Krama Langkan Sepakat Berdamai
Berakhir sudah gonjang-ganjing kasus kerauhan (kesurupan) massal yang berujung ‘pengusiran’ 10 warga dari 4 kepala keluarga (KK) asal Banjar Langkan, Desa Landih, Kecamatan Bangli ke kantor polisi.
“Kalau sampai karena kasus ini berujung ke penetapan status daerah konflik (Desa Landih), tentu konsekuensinya bakal ada penjagaan ketat bagi warga setempat dan warga yang hendak datang ke sana. Ke mana-mana, mereka akan terus diawasi petugas. Jadi, marilah selesaikan kasus ini secara kekeluargaan, jangan sampai masuk ke ranah hukum,” warningnya.
Peringatan senada juga disampaikan Pejabat Bupati sekaligus Ketua Tim Penanganan Konflik Sosial Pemkab Bangli, Dewa Mahendra. Pihaknya sangat prihatin dan menyayangkan berlarut-larutnya kasus di Banjar Langkan, Desa Landih ini. Maka, dengan adanya kesepakatan damai melalui mediasi pamungkas kemarin, pihaknya berharap tidak terulang lagi kasus serupa di kemudian hari. “Untuk penyelesaian persoalan ini, hanya dibutuhkan niat baik,” ujar birokrat asal Singaraja, Buleleng ini.
Dia menegaskan, dengan lahirnya kesepakatan damai berisi empat poin pokok, diharapkan bisa menjamin keselamatan 10 warga ‘terusir’ dari 4 KK yang dituding punya ilmu hitam. Kesepakatan damai ini juga penting untuk mencegah terjadinya konflik.
Sementara itu, Ketua PHDI Bangli Nyoman Sukra mengingatkan masyarakat jangan begitu saja percaya begitu saja dengan apa yang disampaikan dalam peristiwa kerauhan. Menurut Nyoman Sukra, tidak ada namanya kerauhan di jalan sampai menunjuk-nunjuk orang, sebagaimana terjadi di Banjar Langkan, Desa Landih.
“Kerauhan itu seharusnya terjadi di areal pura saat ada upacara. Orang kerauhan biasanya menyebut adanya kurang aci atau bebantenan demi keseimbangan alam,” ujar Sukra. Dia menyentil akar persoalan kerauhan massal 7 daha di Banjar Langkan, 7 September 2015 lalu, yang disertai aksi menunjuk-nunjuk dan mendatangi rumah warga yang dituding punya ilmu hitam.
Menurut Sukra, orang kerauhan bisa diuji kebenarannya dengan jalan menyulut pakai api dupa atau bara api dari kloping nyuh gading. Bisa juga diganti dengan menggunakan air. Kalau memang tidak basah saat dicelupkan ke air, itu baru baru kerahuhan Ida Batara. “Kerahuhan juga bisa terjadi karena kerasukan Bhutha Kala atau makhluk gaib yang notabene derajatnya lebih rendah dari manusia,” tandas Sukra.
Komentar