Bali Terancam Kehilangan Pendapatan
Hotel dan villa akan minim dikunjungi wisdom saat libur Nataru
DENPASAR,NusaBali
Rencana penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3 pada 24 Desember 2021 sampai dengan 2 Januari 2022, membuat villa dan hotel di Bali terancam kehilangan pendapatan Nataru. Karena apabila PPKM diterapkan akan berdampak pada kunjungan wisatawan. Diyakini kunjungan wisatawan ke Bali minim.
Bagi properti dalam hal ini villa-villa, kesempatan memperoleh pendapatan pada moment akhir tahun menjadi hilang.
“Terus terang sebagai pelaku pariwisata kami sangat terkejut dan shock dengan rencana PPKM Level 3 ini,” ujar Hendrawan, Rabu (24/11). Pasalnya harapan mendapatkan sedikit rezeki pada moment akhir tahun menjadi sirna.
Karena itulah Hendrawan meminta agar rencana PPKM Level 3 tersebut dikaji kembali atau tidak diberlakukan. Kekhawatiran terhadap ancaman gelombang ketiga pandemi Covid-19 itu wajar. Namun jangan sampai mematikan pariwisata yang sudah 2 tahun terpuruk.
“Sudah melandai dan level 1, tahu-tahu mundur lagi ke level 3. Ini ironis,” tandasnya. Rencana PPKM Level 3 ini juga dinilai membingungkan, Karena belum jelas masalah urusan karantina, jadi atau tidak pemberlakuan karantina untuk wisman yang datang ke Bali, tiba- tiba muncul rencana PPKM Level 3. Sedangkan di pihak lain, negara- negara luar diantaranya Thailand, Maladewa, Kamboja hingga Vietnam sudah membuka open border tanpa karantina.
Bali Villa Association (BVA) sendiri ada 120 member atau anggota. Okupansi atau tingkat hunian belakangan sekitar 30 persen. Itupun dengan lego sewa/ harga kamar sampai 70-80 persen. Dengan okupansi yang rendah tersebut, untuk menutupi biaya operasional saja sulit. “Pokoknya kita ini empot-empotan,” jelas Hendrawan.
Untuk bisa sekadar bisa beroperasi, banyak pengeluaran yang dipangkas. Terutama pengeluaran biaya tetap. Diantaranya gaji karyawan, biaya listrik dan lain-lain. Untuk gaji karyawan, tidak dibayar penuh atau 100 persen. Itupun sudah dengan pengurangan jumlah karyawan.
“Hanya kalau pengurangan karyawan terlalu banyak, akan berpengaruh pada pelayanan atau services,” papar pria asal Desa Sedang, Kecamatan Abiansemal, Badung.
Terpisah Ketua Bali Hotel Association (BHA) Fransiska Handoko menyatakan sampai saat ini kondisi hotel-hotel yang tergabung dalam BHA Bali masih sama seperti sebelum open border 14 Oktober lalu. Masih nihil wisman.
“Bagaimana ada wisman, penerbangan internasional belum ada ke Bali,” Fransiska Handoko. Termasuk wisman dari 19 negara yang masuk dalam open border, juga tidak ada.
Artinya kata Fransiska Handoko, hotel bergantung kepada wisatawan domestik saja. “Namun amat disayangkan, dalam kondisi tersebut, dimana tidak ada wisman, akan diterapkan PPKM Level 3,” ujarnya.
Padahal dari sisi prokes, BHA dengan 127 anggota sudah siap. Karena semua hotel anggota BHA sudah tersertifikasi CHSE. Artinya tandas Fransiska Handoko sudah terjamin penerapan protokol kesehatan atau CHSE-nya.
Sementara untuk operasional saat ini pihak hotel, kata Fransiska Handoko harus mengencangkan ikat pinggang, melakukan pengeluaran untuk yang benar- benar sangat prioritas. Diantaranya pembayaran gaji karyawan, tanggungan biaya kesehatan (BPJS Kesehatan), pembayaran listrik dan lainnya.
Selain itu tidak semua hotel mempekerjakan seluruh karyawannya. Ada yang hanya mempekerjakan 25 persen, 50 persen sampai 75 persen. Tergantung dari kemampuan hotel bersangkutan. Selain itu membatasi buka atau operasi jumlah kamar. Misalnya hotel 200 kamar, tidak semua kamar dibuka. Tujuannya untuk menekan biaya operasional.
Untuk membantu owner terpaksa harus mengeluarkan biaya sendiri. Namun kembali lagi pada kamampuan owner dan sampai berapa lama mampu.
