Lestari Hanya Andalkan Perajin Sepuh
Kerajinan Bokor Slaka di Kelurahan Beratan, Buleleng
Desa Adat Beratan Samayaji dijuluki sebagai desa agaluh-agandring.
SINGARAJA, NusaBali
Putu Sudana, 65, warga Lingkungan/Kelurahan Beratan, Kecamatan/Kabupaten Buleleng tampak duduk sambil memegang palu kecil. Sorot matanya fokus sambil sesekali palu itu dipukulkan ke atas pahat kecil untuk membentuk pola pada bokor berbahan kuningan.
Bokor sebagai salah satu sarana atau wadah yang digunakan dalam upacara yadnya. Bokor menjadi spesial karena memiliki lapisan perak (slaka). Orang Bali menyebutnya bokor slaka.
Harga bokor slaka relatif mahal. Dahulu perabotan ini hanya bisa dibeli oleh keluarga kerajaan atau orang terpandang. Seiring perkembangan zaman, perabotan rumah tangga elit sudah bisa dibeli oleh siapa pun.
Kelurahan Beratan punya sejarah penting dalam menyokong barang-barang kerajaan Buleleng. Perabotan rumah tangga, perhiasan hingga senjata prajurit dikerjakan pande Beratan. Kain tenun yang dikenakan petinggi kerajaan juga disuplai hasil tenun ibu- ibu dari Beratan. Karena itu, Desa Adat Beratan Samayaji dijuluki sebagai desa agaluh-agandring. Agaluh, wanita penenun kain bermotif indah, dan agandring berarti pria berprofesi pande.
Kepiawaian warga Beratan dalam menenun dan menande secara turun temurun. Hanya saja, sejak dua dekade terakhir, banyak penenun dan memande beralih ke mata pencaharian lain. Namun hal tersebut tak dilakukan Putu Sudana. Menginjak usia sepuh, dia masih semangat dan konsisten berkarya menjadi perajin bokor slaka. “Kalau perajin sudah turun-temurun, saya sejak muda sudah belajar dan garap. Dulu waktu masih jadi pegawai memang selingan saja mengerjakan. Setelah pensiun baru fokus,” ucap Sudana yang juga pensiunan pegawai Dinas Disdikpora Buleleng ini.
Tak hanya bokor slaka yang dikerjakan, tetapi sejumlah perabotan rumah tangga juga dikerjakannya dengan sangat apik. Mulai dari dulang sebidang, dulang tumpang, sangku, lepekan dan cangkir untuk soda talam hingga saab.
Produk kerajinan ini memiliki ukiran indah dan khas, selain memang istimewa karena berbahan logam mulia.
Perajin perak Beratan selalu membubuhkan motif seet mingmang, baik pada kerajinan tenun dan kerajinan peraknya. Seiring perkembangan zaman dan kenaikan harga bahan baku, Putu Sudana pun berinovasi. Plat bahan pokok bokor dari kuningan, lanjut diukir dan disepuh perak. Inovasi ini untuk mengakomodir agar harga bisa lebih murah. “Kalau bokor perak asli ukuran sama bisa sampai Rp 7 juta. Kalau pakai kuningan paling Rp 300.000 - Rp 350.000,” kata Sudana.
Pembuatan satu bokor berlapis emas memerlukan waktu 6 - 7 hari, dengan harga jual antara Rp 300.000 – Rp 350.000, bahkan Rp 7 juta.
Para perajin perak Beratan tidak berpromosi langsung. Promosi hanya mengandalkan pembeli yang memesan langsung. Sudana mampu menjual rata-rata 3 bokor per bulan. Namun penghasilan dari jual bokor berkurang karena pandemi Covid-19. “Sekarang sepi sekali. Tapi saya tetap buat selagi sehat dan sempat,” ungkap dia.
Pemeliharaan perabotan cukup mudah. Setelah dipakai dapat dicuci bersih menggunakan air dan dijemur di bawah sinar matahari. Jika terlihat sudah luntur dapat disepuh kembali dengan perak, sehingga kembali tampak baru.
Di tengah keuletannya menghasilkan produk yang indah, Sudana memiliki kekhawatiran, yakni minimnya regenerasi perajin. “Kalau anak-anak mau belajar pasti cepat bisa karena sudah keturunan. Tetapi sekarang memang tidak ada yang mau buat kebanyakan kerja di kapal pesiar dan kerja kantoran,” jelasnya.
