Jadi Simbolik Pengikat Deha-Teruna Agar Tidak Menikah ke Luar Desa
Tari Abuang Luh Muani di Desa Adat Tenganan Pagringsingan yang Baru Ditetapkan Jadi WBTB
Tari Abuang Luh Muani diperkirakan sudah ada sejak sejak berdirinya Desa Adat Tenganan Pagringsingan di abad X. Tarian ini digelar setahun sekali sebagai rangkaian penutup upacara Usaba Kasa di Pura Bale Agung
AMLAPURA, NusaBali
Selain tradisi Materuna Nyoman, ada satu lagi objek kebudayaan dari Desa Adat Tenganan Pagringsingan, Desa Tenganan, Kecamatan Mangggis, Karangasem yang ditetapkan pemerintah menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional tahun 2021. Objek tersebut adalah Tari Abuang Luh Muani, tarian yang yang bermakna sebagai simbolik pengikat deha dan taruna (remaja perempuan dan laki-laki) agar tidak menikah ke luar desa.
Tari Abuang Luh Muani ditampilkan sebagai rangkaian penutup upacara Usaba Kasa yang diselenggarakan setiap tahun di Pura Bale Agung, Desa Adat Tenganan Pagringsingan. Rangkaian upacara Usaba Kasa itu sendiri diawali dengan ritual Nyepi selama 15 hari, dimulai penanggal 1 hingga penanggal 15 setelah Tilem Sasih Sadha.
Pada hari pertama pelaksanaan Nyepi, krama Desa Adat Tenganan Pagringsingan wajib membuat bubur uduan dan menata buah untuk dipajang di Pura Bale Agung. Di hari pertama Nyepi itu, krama setempat dilarang menyuarakan alat-alat dari besi, pantang menanam pohon atau membuat lubang, dan tidak boleh ada anak-anak menangis. Sedangkan aktivitas sosial berjalan seperti biasa.
Selama Nyepi, masing-masing krama di Bale Patemu Kaja, Bale Patemu Tengah, dan Bale Patemu Kelod harus menggelar Tari Rejang pada hari yang berbeda-beda. Selanjutnya, tepat pada Purnamaning Kasa atau di hari terakhir Nyepi, dilaksanakan puncak upacara Usaba Kasa.
Nah, 5 hari setelah upacara Usaba Kasa, barulah digelar pentas Tari Abuang Luh Muani, dengan menghadirkan para deha dan teruna dari Desa Adat Tenganan Pagringsingan. Mereka semua ngumpul di Pura Bale Agung dengan mengenakan pakaian adat yang sepenuhnya kain gringsing, tapi tanpa busana atasan.
Pementasan Tari Abuang Luh Muani tersebut memiliki pesan khusus: untuk mengikat para remaja perempuan dan laki-laki agar tidak menikah ke luar desa---walaupun kenyataannya banyak juga yang menikah ke luar desa. Dengan mempertemukan deha dan teruna dalam Tari Abuang Luh Muani, maka terjadilah interaksi di antara mereka.
“Tari Abuang Luh Muani ini berfungsi juga menghibur penari dan masyarakat, selain juga tujuan pokok mempertemukan deha dan teruna sebagai keseimbangan kehidupan agar selalu harmonis,” jelas salah satu dari 6 Bendesa Adat Tenganan Pagringsingan, Putu Suarjana, saat ditemui NusaBali di kediamannya kawasan Banjar Adat Kauh, Desa Adat Tenganan Pagringsingan, Sabtu (20/11) lalu.
Struktur pertunjukan Tari Abuang Luh Muani ini dibagi empat. Pertama, penjemputan penari deha. Kedua, deha menari tunggal. Ketiga dan keempat, deha-teruna menari berpasang-pasangan. Sepintas, tariannya terlihat sederhana, penari berpasang-pasangan, merentangkan tangan ke samping kanan, samping kiri, dan ke depan.
Jumlah penari dalam Tari Abung Luh Muani di Desa Adat Tenganan Pagringsingan tergantung jumlah deha dan teruna yang hadir. Selama menari, mereka intens berkomunikasi
Menurut Putu Suarjana, Tari Abuang Luh Muani ini diperkirakan sudah ada sejak abad X saat dinasti Sri Kesari Warmadewa berkuasa di Bali Dwipa, bersamaan dengan berdirinya Desa Adat Tenganan Pagringsingan berlokasi di antara Bukit Kangin dan Bukit Kauh. Desa Adat Tenganan Pagringsingan mewilayahi 3 banjar adat: Banjar Kauh, Banjar Tengah, dan Banjar Kangin (Banjar Pande).
Putu Suarjana menyebutkan, Tari Abuang Luh Muani sebenarnya hiburan setelah upacara Usaba Kasa berakhir. Tari Abuang Luh Muani ini wajib digelar setahun sekali. "Ini sudah menjadi tradisi turun temurun, di mana Tari Abuang Luh Muani wajib digelar usai Usaba Kasa," tandas Suarjana.
