Barong Nong Nong Kling Terkait Erat dengan Berdirinya Desa Aan
Kesenian Barong Nong Nong Kling yang Baru Ditetapkan Menjadi Warisan Budaya Tak Benda Nasional
Pemain dalam pertunjukan Barong Nong Nong Kling berjumlah 5 orang, semuanya kaum lanang. Mereka masing-masing memerankan tokoh Kumbakarna (1 orang), kera (2 orang), dan punakawan (2 orang)
SEMARAPURA, NusaBali
Barong Nong Nong Kling di Banjar Petapan, Desa Aan, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung merupakan satu dari empat objek kebudaya dari Gumi Serombotan yang ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional tahun 2021. Barong Nong Nong Kling adalah seni pertunjukan menggunakan media ungkap tari, musik, dan drama yang dipentaskan ngelawang bertepatan Hari Suci Galungan dan Kuningan.
Selain ngelawang saat Hari Suci Galungan dan Kuningan yang jatuh 6 bulan sekali (210 sistem penanggalan Bali) pada Buda Kliwon Dununggulan dan Saniscara Kliwon Kuningan, Barong Nong Nong Kling juga dipentaskan setiap pujawali di Pura Swela (Desa Aan) setahun sekali pada Purnama Kapat. Barong Nong Nong Klung biasanya dimainkan oleh krama lanang (pria) pengempon Pura Swela.
Sebetulnya, seni pertunjukan Barong Nong Nong Kling tidak menggunakan barong, melainkan tapel (topeng). Namun, pertunjukan ini tetap dikelompokkan dalam kesenian barong. Sedangkan cerita dalam pementasannya diambil dari epos Ramayana, yakni ‘Kerebut Kumbakarna’ (Kumbakarna yang diperangi banyak kera).
"Nama Nong Nong Kling diambil dari suara iringannya, yang apabila digerakkan, akan menimbulkan efek bunyi nong, nong, kling," ungkap Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga (Budpora) Kabupaten Klungkung, Ida Bagus Jumpung Gede Oka Wedhana, Senin (1/11) lalu.
Lahirnya seni pertunjukan Barong Nong Nong Kling, kata Gus Jumpung, diyakini terkait erat dengan sejarah berdirinya Desa Adat Aan, Kecamatan Banjarangkan. Desa Adat Aan diperkirakan didirikan oleh Jero Pasek Gelgel pada abad XVI. Jero Pasek Gelgel sendiri merupakan pejabat Istana Gelgel yang meninggalkan istana sekitar tahun 1580, ketika pergi menuju arah barat laut.
Setelah meninggalkan Istana Gelgel, Jero Pasek Gelgel kemudian merabas hutan pohon ea atau ahe yang ada beringin kembarnya. Di tempat itulah Jero Pasek Gelgel mendirikan desa yang kemudian diberi nama Desa Aan, beserta membangun palinggih yang kini dikenal sebagai Pura Suwela.
"Menurut purana, sekitar tahun 1755 terjadi bencana kelaparan di desa itu karena serangan hama, sehingga gagal panen," cerita Gus Jumpung. Berdasarkan pawisik (petunjuk niskala), maka diciptakanlah barong berupa Topeng Hanuman, Topeng Subali, Topeng Sugriwa, Topeng Kumbakarna, Topeng Rahwana, dan para punakawan. Barong-barong ini kemudian dipentaskan di halaman Pura Swela, catus pata (perempatan) desa, dan halaman rumah krama.
"Pertunjukan barong-barong ini dikenal sebagai tradisi ngelawang. Sesudah adanya pertunjukan ngelawang tersebut, kondisi tanaman berubah dan berbuah kembali. Hasil panen pun melimpah, sehingga warga setempat jadi sejahtera," papar Gus Jumpung.
Dari historis tersebut, kata Gus Jumpung, menunjukkan bahwa seni pertunjukan Barong Nong Nong Kling mengandung nilai ajaran spiritual bahwa hidup manusia di dunia merupakan pergulatan antara baik dan buruk, dharma dan adharma, serta panen dan hama. "Untuk mendapatkan kesejahteraan, dharma (kebenaran) harus dimenangkan dengan pertolongan Tuhan," katanya.
Pementasan Barong Nong Nong Kling itu sendiri diwariskan secara turun temurum di Banjar Petapan, Desa Aan hingga saat ini. Selain berfungsi sebagai penyelamatan tradisi dan pendekatan manusia dengan Tuhan, pementasan Barong Nong Nong Kling juga sebagai sarana penolak bala.
"Makna sosialnya adalah selain sebagai hiburan kesenian, pementasan Barong Nong Nong Kling juga memupuk kebersamaan dan jadi media pendidikan untuk menjaga hubungan baik manusia dengan sesama, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan lingkungan," kata Gus Jumpung.
