Gunakan Kurban Sapi Cula, Jaga Wewidangan Secara Niskala
Ritual Caru Mejaga-jaga di Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa, yang Baru Jadi WBTB
Sapi cula yang digunakan dalam ritual Caru Mejaga-jaga harus berdasarkan kriteria dan ciri-ciri khusus: bulu berwarna merah, tidak bebed, ekor tidak boleh panjut, tidak ada bekas luka, tidak tutul, posisi tanduknya juga harus tongklok tangeb
SEMARAPURA, NusaBali
Tradisi ritual Caru Mejaga-jaga merupakan warisan budaya di Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa, Kelurahan Semarapura Kaja, Kecamatan Klungkung yang baru saja ditetapkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional tahun 2021. Tradisi ritual yang harus menggunakan hewan kurban sapi cula ini, dilak-sanakan untuk menjaga wewidangan (wilayah) Desa Adat Besang Ka-wan Tohjiwa secara niskala.
Tradisi ritual Caru Megaja-jaga Mejaga-jaga rutin digelar Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa setahun sekali pada Tilem Sasih Karo (bulan mati kedua sistem penanggalan Bali). Ritual ini menggunakan sarana hewan kurban sapi cula yang harus disembelih menggunakan blakas sudamala, kemudian darahnya dioleskan ke sekujur tubuh krama setempat.
Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disbudpora) Kabupaten Klungkung, Ida Bagus Jumpung Gede Oka Wedhana, mengatakan aspek historis korban suci (Bhuta Yadnya ) yang lebih dikenal dengan sebutan Caru Mejaga-jaga di Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa ini adalah sebuah praktek tradisi keagamaan. Tradisi ritual ini mulai dilaksanakan sejak kehadiran penduduk pendatang dari Desa Tohjiwa, panjak (rakyat) Kerajaan Karangasem tahun 1750, pasca Perang Karangasem vs Klungkung---yang dimenangkan Kerajaan Klungkung.
"Para migran dari Desa Tohjiwa dan desa-desa tetangga lainnya wilayah Kerajaan Karangasem berdatangan menyerahkan diri ke Kerajaan Klungkung," ujar Gus Jumpung kepada NusaBali di Semarapura, Rabu (3/11) lalu.
Selanjutnya, kata Gus Jumpung, penduduk asal Karangasem yang bersama keluarganya menyerahkan diri kepada Raja Klungkung tersebut, membawa serta barang barangnya dan produk budaya. Termasuk benda pusaka berupa kulkul (kentongan), tombak, keris, blakas (parang) sudamala. Selain itu, mereka juga membawa tradisi ritual keagamaan korban suci dari tanah asalnya, yaitu persembahan suci kepada unsur-unsur alam semesta (Panca Mahabhuta) yang disebut Caru Mejaga-jaga.
"Ritual suci Caru Mejaga-jaga dilaksanakan setelah para migran diterima oleh Raja Klungkung dan diberikan tempat untuk tinggal menetap yang diberi nama Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa. Nama Tohjiwa diabadikan untuk mengenang desa asal mereka di Kerajaan Karangasem, yaitu Desa Tohjiwa," papar Gus Jumpung.
Sejak tinggal menetap di Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa tahun 1750, penduduk bekas panjak Kerajaan Karangasem ini melaksanakan tradisi ritual Caru Mejaga-jaga, sebagai warisan budaya tak benda yang selalu dilaksanakan setahun sekali pada Tilem Karo. Prosesi ritual ini dengan sarana utama seekor sapi jantan yang sudah dikebiri (sapi cula) sebagai kurban.
Menurut Gus Jumpung, sapi cula yang digunakan tidak boleh sembarangan, tapi harus berdasarkan kriteria dan ciri-ciri khusus: bulu berwarna merah, tidak bebed, ekor tidak boleh panjut, tidak ada bekas luka, tidak warna warni (tutul). Selain itu, posisi tanduknya juga harus tongklok tangeb (tegak baik).
