MUTIARA WEDA : Madhava vs Raksasa
Kita tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan kebenaran kehidupan spiritual kepada orang yang masih kasar, dengan indera yang tidak terkontrol, atau penuh dengan nafsu, yang terjebak dalam kenikmatan duniawi.
Vayam tu vaktum murkhānām-ajitātmiya-cetasām
Bhoga-kardama-magnānām na vidmo’bhimatam matam
(Yoga-Vasistha)
Sejarah mengatakan bahwa nilai-nilai kebaikan, kemuliaan, atau kedewataan selalu memerlukan perjuangan. Tidak sedikit orang-orang hebat yang konsisten berjuang untuk itu lahir dan menjadi cerminan orang-orang. Beberapa dari mereka di jaman kuno seperti Gautam Buddha, Mahawira, Adi Sankaracharya, Lao Tsu dan yang lainnya lahir untuk dijadikan panutan dan menjadi ideal kehidupan sehari-hari sampai saat ini. Demikian juga Mahatma Gandhi, Swami Vivekananda, Nelson Mandela, Dalai Lama dan yang lainnya di era modern memiliki reputasi mendunia yang layak diteladani, diikuti apa yang dikatakan dan dilakukannya.
Apa yang mereka lakukan sebenarnya bukan apa-apa, tetapi hanya konsisten berbeda dengan mainstream yang ada di masyarakat. Mereka hanya berpikir, berkata, dan berperilaku yang bertolak belakang dengan masyarakat umum yang anarkis, iri hati, dengki, dan penuh kebencian. Mereka tampak menonjol oleh karena ibarat sebuah titik putih di tengah-tengah kerumunan yang berwarna hitam. Ia menjadi dikagumi, dielu-elukan, dipuji, dan diikuti oleh karena mereka tidak memiliki kualitas seperti dirinya. Tidak sedikit pula dari mereka yang membencinya, karena dianggap menjadi sandungan dalam melampiaskan kehendak mereka. Namun, baik mereka yang memuji maupun yang membenci pada prinsipnya mereka berada dalam satu mainstream yang berseberangan dengan kehidupan Mahatma itu.
Orang menjadi pengikut dan mengikuti cara hidup seorang Mahatma oleh karena di dalam dirinya tidak memiliki kualitas itu. Demikian juga orang yang membencinya tentu memiliki kualitas yang bertentangan dengan sifat Mahatma. Orang seperti inilah yang diindikasikan oleh teks di atas. Setiap orang lahir telah membawa rekam jejak yang buruk dalam jangka waktu yang sangat panjang. Ribuan kelahiran yang dilaluinya selalu penuh dengan kekerasan, kebencian, iri hati, dengki, sehingga berdasarkan hal itu, orang ketika lahir telah berbakat untuk iri hati, benci, kasar, jahat, dan yang sejenisnya. Mereka yang memiliki sifat seperti itu tentu akan berkubang dan terjebak di dalam kehidupan duniawi. Mereka seolah-olah merasa nyaman hidup di tengah-tengah kehidupan yang dipenuhi dengan kekerasan, peperangan, kebencian dan sejenisnya.
Jika memang orang-orang telah terbelenggu oleh kehidupan duniawi, kasar dan inderanya tak terkontrol, lalu bagaimana mereka bisa diberikan ajaran spiritual? Bagaimana orang diajar untuk menjadi baik, mulia, dan religius? Ini adalah pertanyaan klasik yang mengindikasikan bahwa orang-orang seperti itu mustahil diajarkan sesuatu yang bersifat rohani. Jika kita merujuk pada konsep viparyaya, salah satu modifikasi pikiran dari Yoga Sutra Patanjali, pertanyaan seperti teks di atas sepertinya sedikit terjawab. Kalau pikiran manusia diibaratkan lampu senter, arah fokus cahaya itu yang salah. Jadi tata cara berpikir, konsep berpikir, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan berpikir salah, sehingga apapun yang dipikirkan akan menuju ke arah yang salah. Jadi, jika orang-orang duniawi, yang kasar, yang penuh dengan kekerasan diberikan ajaran spiritual, sepertinya itu mustahil. Bahkan tidak tertutup kemungkinan ajaran spiritual yang didapatkan itu bisa diubahnya menjadi senjata untuk memantik kekerasan baru.