Pementasan Tari Abung Luh Muani di Desa Adat Tenganan Pagringsingan selalu memikat wisatawan. Secara estetika, tarian ini dihadirkan melalui unsur seni, juga sebagai bentuk persembahan yang dilandasi konsep ‘satyam (kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaram (keindahan)’.
Pada tataran satyam, upacara itu mesti digagas berdasarkan konsep filosofi dan menjadi landasan di mana upacara dapat dipertanggungjawabkan dari dimensi pemahaman filsafatnya. Pada tataran siwam, upacara itu harus mencerminkan spirit kasucian, baik dalam pemilihan waktu, tempat, sarana, maupun pemimpin upacara yang semuanya mesti menghadirkan kasucian. Sedangkan pada tataran sundaram, upacara harus tampil dalam bentuknya yang paling indah.
Maka, ketika tari wali dihadirkan, sesungguhnya lebih menghadirkan gambaran yang utuh dari satyam, siwam, dan sundaram itu sendiri. Menurut Suarjana, sesungguhnya yang paling menjiwai semua gerak tari wali adalah gerak Siwa Nata Raja, gerak Siwa sebagai penguasa tari. Siwa Nataraja juga merupakan gerak tari kosmis, di mana dalam mitologinya, Siwa menciptakan dunia beserta isinya sambil menari. Dari daya tarinya yang maha hebat, maka muncul-lah dunia.
Tari Abuang Luh Muani sendiri merupakan satu dari dua objek kebudayaan dari Desa Adat Tenganan Pagringsingan yang ditetapkan pemerintah melalui Kemenristek Dikti sebagai WBTB tahun 2021. Selain Tari Abuang Luh Muani, yang juga ditetapkan sebagai WBTB tahun 2021 adalah tradisi ritual Materuna Nyoman di Desa Adat Tenganan Pagringsingan. Tradisi Materuna Nyoman adalah ritual khu-sus untuk pengukuhan jadi ‘Remaja Desa’ di Desa Adat Tenganan Pagringsingan, yang prosesinya dilakukan selama 12 bulan.
Selain tradisi ritual Materuna Nyoman dan tari Abuang Luh Muani di Desa Adat Tenganan Pagringsingan, ada 4 objek kebudayaan lagi dari Kabupaten Karangasem yang ditetapkan pemerintah menjadi WBTB tahun 2021. Keempat objek tersebut, masing-masing Tari Genjek dari Desa Adat Jasri (Kelurahan Subagan, Kecamatan Karangasem), Tari Seraman dari Desa Adat Kebon Bukit (Desa Bukit, Kecamatan Karangasem), kuliner Blayag dari Desa Adat Karangasem (Kecamatan Karangasem), dan kerajinan Anyaman Ata di Kabupaten Karangasem. *k16
Tari Abuang Luh Muani ditampilkan sebagai rangkaian penutup upacara Usaba Kasa yang diselenggarakan setiap tahun di Pura Bale Agung, Desa Adat Tenganan Pagringsingan. Rangkaian upacara Usaba Kasa itu sendiri diawali dengan ritual Nyepi selama 15 hari, dimulai penanggal 1 hingga penanggal 15 setelah Tilem Sasih Sadha.
Pada hari pertama pelaksanaan Nyepi, krama Desa Adat Tenganan Pagringsingan wajib membuat bubur uduan dan menata buah untuk dipajang di Pura Bale Agung. Di hari pertama Nyepi itu, krama setempat dilarang menyuarakan alat-alat dari besi, pantang menanam pohon atau membuat lubang, dan tidak boleh ada anak-anak menangis. Sedangkan aktivitas sosial berjalan seperti biasa.
Selama Nyepi, masing-masing krama di Bale Patemu Kaja, Bale Patemu Tengah, dan Bale Patemu Kelod harus menggelar Tari Rejang pada hari yang berbeda-beda. Selanjutnya, tepat pada Purnamaning Kasa atau di hari terakhir Nyepi, dilaksanakan puncak upacara Usaba Kasa.
Nah, 5 hari setelah upacara Usaba Kasa, barulah digelar pentas Tari Abuang Luh Muani, dengan menghadirkan para deha dan teruna dari Desa Adat Tenganan Pagringsingan. Mereka semua ngumpul di Pura Bale Agung dengan mengenakan pakaian adat yang sepenuhnya kain gringsing, tapi tanpa busana atasan.
Pementasan Tari Abuang Luh Muani tersebut memiliki pesan khusus: untuk mengikat para remaja perempuan dan laki-laki agar tidak menikah ke luar desa---walaupun kenyataannya banyak juga yang menikah ke luar desa. Dengan mempertemukan deha dan teruna dalam Tari Abuang Luh Muani, maka terjadilah interaksi di antara mereka.
