Petani Jeruk Manikliyu Kintamani Berharap Konsumsi Buah Lokal Meningkat
BANGLI, NusaBali.com – Buah lokal masih saja bersaing dengan buah impor. Bukan saja untuk konsumsi sehari-hari, namun untuk menyambut hari Raya Galungan, buah lokal juga berkompetisi dengan buah impor.
Untuk buah jeruk misalnya, petani jeruk di Kintamani harus bersaing dengan jeruk impor seperti Sunkist yang memiliki tampilan cerah, ukuran besar dan rasa yang manis. “Padahal buah jeruk siam lokal dari Desa Manikliyu juga tidak kalah kualitasnya. Rasanya manis, ukurannya lumayan besar, dan warnanya kuning mengkilap,” ujar I Ketut Garis, 50, petani jeruk yang berlokasi di Desa Manikliyu, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Senin (8/11/2021) siang.
Harga jeruk siam yang dikembangkan di di Desa Manikliyu sejak tahun 1980an ini hanya Rp 6.000 per kilogram, sedangkan menjelang hari raya Galungan, Rabu (10/11/2021), menjadi Rp 10.000 per kilogram. “Kalau di sini, petani biasanya jual ke pengepul. Pengepul bisa beli 3 ton sampai 5 ton untuk dijual kembali ke pasar-pasar,” terang I Ketut Garis.
Petani yang juga Perbekel Desa Manikliyu periode 2016-2021 ini menambahkan, selain dijual ke pengepul, hasil panen juga dijual sendiri di Pasar Desa Manikliyu. “Konsumennya ada dari Desa Bayung Cerik, Glagah Linggah, Ulian dan Bunutin,” terang I Ketut Garis menyebut sejumlah desa tetangga di Kecamatan Kintamani.
Sementara itu Perbekel Desa Manikliyu saat ini, I Wayan Suartika, menambahkan bahwa harga jeruk menyesuaikan dengan kualitas dan kondisi dari buah jeruk yang ada. “Kualitas itu berdasarkan warna, ukuran dan rasanya. Semakin besar, semakin bagus warna buah, dan semakin manis rasanya maka harga akan naik. Dari kualitas menengah hingga kualitas super itu di rentang harga Rp 8.000 hingga Rp 10.000 per kilogram,” ujarnya.
Dari total 511 KK dinas yang berada di Desa Manikliyu, 95 persennya berprofesi sebagai petani. Terutama petani jeruk siam yang menjadi ciri khas, dan ikon Desa Manikliyu, maupun Kecamatan Kintamani. “Ayo dukung para petani lokal, terutama di saat momen hari raya Galungan seperti ini. Agar sektor pertanian di Bali dapat terus berkembang, dan tidak tergerus zaman,” tambah Suartika.
Kemudian I Ketut Garis yang telah aktif bergulat di sektor pertanian sejak tahun 1990an, mengungkapkan bahwa dalam mengembangkan komoditi jeruk, terdapat banyak kendala di dalamnya, terutama keberadaan penyakit seperti busuk batang, gugur daun, ranting kering, dan keberadaan hama seperti lalat buah, yang kerap kali merusak hasil buah jeruk tersebut. “Untuk biaya perawatan dalam satu tahun, di luas lahan 2 hektare yang saya kelola ini menghabiskan sekitar Rp 50 juta, sudah termasuk pupuk, dan obat-obatan untuk tanaman,” jelasnya.
Lebih lanjut I Ketut Garis menjelaskan, bahwa pohon jeruk siam yang ada di Desa Manikliyu, panen pada bulan ketujuh dan kedelapan, atau pada bulan Juli dan Agustus di setiap tahunnya. “Tahun ini, saya dapat hasil panen 45 ton, dan kalau dijual itu senilai Rp 350 juta,” ungkapnya.
Ia pun mengatakan bahwa hari raya Galungan yang jatuh di bulan November atau bulan kesebelas, yang bukan merupakan bulan panen komoditi jeruk siam yang ada di Desa Manikliyu, menyebabkan para petani tidak dapat secara maksimal menyediakan pasokan buah untuk dipasarkan lebih luas lagi.
“Pengepul kecil pun ada, hanya beli 20 kilogram sampai 50 kilogram saja. Nanti sampai pasar harganya bisa sampai Rp 15.000 per kilogram,” katanya.
I Ketut Garis pun berharap agar masyarakat Bali, dapat terus mendukung para keberadaan petani lokal, baik petani bunga, petani buah, maupun petani beras yang ada. Sebab keberadaan para petani di Bali memegang peran penting dalam kelestarian alam di Bali, selain itu juga merupakan pemasok kebutuhan pokok seperti beras, buah dan bunga yang dibutuhkan oleh masyarakat Bali. “Selain itu di sektor pertanian, terutama pertanian di Bali, juga terkandung nilai-nilai budaya di dalamnya. Seperti pelaksanaan hari Tumpek Uduh, yang memiliki makna penghormatan terhadap tanaman,” tandasnya. *rma
Komentar