “Biasanya sebelum pandemi tiga hari sekali ada saja yang beli. Kalau sekarang, menunggu seminggu pun belum pasti ada yang pesan,” ujar pria yang telah menekuni kerajinan bambu dari tahun 1986 tersebut.
Ia pun mengungkapkan alasan bahwa tetap bertahan di desa membuat kerajinan bambu karena kecintaannya terhadap dunia kerajinan, dan berkomitmen untuk mempertahankan ciri khas Desa Belega dengan kerajinan bambunya. “Di samping itu saya selaku pemilik usaha, juga langsung membuat pesanan dari pembeli. Saya dari awal mengerjakan sendiri seperti meja, kursi, dan tempat tidur. Paling murah dari harga Rp 600.000 untuk tempat tidur, dan Rp 1,4 juta untuk satu set meja kursi,” ungkapnya sambil mengerjakan pesanan.
Lebih lanjut Made Balik Mudita pun mengatakan bahwa kualitas dari produk kerajinan bambu Desa Belega tidak perlu diragukan lagi, semua proses sebagian besar kerjakan dengan manual, dan sangat memperhatikan kualitas bahan yang digunakan. “Biasanya memakai jenis bambu tali, saya biasa pesan bambu dari Kabupaten Bangli. Kalau dirawat dengan benar, kerajinan bambu bisa bertahan sampai puluhan tahun,” tambahnya.
I Ketut Trisna Jaya kemudian menyatakan bahwa untuk selanjutnya, selain produk furniture (meja, kursi, tempat tidur), ia juga akan mengembangkan kerajinan yang berupa pernak-pernik, dan souvenir seperti tas, dan dekorasi bambu lainnya, sebagai wujud pengembangan potensi kerajinan bambu yang dimiliki Desa Belega. “Yang terpenting ada sumber daya manusianya dulu, nanti perlahan pihak desa akan mendukung keberadaan pengrajin bambu di Desa Belega, sebagai persiapan untuk menuju wisata kampung bambu seperti yang sudah dicanangkan pada waktu lalu,” tutupnya. *rma
Komentar