Sarana lainnya adalah tali pengikat dari bambu yang berjumlah 7 batang, yang masing-masing 3 direntangkan ke depan dan 4 lagi direntangkan ke belakang. Juga ada pelepah daun enau yang dibawa oleh anak-anak muda sebagai penghias, parang pusaka sudamala untuk nyembelih sapi (nyambleh) kurban suci. Kelengkapan upakara (banten) lainnya disiapkan oleh krama istri (wanita), yang bertugas dan berperan penting dalam pelaksanaan ritual. Pelaksanaan ritual Caru Mejaga-jaga ini melibatkan beberapa pamangku.
Dalam ritual Caru Mejaga-jaga ini, Pamangku Pura Dalem bertugas memohon air suci (tirta) untuk mensucikan sapi cula. Sedangkan Pamangku Pura Prajapati bertugas mempersembahkan banten penyucian sapi. Sebaliknya, Jro Mangku Kebayan memimpin pelaksanaan ritual dan yang melakukan upacara nyembelih sapi menggunakan parang pusaka Pajenengan Sudamala.
Sebagai puncak ritual adalah menghaturkan persembahan suci kepada alam semesta pemberi kehidupan, kesuburan dan kesejahteraan. Dalam ritual puncak ini, Jro Mangku Hyang Api bertugas sebagai saksi dalam menghaturkan persembahan (banten) dan memercikkan darah sapi.
"Sebelum ritual puncak penyembelihan, sapi cula lebih dulu diarak keliling desa dengan disertai banten pada keempat arah mata angin dan terkhir di tengah-tengah desa adat. Setelah disembelih di pusat desa adat, kulit dan daging sapi diolah untuk dijadikan sarana banten Caru Mejaga-jaga," tandas Gus Jumpung.
Gus Jumpung menyebutkan, makna ritual Caru Mejaga-jaga adalah sistem sosial di Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa yang didasarkan atas ikatan tradisional keturunan (trah, soroh). Mereka berasal dari wangsa yang berbeda-beda, namun yang dominan adalah trah Pasek, Tohjiwa, Gelgel, Kubayan, Tangkas Kori Agung, Tutuan, Bendesa, dan Dukuh Sakti. Disusul kemudian para Arya: Sukehet, Kenceng, Belog, Kloping, Kepakisan, dan Mambal. Ada pula dari trah Pande, Dewa Abasan, Pulasari Balangan, Sekar, dan Pulasari Anom. "Sistem sosial yang dianut sangat kuat ikatan tradisional persaudaraannya.”
Tradisi ritual Caru Mejaga-jaga yang dibawa dari tanah asalnya di Karangasem ini sangat mempererat rasa persaudaraan dan persatuan menyama braya penduduk dari berbagai trah yang membangun pola tinggal menetap di Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa pasca perang. Mereka sekaligus melanjutkan dan melestarikan tradisi ritual keagamaan dari tanah asalnya, yang diyakini memberikan berkah bagi kelangsungan hidup di alam semesta ini.
"Praktek ritual yang telah berumur ratusan tahun ini dikuatkan dengan awig-awig desa adat yang disepakati dan wajib ditaati oleh seluruh krama Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa," terang Gus Jumpung.
Sementara itu, Bendesa Adat Besang Kawan Tohjiwa, I Wayan Sulendra, mengatakan ritual penyembelihan sapi kurban dalam tradisi Caru Mejaga-jaga tak boleh dilakukan di tempat lain, tapi harus di Catus Pata (Perempatan) Desa, apa pun kondisinya. "Krama desa adat tidak berani mengubah rentetan tradisi yang sudah diwariskan secara turun-menurun itu," ujar Sulendra saat dikonfirmasi NusaBali secara terpisah.
Menurut Sulendra, dulu tradisi ritual Caru Mejaga-jaga ini pernah ditiadakan karena krama Desa Adat Besang Kawan Tohjowa sibuk menggelar upacara ngaben. Akibatnya fatal: tak berselang lama, sejumlah krama meninggal mendadak secara beruntun. "Selain itu, juga terjadi gagal panen,” kenang Sulendra.
Sulendra menyebutkan, tradisi ritual Caru Mejaga-jaga ini digelar dengan tujuan untuk menghidari terjadinya malapetaka bagi krama desa adat. Jadi, tradisi caru Menjaga-jaga adalah ritual untuk menetralkan atau membersihkan alam, baik parahyangan, pawongan, maupun palemahan. Intinya, menjaga wewidangan desa adat secara niskala.