“Karena itu kita berjuang terus agar wisman bisa datang ke Bali,” ucap Fransiska Handoko. Wisman dan juga wisdom harus berdampingan untuk menghidupkan pariwisata Bali. *K17.
Bagi properti dalam hal ini villa-villa, kesempatan memperoleh pendapatan pada moment akhir tahun menjadi hilang.
“Terus terang sebagai pelaku pariwisata kami sangat terkejut dan shock dengan rencana PPKM Level 3 ini,” ujar Hendrawan, Rabu (24/11). Pasalnya harapan mendapatkan sedikit rezeki pada moment akhir tahun menjadi sirna.
Karena itulah Hendrawan meminta agar rencana PPKM Level 3 tersebut dikaji kembali atau tidak diberlakukan. Kekhawatiran terhadap ancaman gelombang ketiga pandemi Covid-19 itu wajar. Namun jangan sampai mematikan pariwisata yang sudah 2 tahun terpuruk.
“Sudah melandai dan level 1, tahu-tahu mundur lagi ke level 3. Ini ironis,” tandasnya. Rencana PPKM Level 3 ini juga dinilai membingungkan, Karena belum jelas masalah urusan karantina, jadi atau tidak pemberlakuan karantina untuk wisman yang datang ke Bali, tiba- tiba muncul rencana PPKM Level 3. Sedangkan di pihak lain, negara- negara luar diantaranya Thailand, Maladewa, Kamboja hingga Vietnam sudah membuka open border tanpa karantina.
Bali Villa Association (BVA) sendiri ada 120 member atau anggota. Okupansi atau tingkat hunian belakangan sekitar 30 persen. Itupun dengan lego sewa/ harga kamar sampai 70-80 persen. Dengan okupansi yang rendah tersebut, untuk menutupi biaya operasional saja sulit. “Pokoknya kita ini empot-empotan,” jelas Hendrawan.
Untuk bisa sekadar bisa beroperasi, banyak pengeluaran yang dipangkas. Terutama pengeluaran biaya tetap. Diantaranya gaji karyawan, biaya listrik dan lain-lain. Untuk gaji karyawan, tidak dibayar penuh atau 100 persen. Itupun sudah dengan pengurangan jumlah karyawan.
“Hanya kalau pengurangan karyawan terlalu banyak, akan berpengaruh pada pelayanan atau services,” papar pria asal Desa Sedang, Kecamatan Abiansemal, Badung.
Terpisah Ketua Bali Hotel Association (BHA) Fransiska Handoko menyatakan sampai saat ini kondisi hotel-hotel yang tergabung dalam BHA Bali masih sama seperti sebelum open border 14 Oktober lalu. Masih nihil wisman.
“Bagaimana ada wisman, penerbangan internasional belum ada ke Bali,” Fransiska Handoko. Termasuk wisman dari 19 negara yang masuk dalam open border, juga tidak ada.
Artinya kata Fransiska Handoko, hotel bergantung kepada wisatawan domestik saja. “Namun amat disayangkan, dalam kondisi tersebut, dimana tidak ada wisman, akan diterapkan PPKM Level 3,” ujarnya.
Padahal dari sisi prokes, BHA dengan 127 anggota sudah siap. Karena semua hotel anggota BHA sudah tersertifikasi CHSE. Artinya tandas Fransiska Handoko sudah terjamin penerapan protokol kesehatan atau CHSE-nya.
Sementara untuk operasional saat ini pihak hotel, kata Fransiska Handoko harus mengencangkan ikat pinggang, melakukan pengeluaran untuk yang benar- benar sangat prioritas. Diantaranya pembayaran gaji karyawan, tanggungan biaya kesehatan (BPJS Kesehatan), pembayaran listrik dan lainnya.
Selain itu tidak semua hotel mempekerjakan seluruh karyawannya. Ada yang hanya mempekerjakan 25 persen, 50 persen sampai 75 persen. Tergantung dari kemampuan hotel bersangkutan. Selain itu membatasi buka atau operasi jumlah kamar. Misalnya hotel 200 kamar, tidak semua kamar dibuka. Tujuannya untuk menekan biaya operasional.
Untuk membantu owner terpaksa harus mengeluarkan biaya sendiri. Namun kembali lagi pada kamampuan owner dan sampai berapa lama mampu.
“Karena itu kita berjuang terus agar wisman bisa datang ke Bali,” ucap Fransiska Handoko. Wisman dan juga wisdom harus berdampingan untuk menghidupkan pariwisata Bali. *K17.
Komentar