Struktur pertunjukan Barong Nong Nong Kling selalu diawali dengan nedunang (mengeluarkan) topeng, busana, dan perlengkapan tari lainnya dari tempat penyimpanan. Selanjutnya, disiapkan sarana upacara (banten) yang dilakukan oleh kaum istri (ibu), termasuk juga majejahitan dan metanding.
Selanjutnya, digelar persembahyangan bersama krama desa, pemain, dan penabuh dari krama pengempon Pura Swela yang dipimpin oleh pamangku pura setempat. Persembahyangan ini untuk memohon berkah dan keselamatan pementasan.
Dalam prosesi itu, dilakukan ngaturang banten (mempersembahkan sesaji) berupa pejati, yang terdiri dari peras, sodan, daksina, tipat kelanan, canang pesucian, serta segehan agung berupa kelapa, nasi putih 11 tanding, telor, canang, dan penjeneng yang berupa beras dan benang putih. Juga ada kain putih yang dilengkapi lontaran (gambar tentang simbol persembahan upacara), sebagai alas segehan agung.
Sedangkan pamangku yang memimpin persembahyangan menggunakan tetabuhan (berupa campuran arak brem dan tuak ), dupa, dan tirta (air suci). Selanjutnya, para pemain Barong Nong Nong Kling yang sudah siap dengan busana tari sesuai dengan peran yang dimainkan, keluar dari ruang utama Pura Swela menuju halaman, melewati pintu yang di bagian kiri-kanannya dipasangi pajeng warna putih dan kuning.
"Prosesi tersebut diiringi oleh bunyi gamelan yang dimainkan oleh sekelompok pemuda berpakaian adat serba putih. Ini memperlihatkan suasana kesakralan pertunjukan Barong Nong Nong Kling," ulas Gus Jumpung.
Pertunjukan Barong Nong Nong Kling diselenggarakan di alam terbuka tanpa
Panggung, sementara penontonnya dalam posisi duduk melingkar. Pemain Barong Nong Nong Kling berjumlah 5 orang, yang semuanya kaum lanang. Mereka masing-masing memerankan tokoh Kumbakarna (1 orang), kera (2 orang), dan punakawan (2 orang).
Formasi pemain pada adegan awal membentuk barisan, di mana yang terdepan adalah Kumbakarna, diikuti kera dan punakawan. Adegan berikutnya, pemain membentuk formasi sesuai dengan alur cerita dan berdasarkan improvisasi masing-masing. "Hampir tidak ada batas antara penonton dan pemain, sehingga terasa keakraban dalam pementasan Barong Nong Nong Kling,” terang Gus Jumpung.
Dialog tokoh Kumbakarna (adik dari Raja Rahwana) dan kera menggunakan Bahasa Kawi, yang diterjemahkan oleh Punakawan Delem dan Sangut dalam Bahasa Bali sambil melawak dan menyanyi, sehingga menimbulkan suasana gembira tetapi sakral. Setelah pertunjukan Barong Nong Nong Kling selesai, pemain dan penabuh berjalan mengeliligi desa, memasuki setiap halaman rumah krama di Banjar Peta-pan, Desa Aan.
Di tempat itu, halaman rumah krama, penari Barong Nong Nong Kling menggoyang-goyangkan pohon yang ada agar tumbuh subur, dengan hasil melimpah. Suasana semakin ramai ketika ritual ngelawang melibatkan anak-anak yang berjalan mengikuti di belakang pemain barong dan sesekali menggoda sambil bergurau. "Terkadang, bayi umur 6 bulan juga diikutkan saat ngelawang, dengan harapan mereka akan tumbuh menjadi seorang pemberani," tegas Gus Jumpung.
Sementara itu, Perbekel Aan, I Wayan Wira Adnyana, mengatakan pementasan Barong Nong Nong Kling setiap rahina Galungan dan Kuningan dilakukan untuk ngelawang. Sedangkan pementasan di Pura Swela dilakukan setiap pujawali pada Purnamaning Kapat. "Pura Swela diempon oleh sameton Dadia Agung Pasek Gelgel Aan Tempek Petapan lan Swelagiri Desa Adat Aan," jelas Wira Adnyana.
Barong Nong Nong Kling merupakan satu dari empat objek kebudayaan dari Kabupaten Klungkung yang ditetapkan menjadi WBTB Nasional tahun 2021. Tiga objek kebudayaan lainnya adalah Kain Tenun Cepuk dari Desa Tanglad (Kecamatan Nusa Penida), tradisi ritual Dewa Masraman dari Banjar Timbrah, Desa Paksebali (Kecamatan Dawan), dab ritual Caru Mejaga-jaga dari Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa, Kelurahan Semarapura Kaja (Kecamatan Klungkung).
