Beras Merah Bali Diminati Singapura dan China
Harganya lebih mahal dua kali lipat dibanding beras konvensional (putih).
DENPASAR,NusaBali
Jenis beras khusus, yakni beras merah dari Bali punya peminat di Singapura dan China. Kalangan petani Bali bersiap-siap menjajagi untuk bisa menjual beras merah Bali ke kedua negara tersebut. Jika terwujud tentu menambah ragam produk ekspor Bali di sektor pertanian.
“Sudah diminta untuk mengirim sample,” ujar I Made Suka Artha, seorang petani dari Subak Asah Piling, Desa Piling Kecematan Penebel, Tabanan, Rabu (17/11).
Namun Suka Artha menyatakan dia belum mengirimkannya. “Nanti kami akan siapkan dulu. Termasuk prosedur ekspornya,” katanya usai mengikuti rapat koordinasi (rakor) Peluang Usaha Ekspor dan atau Substitusi Produk Tanaman dan Investasi di Pemecutan Klod, Denpasar.
Namun demikian Suka Artha menyatakan siap menjual beras merah ‘made in Bali’ itu ke Singapura dan China, setelah beberapa tahun lalu dia ekspor ke Amerika Serikat. Karena kata Suka Artha, hal itu merupakan peluang untuk mengembangkan lebih luas penjualan produk pertanian Bali khususnya.
Dijelaskan Suka Arha, beras merah merupakan beras yang dihasilkan dari padi lokal Bali, di beberapa subak di Bali. Diantaranya di Desa Jatiluwih dan Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel Tabanan. Proses budidaya, hingga pengolahan pasca panen dilakukan secara manual. Karena kekhususnya itulah harga perkilo juga lumayan, dua kali dari harga beras konvensional atau beras putih.
“Baru tahap awal bisa Rp 22.000 perkilo,” ungkap Suka Artha. Harga tersebut belum termasuk kemasan dan branding.
Rakor Peluang Usaha Ekspor Dan Atau Substitusi Produk Tanaman Pangan dilaksanakan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Selasa (16/11) – Rabu (17/11).
Kabid Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali I Wayan Sunarta mengatakan rakor bertujuan memfasilitasi pelaku usaha, khususnya pada daerah yang memiliki keunggulan produksi. Petani, gapoktan (gabungan kelompok tani) dan pelaku usahanya siap melaksanakan ekspor komoditas tanaman pangan sesuai permintaan negara tujuan.
Rakor juga dimaksudkan meningkatkan ketersediaan produk tanaman pangan dan ketersediaan produk tanaman pangan.
“Serta terjaganya stabilitas harga, baik di dalam negeri maupun ekspor,” ujar Sunarta. Rakor diikuti kelompok tani yang berproduksi tanaman yang berpotensi ekspor pada komoditas padi dan porang.
Sebelumnya Plt Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan I Ketut Lihadnyana mengatakan situasi pandemi Covid-19 berdampak langsung pada sektor pertanian karena turunnya serapan hasil pertanian oleh hotel restoran dan katering (horeka). Ekspor produk pertanian segar juga terpengaruh, karena tidak ada direct fligth ke Bali, menyebabkan biaya logistik lebih tinggi.
Namun demikian sektor pertanian masih tumbuh positif, sedang sektor pariwisata dan sektor penunjangnya masih tumbuh negatif.
“Ini menyadarkan kita untuk mereview sistem perekonomian Bali,” kata Lihadnyana. Perlu transformasi ekonomi Bali, dimana pertanian menjadi lokomotif sejajar dengan sektor lainnya. *K17.
“Sudah diminta untuk mengirim sample,” ujar I Made Suka Artha, seorang petani dari Subak Asah Piling, Desa Piling Kecematan Penebel, Tabanan, Rabu (17/11).
Namun Suka Artha menyatakan dia belum mengirimkannya. “Nanti kami akan siapkan dulu. Termasuk prosedur ekspornya,” katanya usai mengikuti rapat koordinasi (rakor) Peluang Usaha Ekspor dan atau Substitusi Produk Tanaman dan Investasi di Pemecutan Klod, Denpasar.
Namun demikian Suka Artha menyatakan siap menjual beras merah ‘made in Bali’ itu ke Singapura dan China, setelah beberapa tahun lalu dia ekspor ke Amerika Serikat. Karena kata Suka Artha, hal itu merupakan peluang untuk mengembangkan lebih luas penjualan produk pertanian Bali khususnya.
Dijelaskan Suka Arha, beras merah merupakan beras yang dihasilkan dari padi lokal Bali, di beberapa subak di Bali. Diantaranya di Desa Jatiluwih dan Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel Tabanan. Proses budidaya, hingga pengolahan pasca panen dilakukan secara manual. Karena kekhususnya itulah harga perkilo juga lumayan, dua kali dari harga beras konvensional atau beras putih.
“Baru tahap awal bisa Rp 22.000 perkilo,” ungkap Suka Artha. Harga tersebut belum termasuk kemasan dan branding.
Rakor Peluang Usaha Ekspor Dan Atau Substitusi Produk Tanaman Pangan dilaksanakan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Selasa (16/11) – Rabu (17/11).
Kabid Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali I Wayan Sunarta mengatakan rakor bertujuan memfasilitasi pelaku usaha, khususnya pada daerah yang memiliki keunggulan produksi. Petani, gapoktan (gabungan kelompok tani) dan pelaku usahanya siap melaksanakan ekspor komoditas tanaman pangan sesuai permintaan negara tujuan.
Rakor juga dimaksudkan meningkatkan ketersediaan produk tanaman pangan dan ketersediaan produk tanaman pangan.
“Serta terjaganya stabilitas harga, baik di dalam negeri maupun ekspor,” ujar Sunarta. Rakor diikuti kelompok tani yang berproduksi tanaman yang berpotensi ekspor pada komoditas padi dan porang.
Sebelumnya Plt Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan I Ketut Lihadnyana mengatakan situasi pandemi Covid-19 berdampak langsung pada sektor pertanian karena turunnya serapan hasil pertanian oleh hotel restoran dan katering (horeka). Ekspor produk pertanian segar juga terpengaruh, karena tidak ada direct fligth ke Bali, menyebabkan biaya logistik lebih tinggi.
Namun demikian sektor pertanian masih tumbuh positif, sedang sektor pariwisata dan sektor penunjangnya masih tumbuh negatif.
“Ini menyadarkan kita untuk mereview sistem perekonomian Bali,” kata Lihadnyana. Perlu transformasi ekonomi Bali, dimana pertanian menjadi lokomotif sejajar dengan sektor lainnya. *K17.
1
Komentar