Kerajinan Ingka, Solusi di Masa Pandemi
SINGARAJA, NusaBali
Made Mertasih,45, warga Banjar Dinas Ngis, Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Buleleng, tampak sibuk menganyam lidi daun lontar. Puluhan lidi itu dirangkai menggunakan ‘rumus khusus’, berbentuk bulat hingga dinamai ingka.
Di Bali, ingka punya banyak fungsi. Selain sebagai tempat makan pengganti piring, juga bisa dijadikan tempat sesajen (banten) oleh umat Hindu Bali. Fungsi lainnya bisa digunakan untuk tempat jajan, buah hingga keben yang biasa dibawa saat datang ke hajatan tetangga untuk alas delokan.
Mertasih mengaku sudah menekuni kerajinan ingka sejak bujang. Bahkan sebelum menikah, dia yang asli warga Desa Penuktukan, Desa Tejakula, Buleleng sudah menekuni kerajinan ingka. Ilmu membuat ingka diwarisinya dari ibunya yang hingga kini juga masih membuat ingka. Namun ingka yang dibuat Mertasih berbahan lidi daun lontar.
Saat ini sebagai ibu rumah tangga, kerajinan ingka cukup membantu pendapatan keluarganya. Terlebih pada masa pandemi, saat penghasilan keluarganya berkurang. Dia pun sebelumnya bekerja di perusahaan pariwisata. Namun saat pandemi melanda dia pun fokus sebagai ibu rumah tangga. “Ya cukup membantu juga di tengah situasi begini. Bengkel suami saya juga sekarang sepi,” katanya saat ditemui di rumah produksi The Kirana Desa Tembok, Kamis (2/12) lalu.
Dia mengatakan baru menganyam ingka saat ada pesanan. Biasanya dia lebih banyak memasarkan melalui media online. Di akun facebook maupun whatsApps. Pesanan membanjir biasanya datang menjelang hari raya datang. Mertasih mengaku tidak berani nyetok banyak produksinya, untuk menghindari kerugian. “Ingka ental (lontar) memang lebih kuat dari ingka lidi kelapa. Lebih cantik juga, tetapi lebih cepat berjamur kalau tidak bagus penyimpanannya. Tetapi kalau cara penyimpanannya bagus jauh lebih awet dari ingka lidi kelapa,” ucap dia.
Sejauh ini dia memproduksi sejumlah ukuran ingka. Mulai dari ingka tempat jajan yang berukuran paling kecil, ingka penyacak untuk banten, ingka makan hingga ingka keben. Ingka tersebut dijualnya dengan variasi harga Rp 5.000 - Rp 60.000 per buah. Dia menjelaskan harga ingka lidi lontar memang lebih mahal jika dibandingkan ingka lidi kelapa, karena memiliki ketahanan lebih lama, serta bahan baku yang terbatas.
Mertasih sering menghadapi kesulitan mendapatkan bahan baku lidi lontar. Terutama saat orderan menumpuk. Selain dari warga desa tembok, dia harus mencari bahan baku lidi lontar ke Desa Tianyar, Karangasem. Sementara itu kerajinan ingka di Bali disebutnya memang tidak pernah ada matinya. Meskipun bentuknya terbatas begitu saja, namun tetap diminati, karena multi fungsi. Selain juga harganya yang lebih murah dibandingkan dengan perabotan aluminium atau keramik. “Ingka ini kan efektif dan efisien. Misalnya saat ada acara hajatan kalau pakai ingka cukup gunakan alas kertas nasi beres tidak usah ada tenaga mencuci piring. Selain itu jatuhnya lebih murah dan gampang dipindah tanpa resiko pecah atau penyok,” kata dia.
Dia membagi tips untuk merawat dan menyimpan ingka lontar tetap awet. Ingka setelah dipakai dapat dicuci untuk menghilangkan kotoran, dapat disikat juga dengan sikat cuci atau spon halus. Selanjutnya dijemur hingga kering, kemudian baru disimpan dimasukkan dalam plastic agar tidak berdebu dan ditumbuhi jamur.*k23
1
Komentar