Meski demikian, untuk menjaga tradisi seni dan budaya khas Beratan, pemerintah desa dan pemerintah Desa Adat Beratan Samayaji beberapa kali membuat pelatihan kerajinan perak. “Harapannya hanya satu, jangan sampai punah saja,” tutup Sudana. *k23
Bokor sebagai salah satu sarana atau wadah yang digunakan dalam upacara yadnya. Bokor menjadi spesial karena memiliki lapisan perak (slaka). Orang Bali menyebutnya bokor slaka.
Harga bokor slaka relatif mahal. Dahulu perabotan ini hanya bisa dibeli oleh keluarga kerajaan atau orang terpandang. Seiring perkembangan zaman, perabotan rumah tangga elit sudah bisa dibeli oleh siapa pun.
Kelurahan Beratan punya sejarah penting dalam menyokong barang-barang kerajaan Buleleng. Perabotan rumah tangga, perhiasan hingga senjata prajurit dikerjakan pande Beratan. Kain tenun yang dikenakan petinggi kerajaan juga disuplai hasil tenun ibu- ibu dari Beratan. Karena itu, Desa Adat Beratan Samayaji dijuluki sebagai desa agaluh-agandring. Agaluh, wanita penenun kain bermotif indah, dan agandring berarti pria berprofesi pande.
Kepiawaian warga Beratan dalam menenun dan menande secara turun temurun. Hanya saja, sejak dua dekade terakhir, banyak penenun dan memande beralih ke mata pencaharian lain. Namun hal tersebut tak dilakukan Putu Sudana. Menginjak usia sepuh, dia masih semangat dan konsisten berkarya menjadi perajin bokor slaka. “Kalau perajin sudah turun-temurun, saya sejak muda sudah belajar dan garap. Dulu waktu masih jadi pegawai memang selingan saja mengerjakan. Setelah pensiun baru fokus,” ucap Sudana yang juga pensiunan pegawai Dinas Disdikpora Buleleng ini.
Tak hanya bokor slaka yang dikerjakan, tetapi sejumlah perabotan rumah tangga juga dikerjakannya dengan sangat apik. Mulai dari dulang sebidang, dulang tumpang, sangku, lepekan dan cangkir untuk soda talam hingga saab.
Produk kerajinan ini memiliki ukiran indah dan khas, selain memang istimewa karena berbahan logam mulia.
Perajin perak Beratan selalu membubuhkan motif seet mingmang, baik pada kerajinan tenun dan kerajinan peraknya. Seiring perkembangan zaman dan kenaikan harga bahan baku, Putu Sudana pun berinovasi. Plat bahan pokok bokor dari kuningan, lanjut diukir dan disepuh perak. Inovasi ini untuk mengakomodir agar harga bisa lebih murah. “Kalau bokor perak asli ukuran sama bisa sampai Rp 7 juta. Kalau pakai kuningan paling Rp 300.000 - Rp 350.000,” kata Sudana.
Pembuatan satu bokor berlapis emas memerlukan waktu 6 - 7 hari, dengan harga jual antara Rp 300.000 – Rp 350.000, bahkan Rp 7 juta.
Para perajin perak Beratan tidak berpromosi langsung. Promosi hanya mengandalkan pembeli yang memesan langsung. Sudana mampu menjual rata-rata 3 bokor per bulan. Namun penghasilan dari jual bokor berkurang karena pandemi Covid-19. “Sekarang sepi sekali. Tapi saya tetap buat selagi sehat dan sempat,” ungkap dia.
Pemeliharaan perabotan cukup mudah. Setelah dipakai dapat dicuci bersih menggunakan air dan dijemur di bawah sinar matahari. Jika terlihat sudah luntur dapat disepuh kembali dengan perak, sehingga kembali tampak baru.
Di tengah keuletannya menghasilkan produk yang indah, Sudana memiliki kekhawatiran, yakni minimnya regenerasi perajin. “Kalau anak-anak mau belajar pasti cepat bisa karena sudah keturunan. Tetapi sekarang memang tidak ada yang mau buat kebanyakan kerja di kapal pesiar dan kerja kantoran,” jelasnya.
Meski demikian, untuk menjaga tradisi seni dan budaya khas Beratan, pemerintah desa dan pemerintah Desa Adat Beratan Samayaji beberapa kali membuat pelatihan kerajinan perak. “Harapannya hanya satu, jangan sampai punah saja,” tutup Sudana. *k23
Komentar