HKTI Bali Minta Produk Petani Dibeli Perusda dengan Harga Layak
DENPASAR, NusaBali.com - Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Bali meminta komitmen Pemerintah Daerah Bali dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Perusahaan Daerah (Perusda) Bali diharapkan berkontribusi dengan membeli produk para petani dengan harga layak.
HKTI Bali menilai harga dasar produk petani yang ditetapkan oleh pemerintah belum cukup untuk mendongkrak kesejahteraan para petani. Untuk itu pemerintah daerah diharapkan memberi respons terhadap harga dasar produk yang ditetapkan oleh pemerintah pusat tersebut.
“Kalau nanti memang harga dari produk-produk yang dihasilkan (petani) ‘layak’ maka itu yang akan menjadi harapan petani,” ujar Ketua HKTI Bali, Gede Sedana, Kamis (2/12/2021).
“Yang paling gampang kan harga gabah, meskipun harga gabah sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui penetapan harga dasar, tetapi bagi saya selaku orang yang di dunia akademik kemudian di praktisi, sebenarnya harga dasar gabah yang ditetapkan pemerintah belum tinggi jika benar-benar kita ingin meningkatkan kesejahteraan petani.”
Gede Sedana yang juga Rektor Universitas Dwijendara mengharapkan, Perusda Bali, misalnya, membeli gabah petani dengan harga layak pada kisaran Rp 8.000. Dengan harga tersebut maka pendapatan petani saat ini dapat dikerek. Diketahui harga dasar gabah yang ditetapkan pemerintah saat ini berada di kisaran Rp 4.000.
Jika dihitung-hitung, dengan harga gabah yang dijual petani Rp 8.000 per kilogramnya, rata-rata produksi petani per hektar sebanyak 6 ton gabah, maka petani sudah bisa mendapatkan hasil Rp 48 juta per hektare per musimnya, sebelum dikurangi biaya produksi.
Lebih lanjut disampaikan pria kelahiran Singaraja, Buleleng, setelah kesejahteraan petani meningkat, maka daya beli petani juga akan semakin meningkat. Kebutuhan sekolah anak-anak mereka, kebutuhan kesehatan, hingga kebutuhan konsumsi, bisa dikeluarkan lebih banyak, sehingga perekonomian daerah pun akan berputar lebih cepat.
Selain itu, petani juga tidak berpikir untuk menunda-nunda membayar pajak tanah mereka, apalagi berpikir untuk menjual tanah, dikarenakan pendapatan mereka dari bertani sudah mencukupi.
“Anak-anak muda tidak lagi harus ke mana-mana mencari kerja, tetapi mereka akan tetap di pertanian, menggantikan orang tuanya,” ucap Gede Sedana.
Untuk itu Gede Sedana menjelaskan dua tantangan petani yang paling utama. “Cuma dua, satu produktivitasnya tinggi, meningkat, kedua, harganya bagus, itu saja,” sebutnya.
Dengan meningkatnya produktivitas dan harga jual produk yang layak, maka ke depannya, ujar Gede Sedana, pemerintah bahkan tidak perlu memberikan subsidi lagi berupa pupuk, bibit, pestisida, karena penghasilan petani sudah tinggi. “Intinya subsidinya digeser, dari subsidi di hulu atau di sarana produksi, menjadi subsidi di hilir, yaitu di harga,” tegasnya.
Di sisi lain, data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali teranyar melaporkan indeks Nilai Tukar Petani (NTP) Bali masih di bawah 100, yakni sebesar 94,03.
Indeks NTP seringkali digunakan sebagai indikator kesejahteraan petani. NTP di bawah 100 berarti petani mengalami defisit. Kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Pendapatan petani turun, lebih kecil dari pengeluarannya.*adi
Komentar