Keempat objek kebudayaan ini dinyatakan lolos dalam Sidang Penetapan WBTB tahun 2021 yang dilaksanakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) di Hotel Millenium, Jakarta Pusat, 30 Oktober 2021. Kegiatan penetapan yang dimulai 26 Oktober 2021 tersebut dipimpin oleh Direktur Pelindungan Kebudayaan Kemendikbud Ristek, Irini Dewi Wanti, dengan dihadiri 14 orang Tim Ahli WBTB secara luring serta para Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota. *wan
Selain ngelawang saat Hari Suci Galungan dan Kuningan yang jatuh 6 bulan sekali (210 sistem penanggalan Bali) pada Buda Kliwon Dununggulan dan Saniscara Kliwon Kuningan, Barong Nong Nong Kling juga dipentaskan setiap pujawali di Pura Swela (Desa Aan) setahun sekali pada Purnama Kapat. Barong Nong Nong Klung biasanya dimainkan oleh krama lanang (pria) pengempon Pura Swela.
Sebetulnya, seni pertunjukan Barong Nong Nong Kling tidak menggunakan barong, melainkan tapel (topeng). Namun, pertunjukan ini tetap dikelompokkan dalam kesenian barong. Sedangkan cerita dalam pementasannya diambil dari epos Ramayana, yakni ‘Kerebut Kumbakarna’ (Kumbakarna yang diperangi banyak kera).
"Nama Nong Nong Kling diambil dari suara iringannya, yang apabila digerakkan, akan menimbulkan efek bunyi nong, nong, kling," ungkap Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga (Budpora) Kabupaten Klungkung, Ida Bagus Jumpung Gede Oka Wedhana, Senin (1/11) lalu.
Lahirnya seni pertunjukan Barong Nong Nong Kling, kata Gus Jumpung, diyakini terkait erat dengan sejarah berdirinya Desa Adat Aan, Kecamatan Banjarangkan. Desa Adat Aan diperkirakan didirikan oleh Jero Pasek Gelgel pada abad XVI. Jero Pasek Gelgel sendiri merupakan pejabat Istana Gelgel yang meninggalkan istana sekitar tahun 1580, ketika pergi menuju arah barat laut.
Setelah meninggalkan Istana Gelgel, Jero Pasek Gelgel kemudian merabas hutan pohon ea atau ahe yang ada beringin kembarnya. Di tempat itulah Jero Pasek Gelgel mendirikan desa yang kemudian diberi nama Desa Aan, beserta membangun palinggih yang kini dikenal sebagai Pura Suwela.
"Menurut purana, sekitar tahun 1755 terjadi bencana kelaparan di desa itu karena serangan hama, sehingga gagal panen," cerita Gus Jumpung. Berdasarkan pawisik (petunjuk niskala), maka diciptakanlah barong berupa Topeng Hanuman, Topeng Subali, Topeng Sugriwa, Topeng Kumbakarna, Topeng Rahwana, dan para punakawan. Barong-barong ini kemudian dipentaskan di halaman Pura Swela, catus pata (perempatan) desa, dan halaman rumah krama.
"Pertunjukan barong-barong ini dikenal sebagai tradisi ngelawang. Sesudah adanya pertunjukan ngelawang tersebut, kondisi tanaman berubah dan berbuah kembali. Hasil panen pun melimpah, sehingga warga setempat jadi sejahtera," papar Gus Jumpung.
Dari historis tersebut, kata Gus Jumpung, menunjukkan bahwa seni pertunjukan Barong Nong Nong Kling mengandung nilai ajaran spiritual bahwa hidup manusia di dunia merupakan pergulatan antara baik dan buruk, dharma dan adharma, serta panen dan hama. "Untuk mendapatkan kesejahteraan, dharma (kebenaran) harus dimenangkan dengan pertolongan Tuhan," katanya.
Pementasan Barong Nong Nong Kling itu sendiri diwariskan secara turun temurum di Banjar Petapan, Desa Aan hingga saat ini. Selain berfungsi sebagai penyelamatan tradisi dan pendekatan manusia dengan Tuhan, pementasan Barong Nong Nong Kling juga sebagai sarana penolak bala.
"Makna sosialnya adalah selain sebagai hiburan kesenian, pementasan Barong Nong Nong Kling juga memupuk kebersamaan dan jadi media pendidikan untuk menjaga hubungan baik manusia dengan sesama, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan lingkungan," kata Gus Jumpung.
Struktur pertunjukan Barong Nong Nong Kling selalu diawali dengan nedunang (mengeluarkan) topeng, busana, dan perlengkapan tari lainnya dari tempat penyimpanan. Selanjutnya, disiapkan sarana upacara (banten) yang dilakukan oleh kaum istri (ibu), termasuk juga majejahitan dan metanding.