Jika demikian adanya, maka nilai-nilai kemuliaan akan susah diajarkan kepada mereka yang fokusnya tidak sama. Raksasa akan tetap raksasa dan dewa akan tetap dewa. Yang diperlukan oleh mereka adalah ring masing-masing untuk berekspresi. Sepanjang mereka tidak keluar ring mengganggu satu sama lain, kondisi kondusif masih bisa dipertahankan. Namun apakah tidak mungkin mereka mengalami perubahan? Mungkin saja bisa, sepanjang poros mainstream pikiran yang mengalir di dalam diri seseorang diubah arahnya. Inilah yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi, Nelson Mandela dan yang lainnya. Para Mahatma ini tidak hanya mewartakan kebaikan, tetapi lebih dari itu adalah menjadikan dirinya baik.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen IHDN Denpasar
(Yoga-Vasistha)
Sejarah mengatakan bahwa nilai-nilai kebaikan, kemuliaan, atau kedewataan selalu memerlukan perjuangan. Tidak sedikit orang-orang hebat yang konsisten berjuang untuk itu lahir dan menjadi cerminan orang-orang. Beberapa dari mereka di jaman kuno seperti Gautam Buddha, Mahawira, Adi Sankaracharya, Lao Tsu dan yang lainnya lahir untuk dijadikan panutan dan menjadi ideal kehidupan sehari-hari sampai saat ini. Demikian juga Mahatma Gandhi, Swami Vivekananda, Nelson Mandela, Dalai Lama dan yang lainnya di era modern memiliki reputasi mendunia yang layak diteladani, diikuti apa yang dikatakan dan dilakukannya.
Apa yang mereka lakukan sebenarnya bukan apa-apa, tetapi hanya konsisten berbeda dengan mainstream yang ada di masyarakat. Mereka hanya berpikir, berkata, dan berperilaku yang bertolak belakang dengan masyarakat umum yang anarkis, iri hati, dengki, dan penuh kebencian. Mereka tampak menonjol oleh karena ibarat sebuah titik putih di tengah-tengah kerumunan yang berwarna hitam. Ia menjadi dikagumi, dielu-elukan, dipuji, dan diikuti oleh karena mereka tidak memiliki kualitas seperti dirinya. Tidak sedikit pula dari mereka yang membencinya, karena dianggap menjadi sandungan dalam melampiaskan kehendak mereka. Namun, baik mereka yang memuji maupun yang membenci pada prinsipnya mereka berada dalam satu mainstream yang berseberangan dengan kehidupan Mahatma itu.
Orang menjadi pengikut dan mengikuti cara hidup seorang Mahatma oleh karena di dalam dirinya tidak memiliki kualitas itu. Demikian juga orang yang membencinya tentu memiliki kualitas yang bertentangan dengan sifat Mahatma. Orang seperti inilah yang diindikasikan oleh teks di atas. Setiap orang lahir telah membawa rekam jejak yang buruk dalam jangka waktu yang sangat panjang. Ribuan kelahiran yang dilaluinya selalu penuh dengan kekerasan, kebencian, iri hati, dengki, sehingga berdasarkan hal itu, orang ketika lahir telah berbakat untuk iri hati, benci, kasar, jahat, dan yang sejenisnya. Mereka yang memiliki sifat seperti itu tentu akan berkubang dan terjebak di dalam kehidupan duniawi. Mereka seolah-olah merasa nyaman hidup di tengah-tengah kehidupan yang dipenuhi dengan kekerasan, peperangan, kebencian dan sejenisnya.
Jika memang orang-orang telah terbelenggu oleh kehidupan duniawi, kasar dan inderanya tak terkontrol, lalu bagaimana mereka bisa diberikan ajaran spiritual? Bagaimana orang diajar untuk menjadi baik, mulia, dan religius? Ini adalah pertanyaan klasik yang mengindikasikan bahwa orang-orang seperti itu mustahil diajarkan sesuatu yang bersifat rohani. Jika kita merujuk pada konsep viparyaya, salah satu modifikasi pikiran dari Yoga Sutra Patanjali, pertanyaan seperti teks di atas sepertinya sedikit terjawab. Kalau pikiran manusia diibaratkan lampu senter, arah fokus cahaya itu yang salah. Jadi tata cara berpikir, konsep berpikir, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan berpikir salah, sehingga apapun yang dipikirkan akan menuju ke arah yang salah. Jadi, jika orang-orang duniawi, yang kasar, yang penuh dengan kekerasan diberikan ajaran spiritual, sepertinya itu mustahil. Bahkan tidak tertutup kemungkinan ajaran spiritual yang didapatkan itu bisa diubahnya menjadi senjata untuk memantik kekerasan baru.
Jika demikian adanya, maka nilai-nilai kemuliaan akan susah diajarkan kepada mereka yang fokusnya tidak sama. Raksasa akan tetap raksasa dan dewa akan tetap dewa. Yang diperlukan oleh mereka adalah ring masing-masing untuk berekspresi. Sepanjang mereka tidak keluar ring mengganggu satu sama lain, kondisi kondusif masih bisa dipertahankan. Namun apakah tidak mungkin mereka mengalami perubahan? Mungkin saja bisa, sepanjang poros mainstream pikiran yang mengalir di dalam diri seseorang diubah arahnya. Inilah yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi, Nelson Mandela dan yang lainnya. Para Mahatma ini tidak hanya mewartakan kebaikan, tetapi lebih dari itu adalah menjadikan dirinya baik.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen IHDN Denpasar
1
Komentar