10 Saksi Dipanggil, yang Datang Hanya Satu
Kasus Dugaan Penyelewengan Dana Nasabah LPD Serangan
DENPASAR, NusaBali
Penyidik Kejari Denpasar yang rencananya memeriksa saksi dalam kasus dugaan penyelewengan dana nasabah LPD Serangan pada Selasa (7/12) terpaksa gigit jari.
Pasalnya, dari 10 saksi yang dipanggil hanya seorang saksi yang hadir dalam pemeriksaan. Kasi Intel Kejari Denpasar Putu Eka Suyantha mengatakan dari keterangan 9 saksi yang tidak hadir, semuanya beralasan sedang melakukan upacara keagamaan. “Mayoritas saksi adalah warga serangan. Ada sembilan orang saksi berhalangan hadir dikarenakan ada pelaksanaan upacara adat keagamaan di desa tersebut,” kata Suyantha, Selasa siang.
Penyidik akhirnya hanya memeriksa satu orang saksi saja. Selanjutnya akan diagendakan ulang untuk pemeriksaan 9 saksi lainnya. Termasuk akan berkoordinasi dengan auditor untuk menghitung kerugian yang dialami LPD Serangan periode 2015-2020. “Nanti kami agendakan ulang pemeriksaan sembilan saksi ini,” ucapnya.
Seperti diketahui, kasus ini berawal dari laporan salah satu tokoh di Desa Adat Serangan I Wayan Patut. Dijelaskan, ketidakberesan di tubuh LPD Desa Adat Serangan bermula ketika ada laporan pertanggungjawaban LPD tahun 2019 kepada tokoh masyarakat, termasuk kelian adat Desa Serangan yang diselenggarakan Juli 2020.
Dari laporan itu, ada banyak kejanggalan. “Karena ada warga saya di Banjar Kaja. Namanya tercacat dengan pinjaman yang sama, dan ada juga tercatat tiga nama. Termasuk ada beberapa perusahaan yang melakukan pinjaman. Saya merasa laporan ini tidak benar. Akhirnya saya tolak laporan itu, dan Kepala LPD berjanji untuk merevisi laporan itu,” tutur Wayan Patut yang menjabat sebagai Kelian Adat Banjar Kaja, Serangan.
Untuk memastikan laporan pertanggungjawaban itu, Wayan Patut mendatangi beberapa warga yang namanya tertera melakukan pinjaman. Hasilnya, warga yang namanya tercantum dalam laporan membantah memiliki pinjaman di LPD Desa Adat Serangan.
“Setelah saya tanya ternyata beberapa warga itu tidak melakukan pinjaman atau tidak punya utang di LPD. Tapi nama mereka tercatat di laporan sebagai peminjam. Ada yang utangnya sudah lunas, tapi masih tercatat di laporan. Akhirnya warga marah dan complain ke LPD,” bebernya.
Selanjutnya, pihaknya berkoordinasi dengan Pemkot Denpasar. Hasilnya, Bendesa Adat Desa Serangan serta Badan Pengawas diminta untuk segera membuat Badan Penyelamatan (BP) LPD Desa Adat Serangan. Dua hari kemudian, terbentuk lah BP LPD Desa Adat Serangan
Wayan Patut yang masuk sebagai Wakil Ketua BP LPD langsung melakukan kerja tim dan ditemukan adanya aset seperti tabungan, deposito juga bangunan senilai Rp 4,6 miliar. Jika ditotal aset beserta aktiva tetap jumlahnya Rp 4,8 miliar.
“Saat kami telusuri dan kroscek lagi laporan pertanggungjawaban, berdasarkan data manual ternyata pinjaman masyarakat secara umum hanya sekitar Rp 800 juta. Kalau di laporan pinjaman masyarakat tercatat sekitar Rp 4 miliar. Dan Rp 3,8 miliar menjadi pertanyaan kami, ke mana uang ini,” jelasnya.
Karena semakin tak jelas, Wayan Patut menyarankan agar dilakukan audit terhadap LPD Desa Adat Serangan. Ketika hasil audit keluar, terungkap telah terjadi penyimpangan sejak 2015. Bahkan ada warga negara asing (WNA) menaruh deposito sebesar Rp 2 miliar.
“Bendesa adat memerintahkan ketua LPD untuk membuat bilyet senilai Rp 2 miliar. Ketika bilyet keluar, uang yang dimasukkan ke LPD cuma Rp 600 juta dalam bentuk deposito,” ungkapnya.
Akibat kisruh LPD tersebut berdampak ke masyarakat yang merasa dirugikan. Mereka tidak bisa menarik uangnya yang tersimpan. Juga berdampak ke kegiatan adat, misalnya pelaksanaan upacara besar di desa tidak bisa dilaksanakan secara maksimal.
“Saat ini kondisi LPD sudah tidak beroperasi, ditutup sejak Oktober 2020. Sekarang LPD tidak ada dana. Ada dana cuma Rp 168 ribu dari aset senilai Rp 7,2 miliar. LPD ini sudah bermasalah sejak 2015, dan baru ketahuan 2020,” ucap Wayan Patut. *rez
Komentar