Sulendra mengaku bersyukur tradisi ritual Caru Mejaga-jaga ditetapkan pemerintah sebagai WBTB Nasional. Dengan penetapan status WBTB ini, ke depan diharapkan minimal ada penopang dari pemerintah untuk mempertahankan tradisi. "Karena sudah ditetapkan jadi WBTB Nasional, tentu nantinya ada perhatian dari pemerintah," katanya. *wan
Tradisi ritual Caru Megaja-jaga Mejaga-jaga rutin digelar Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa setahun sekali pada Tilem Sasih Karo (bulan mati kedua sistem penanggalan Bali). Ritual ini menggunakan sarana hewan kurban sapi cula yang harus disembelih menggunakan blakas sudamala, kemudian darahnya dioleskan ke sekujur tubuh krama setempat.
Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disbudpora) Kabupaten Klungkung, Ida Bagus Jumpung Gede Oka Wedhana, mengatakan aspek historis korban suci (Bhuta Yadnya ) yang lebih dikenal dengan sebutan Caru Mejaga-jaga di Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa ini adalah sebuah praktek tradisi keagamaan. Tradisi ritual ini mulai dilaksanakan sejak kehadiran penduduk pendatang dari Desa Tohjiwa, panjak (rakyat) Kerajaan Karangasem tahun 1750, pasca Perang Karangasem vs Klungkung---yang dimenangkan Kerajaan Klungkung.
"Para migran dari Desa Tohjiwa dan desa-desa tetangga lainnya wilayah Kerajaan Karangasem berdatangan menyerahkan diri ke Kerajaan Klungkung," ujar Gus Jumpung kepada NusaBali di Semarapura, Rabu (3/11) lalu.
Selanjutnya, kata Gus Jumpung, penduduk asal Karangasem yang bersama keluarganya menyerahkan diri kepada Raja Klungkung tersebut, membawa serta barang barangnya dan produk budaya. Termasuk benda pusaka berupa kulkul (kentongan), tombak, keris, blakas (parang) sudamala. Selain itu, mereka juga membawa tradisi ritual keagamaan korban suci dari tanah asalnya, yaitu persembahan suci kepada unsur-unsur alam semesta (Panca Mahabhuta) yang disebut Caru Mejaga-jaga.
"Ritual suci Caru Mejaga-jaga dilaksanakan setelah para migran diterima oleh Raja Klungkung dan diberikan tempat untuk tinggal menetap yang diberi nama Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa. Nama Tohjiwa diabadikan untuk mengenang desa asal mereka di Kerajaan Karangasem, yaitu Desa Tohjiwa," papar Gus Jumpung.
Sejak tinggal menetap di Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa tahun 1750, penduduk bekas panjak Kerajaan Karangasem ini melaksanakan tradisi ritual Caru Mejaga-jaga, sebagai warisan budaya tak benda yang selalu dilaksanakan setahun sekali pada Tilem Karo. Prosesi ritual ini dengan sarana utama seekor sapi jantan yang sudah dikebiri (sapi cula) sebagai kurban.
Menurut Gus Jumpung, sapi cula yang digunakan tidak boleh sembarangan, tapi harus berdasarkan kriteria dan ciri-ciri khusus: bulu berwarna merah, tidak bebed, ekor tidak boleh panjut, tidak ada bekas luka, tidak warna warni (tutul). Selain itu, posisi tanduknya juga harus tongklok tangeb (tegak baik).
Sarana lainnya adalah tali pengikat dari bambu yang berjumlah 7 batang, yang masing-masing 3 direntangkan ke depan dan 4 lagi direntangkan ke belakang. Juga ada pelepah daun enau yang dibawa oleh anak-anak muda sebagai penghias, parang pusaka sudamala untuk nyembelih sapi (nyambleh) kurban suci. Kelengkapan upakara (banten) lainnya disiapkan oleh krama istri (wanita), yang bertugas dan berperan penting dalam pelaksanaan ritual. Pelaksanaan ritual Caru Mejaga-jaga ini melibatkan beberapa pamangku.
