Lulut Emas Muncul Lagi, Pertanda Buruk? Begini Penjelasannya Sesuai Lontar 'Bhama Kertih'
SEMARAPURA, NusaBali.com - Kehadiran Lulut Emas di Tanah Bali kembali dilaporkan seorang warga yang kedatangan gerombolan ulat bertekstur lembut tersebut. Sebuah video Instagram diposting, Selasa (23/11/2021), menunjukkan ratusan ulat berwarna keemasan merayap di atas tanah basah, disebutkan di daerah Bedugul (Tabanan).
Sebagian masyarakat di Bali mungkin menganggap kejadian tersebut sebagai fenomena alam biasa (sekala) sehingga menganggap kehadiran lulut emas tidak perlu dibesar-besarkan. Namun, sebagian lagi melihat fenomena tersebut dari sisi niskala, meyakini kehadiran lulut harus dibarengi dengan upacara tertentu untuk menghindari malapetaka yang mungkin menimpa.
Menurut Jero Mangku I Gede Adhinata dari Pura Pajenengan Kawan-Pulasari, Desa Tegak, Klungkung, fenomena lulut sudah ada sejak zaman leluhur orang Bali, hingga akhirnya dituliskan dalam lontar ‘Bhama Kertih.’
Jero Mangku pun menjelaskan, ada empat jenis lulut, yakni lulut perak, lulut tembaga, lulut emas, dan lulut besi.
“Dikatakan lulut itu tanda tidak baik itu sudah jelas sekali diterangkan dalam lontar ‘Bhama Kertih’. Yan hana lulut metu ring pakarangan, kalulut baya, ngaran panes,” ujar Jero Mangku Adhinata, dihubungi NusaBali.com, Selasa (23/11/2021).
Jika diterjemahkan kurang lebih artinya: apabila ada lulut di pekarangan, pertanda datang bahaya yang terus menerus.
Lebih jauh Jero Mangku menuturkan, upacara yang mesti dilakukan jika kedapatan muncul lulut emas di pekarangan rumah kita, pun sudah dituliskan dalam lontar.
Jero Mangku I Gede Adhinata.- DOK.NUSABALI
Jero Mangku Adhinata yang kebetulan juga pernah kedatangan lulut emas di pekarangan rumahnya, mengatakan upacara yang dilakukan tersebut tidak bisa dilakukan secara sembarangan karena harus mengikuti hari baik yang sudah ditetapkan.
Lebih lanjut Jero Mangku Adhinata menjelaskan runtutan upacara yang harus dilakukan adalah menghaturkan Segehan Manca Warna di tempat adanya lulut tersebut. Kemudian lulut tersebut diambil mempergunakan Sidu (sendok yang terbuat dari busung atau janur), dimasukkan ke dalam bungkak nyuh gading, dibungkus dengan kain putih, kemudian dihanyutkan ke sungai.
“Apabila memungkinkan dihanyutkan langsung ke pantai. Sebelum menghanyutkannya tentu menghaturkan piuning atau mohon izin terlebih dahulu dengan mempersembahkan canang sari,” kata Jero Mangku Adhinata.
Setelah itu terlaksana, pemilik pekarangan atau rumah disarankan segera menggelar Upacara Caru Jigra Maya, sebagai penetralisir unsur negatif dari kejadian tersebut.
“Upacara Caru Jigra Maya niki tidak sembarang upacara, karena harus menentukan hari baik terlebih dahulu. Dalam pelaksanaannya sangat sakral sekali, karena akan mengembalikan atau menetralisir unsur-unsur negatif. Astungkara keadaan di rumah setelah upacara itu menjadi baik, bahkan sangat baik sekali,” pungkas Jero Mangku Adhinata yang juga sebagai guru Agama Hindu di SMK Negeri 1 Klungkung. *adi
Komentar