Selanjutnya, digelar persembahyangan bersama krama desa, pemain, dan penabuh dari krama pengempon Pura Swela yang dipimpin oleh pamangku pura setempat. Persembahyangan ini untuk memohon berkah dan keselamatan pementasan.
Dalam prosesi itu, dilakukan ngaturang banten (mempersembahkan sesaji) berupa pejati, yang terdiri dari peras, sodan, daksina, tipat kelanan, canang pesucian, serta segehan agung berupa kelapa, nasi putih 11 tanding, telor, canang, dan penjeneng yang berupa beras dan benang putih. Juga ada kain putih yang dilengkapi lontaran (gambar tentang simbol persembahan upacara), sebagai alas segehan agung.
Sedangkan pamangku yang memimpin persembahyangan menggunakan tetabuhan (berupa campuran arak brem dan tuak ), dupa, dan tirta (air suci). Selanjutnya, para pemain Barong Nong Nong Kling yang sudah siap dengan busana tari sesuai dengan peran yang dimainkan, keluar dari ruang utama Pura Swela menuju halaman, melewati pintu yang di bagian kiri-kanannya dipasangi pajeng warna putih dan kuning.
"Prosesi tersebut diiringi oleh bunyi gamelan yang dimainkan oleh sekelompok pemuda berpakaian adat serba putih. Ini memperlihatkan suasana kesakralan pertunjukan Barong Nong Nong Kling," ulas Gus Jumpung.
Pertunjukan Barong Nong Nong Kling diselenggarakan di alam terbuka tanpa
Panggung, sementara penontonnya dalam posisi duduk melingkar. Pemain Barong Nong Nong Kling berjumlah 5 orang, yang semuanya kaum lanang. Mereka masing-masing memerankan tokoh Kumbakarna (1 orang), kera (2 orang), dan punakawan (2 orang).
Formasi pemain pada adegan awal membentuk barisan, di mana yang terdepan adalah Kumbakarna, diikuti kera dan punakawan. Adegan berikutnya, pemain membentuk formasi sesuai dengan alur cerita dan berdasarkan improvisasi masing-masing. "Hampir tidak ada batas antara penonton dan pemain, sehingga terasa keakraban dalam pementasan Barong Nong Nong Kling,” terang Gus Jumpung.
Dialog tokoh Kumbakarna (adik dari Raja Rahwana) dan kera menggunakan Bahasa Kawi, yang diterjemahkan oleh Punakawan Delem dan Sangut dalam Bahasa Bali sambil melawak dan menyanyi, sehingga menimbulkan suasana gembira tetapi sakral. Setelah pertunjukan Barong Nong Nong Kling selesai, pemain dan penabuh berjalan mengeliligi desa, memasuki setiap halaman rumah krama di Banjar Peta-pan, Desa Aan.
Di tempat itu, halaman rumah krama, penari Barong Nong Nong Kling menggoyang-goyangkan pohon yang ada agar tumbuh subur, dengan hasil melimpah. Suasana semakin ramai ketika ritual ngelawang melibatkan anak-anak yang berjalan mengikuti di belakang pemain barong dan sesekali menggoda sambil bergurau. "Terkadang, bayi umur 6 bulan juga diikutkan saat ngelawang, dengan harapan mereka akan tumbuh menjadi seorang pemberani," tegas Gus Jumpung.
Sementara itu, Perbekel Aan, I Wayan Wira Adnyana, mengatakan pementasan Barong Nong Nong Kling setiap rahina Galungan dan Kuningan dilakukan untuk ngelawang. Sedangkan pementasan di Pura Swela dilakukan setiap pujawali pada Purnamaning Kapat. "Pura Swela diempon oleh sameton Dadia Agung Pasek Gelgel Aan Tempek Petapan lan Swelagiri Desa Adat Aan," jelas Wira Adnyana.
Barong Nong Nong Kling merupakan satu dari empat objek kebudayaan dari Kabupaten Klungkung yang ditetapkan menjadi WBTB Nasional tahun 2021. Tiga objek kebudayaan lainnya adalah Kain Tenun Cepuk dari Desa Tanglad (Kecamatan Nusa Penida), tradisi ritual Dewa Masraman dari Banjar Timbrah, Desa Paksebali (Kecamatan Dawan), dab ritual Caru Mejaga-jaga dari Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa, Kelurahan Semarapura Kaja (Kecamatan Klungkung).
Keempat objek kebudayaan ini dinyatakan lolos dalam Sidang Penetapan WBTB tahun 2021 yang dilaksanakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) di Hotel Millenium, Jakarta Pusat, 30 Oktober 2021. Kegiatan penetapan yang dimulai 26 Oktober 2021 tersebut dipimpin oleh Direktur Pelindungan Kebudayaan Kemendikbud Ristek, Irini Dewi Wanti, dengan dihadiri 14 orang Tim Ahli WBTB secara luring serta para Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota. *wan
Komentar