'Jangan Terjebak Promosi Murah'
Pariwisata Menggeliat
DENPASAR,NusaBali
Dewan Pimpinan Pusat Association of Hospitality Leaders Indonesia (DPP AHLI) meminta industri pariwisata, khususnya jajaran AHLI Bali tidak ‘terjebak’ promosi harga hotel murah.
Sebaliknya membuat program-program atau paket experiential travel atau wisata berbasis pengalaman.
Ketua Umum AHLI I Ketut Swabawa mengatakan hal itu terkait mulai menggeliatnya pariwisata Bali pasca pelonggaran PPKM dan open border Bali untuk 19 negara (Kamis, 14/10). Promosi harga murah dikhawatirkan menurunkan kepercayaan publik. Padahal pihak lain Bali menginginkan pariwisata berkualitas.
“Orang berwisata ke Bali tak hanya tidur di kamar, kemudian pergi ke pantai. Itu konvensional,” ucap Swabawa, Senin (15/11).
Sedang yang experiential travel, bagaimana misalnya mengajak wisatawan diajak mendatangi dan melihat UKM-UKM di desa-desa seperti tenun di Desa Tengananan, di Desa Sidemen ( di Kabupaten Karangasem)
“Yang paling gampang contohnya bagaimana membikin jaja laklak,” ujar Swabawa yang juga Direktur Stanagiri Management International.
Promosi harga murah kata Swabawa bersifat instan dan jangka pendek. Kalau dengan alasan pakpok, juga tidak tepat. “Mengapa berbisnis pakpok, kenapa bisnis tak dapat profit?.” Karena profit tak hanya mengisi kantong owner, tetapi untuk merawat hotel, melakukan promosi yang lebih baik. Semuanya butuh biaya.
Dampak harga murah akan menurunkan kepercayaan publik, karena kalau bicara pariwisata berkualitas orang akan berpikir the quality at that price, yakni kualitas itu diharga sekian. Kalau harganya murah, kualitas murah. Logikanya begitu.
Menurut K Swabawa yang mampu berlibur saat ini adalah yang midle up, yang punya duit. “Yang menurut mereka harga murah adalah nomor sekian. Yang mereka inginkan kualitas,” kata pria yang juga Sekretaris DPD Masyarakat Sadar Wisata (MASATA)Bali.
Karena itu kepada AHLI diimbau menyiapkan diri saat pariwisata semakin menggeliat.” Kita ambil celahnya, revenge tourism, ‘wisata balas dendam’,” . Dua tahun wisatawan tak bisa berwisata karena pandemi, menjadi moment menawarkan tempat tempat pariwisata untuk experiential tourism. *K17
“Orang berwisata ke Bali tak hanya tidur di kamar, kemudian pergi ke pantai. Itu konvensional,” ucap Swabawa, Senin (15/11).
Sedang yang experiential travel, bagaimana misalnya mengajak wisatawan diajak mendatangi dan melihat UKM-UKM di desa-desa seperti tenun di Desa Tengananan, di Desa Sidemen ( di Kabupaten Karangasem)
“Yang paling gampang contohnya bagaimana membikin jaja laklak,” ujar Swabawa yang juga Direktur Stanagiri Management International.
Promosi harga murah kata Swabawa bersifat instan dan jangka pendek. Kalau dengan alasan pakpok, juga tidak tepat. “Mengapa berbisnis pakpok, kenapa bisnis tak dapat profit?.” Karena profit tak hanya mengisi kantong owner, tetapi untuk merawat hotel, melakukan promosi yang lebih baik. Semuanya butuh biaya.
Dampak harga murah akan menurunkan kepercayaan publik, karena kalau bicara pariwisata berkualitas orang akan berpikir the quality at that price, yakni kualitas itu diharga sekian. Kalau harganya murah, kualitas murah. Logikanya begitu.
Menurut K Swabawa yang mampu berlibur saat ini adalah yang midle up, yang punya duit. “Yang menurut mereka harga murah adalah nomor sekian. Yang mereka inginkan kualitas,” kata pria yang juga Sekretaris DPD Masyarakat Sadar Wisata (MASATA)Bali.
Karena itu kepada AHLI diimbau menyiapkan diri saat pariwisata semakin menggeliat.” Kita ambil celahnya, revenge tourism, ‘wisata balas dendam’,” . Dua tahun wisatawan tak bisa berwisata karena pandemi, menjadi moment menawarkan tempat tempat pariwisata untuk experiential tourism. *K17
Komentar