Dalam ritual Caru Mejaga-jaga ini, Pamangku Pura Dalem bertugas memohon air suci (tirta) untuk mensucikan sapi cula. Sedangkan Pamangku Pura Prajapati bertugas mempersembahkan banten penyucian sapi. Sebaliknya, Jro Mangku Kebayan memimpin pelaksanaan ritual dan yang melakukan upacara nyembelih sapi menggunakan parang pusaka Pajenengan Sudamala.
Sebagai puncak ritual adalah menghaturkan persembahan suci kepada alam semesta pemberi kehidupan, kesuburan dan kesejahteraan. Dalam ritual puncak ini, Jro Mangku Hyang Api bertugas sebagai saksi dalam menghaturkan persembahan (banten) dan memercikkan darah sapi.
"Sebelum ritual puncak penyembelihan, sapi cula lebih dulu diarak keliling desa dengan disertai banten pada keempat arah mata angin dan terkhir di tengah-tengah desa adat. Setelah disembelih di pusat desa adat, kulit dan daging sapi diolah untuk dijadikan sarana banten Caru Mejaga-jaga," tandas Gus Jumpung.
Gus Jumpung menyebutkan, makna ritual Caru Mejaga-jaga adalah sistem sosial di Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa yang didasarkan atas ikatan tradisional keturunan (trah, soroh). Mereka berasal dari wangsa yang berbeda-beda, namun yang dominan adalah trah Pasek, Tohjiwa, Gelgel, Kubayan, Tangkas Kori Agung, Tutuan, Bendesa, dan Dukuh Sakti. Disusul kemudian para Arya: Sukehet, Kenceng, Belog, Kloping, Kepakisan, dan Mambal. Ada pula dari trah Pande, Dewa Abasan, Pulasari Balangan, Sekar, dan Pulasari Anom. "Sistem sosial yang dianut sangat kuat ikatan tradisional persaudaraannya.”
Tradisi ritual Caru Mejaga-jaga yang dibawa dari tanah asalnya di Karangasem ini sangat mempererat rasa persaudaraan dan persatuan menyama braya penduduk dari berbagai trah yang membangun pola tinggal menetap di Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa pasca perang. Mereka sekaligus melanjutkan dan melestarikan tradisi ritual keagamaan dari tanah asalnya, yang diyakini memberikan berkah bagi kelangsungan hidup di alam semesta ini.
"Praktek ritual yang telah berumur ratusan tahun ini dikuatkan dengan awig-awig desa adat yang disepakati dan wajib ditaati oleh seluruh krama Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa," terang Gus Jumpung.
Sementara itu, Bendesa Adat Besang Kawan Tohjiwa, I Wayan Sulendra, mengatakan ritual penyembelihan sapi kurban dalam tradisi Caru Mejaga-jaga tak boleh dilakukan di tempat lain, tapi harus di Catus Pata (Perempatan) Desa, apa pun kondisinya. "Krama desa adat tidak berani mengubah rentetan tradisi yang sudah diwariskan secara turun-menurun itu," ujar Sulendra saat dikonfirmasi NusaBali secara terpisah.
Menurut Sulendra, dulu tradisi ritual Caru Mejaga-jaga ini pernah ditiadakan karena krama Desa Adat Besang Kawan Tohjowa sibuk menggelar upacara ngaben. Akibatnya fatal: tak berselang lama, sejumlah krama meninggal mendadak secara beruntun. "Selain itu, juga terjadi gagal panen,” kenang Sulendra.
Sulendra menyebutkan, tradisi ritual Caru Mejaga-jaga ini digelar dengan tujuan untuk menghidari terjadinya malapetaka bagi krama desa adat. Jadi, tradisi caru Menjaga-jaga adalah ritual untuk menetralkan atau membersihkan alam, baik parahyangan, pawongan, maupun palemahan. Intinya, menjaga wewidangan desa adat secara niskala.
Sulendra mengaku bersyukur tradisi ritual Caru Mejaga-jaga ditetapkan pemerintah sebagai WBTB Nasional. Dengan penetapan status WBTB ini, ke depan diharapkan minimal ada penopang dari pemerintah untuk mempertahankan tradisi. "Karena sudah ditetapkan jadi WBTB Nasional, tentu nantinya ada perhatian dari pemerintah," katanya. *wan
1
Komentar