“Tari Abuang Luh Muani ini berfungsi juga menghibur penari dan masyarakat, selain juga tujuan pokok mempertemukan deha dan teruna sebagai keseimbangan kehidupan agar selalu harmonis,” jelas salah satu dari 6 Bendesa Adat Tenganan Pagringsingan, Putu Suarjana, saat ditemui NusaBali di kediamannya kawasan Banjar Adat Kauh, Desa Adat Tenganan Pagringsingan, Sabtu (20/11) lalu.
Struktur pertunjukan Tari Abuang Luh Muani ini dibagi empat. Pertama, penjemputan penari deha. Kedua, deha menari tunggal. Ketiga dan keempat, deha-teruna menari berpasang-pasangan. Sepintas, tariannya terlihat sederhana, penari berpasang-pasangan, merentangkan tangan ke samping kanan, samping kiri, dan ke depan.
Jumlah penari dalam Tari Abung Luh Muani di Desa Adat Tenganan Pagringsingan tergantung jumlah deha dan teruna yang hadir. Selama menari, mereka intens berkomunikasi
Menurut Putu Suarjana, Tari Abuang Luh Muani ini diperkirakan sudah ada sejak abad X saat dinasti Sri Kesari Warmadewa berkuasa di Bali Dwipa, bersamaan dengan berdirinya Desa Adat Tenganan Pagringsingan berlokasi di antara Bukit Kangin dan Bukit Kauh. Desa Adat Tenganan Pagringsingan mewilayahi 3 banjar adat: Banjar Kauh, Banjar Tengah, dan Banjar Kangin (Banjar Pande).
Putu Suarjana menyebutkan, Tari Abuang Luh Muani sebenarnya hiburan setelah upacara Usaba Kasa berakhir. Tari Abuang Luh Muani ini wajib digelar setahun sekali. "Ini sudah menjadi tradisi turun temurun, di mana Tari Abuang Luh Muani wajib digelar usai Usaba Kasa," tandas Suarjana.
Pementasan Tari Abung Luh Muani di Desa Adat Tenganan Pagringsingan selalu memikat wisatawan. Secara estetika, tarian ini dihadirkan melalui unsur seni, juga sebagai bentuk persembahan yang dilandasi konsep ‘satyam (kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaram (keindahan)’.
Pada tataran satyam, upacara itu mesti digagas berdasarkan konsep filosofi dan menjadi landasan di mana upacara dapat dipertanggungjawabkan dari dimensi pemahaman filsafatnya. Pada tataran siwam, upacara itu harus mencerminkan spirit kasucian, baik dalam pemilihan waktu, tempat, sarana, maupun pemimpin upacara yang semuanya mesti menghadirkan kasucian. Sedangkan pada tataran sundaram, upacara harus tampil dalam bentuknya yang paling indah.
Maka, ketika tari wali dihadirkan, sesungguhnya lebih menghadirkan gambaran yang utuh dari satyam, siwam, dan sundaram itu sendiri. Menurut Suarjana, sesungguhnya yang paling menjiwai semua gerak tari wali adalah gerak Siwa Nata Raja, gerak Siwa sebagai penguasa tari. Siwa Nataraja juga merupakan gerak tari kosmis, di mana dalam mitologinya, Siwa menciptakan dunia beserta isinya sambil menari. Dari daya tarinya yang maha hebat, maka muncul-lah dunia.
Tari Abuang Luh Muani sendiri merupakan satu dari dua objek kebudayaan dari Desa Adat Tenganan Pagringsingan yang ditetapkan pemerintah melalui Kemenristek Dikti sebagai WBTB tahun 2021. Selain Tari Abuang Luh Muani, yang juga ditetapkan sebagai WBTB tahun 2021 adalah tradisi ritual Materuna Nyoman di Desa Adat Tenganan Pagringsingan. Tradisi Materuna Nyoman adalah ritual khu-sus untuk pengukuhan jadi ‘Remaja Desa’ di Desa Adat Tenganan Pagringsingan, yang prosesinya dilakukan selama 12 bulan.
Selain tradisi ritual Materuna Nyoman dan tari Abuang Luh Muani di Desa Adat Tenganan Pagringsingan, ada 4 objek kebudayaan lagi dari Kabupaten Karangasem yang ditetapkan pemerintah menjadi WBTB tahun 2021. Keempat objek tersebut, masing-masing Tari Genjek dari Desa Adat Jasri (Kelurahan Subagan, Kecamatan Karangasem), Tari Seraman dari Desa Adat Kebon Bukit (Desa Bukit, Kecamatan Karangasem), kuliner Blayag dari Desa Adat Karangasem (Kecamatan Karangasem), dan kerajinan Anyaman Ata di Kabupaten Karangasem. *k16
Komentar