Mantan Sekda Buleleng Tolak Asetnya Disita Kejaksaan
DENPASAR, NusaBali
Persoalan baru muncul dalam perkara mantan Sekda Kabupaten Buleleng 2011-2020, Dewa Ketut Puspaka, 58, tersangka kasus dugaan gratifikasi sejumlah pembangunan di Gumi Panji Sakti senilai Rp 16 miliar.
Masalahnya, tersangka Dewa Ketut Puspaka menolak tandatangani penyitaan sejumlah asetnya berupa tanah dan bangunan oleh Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, Senin (13/12).
Informasi di lapangan, Tim JPU melakukan penyitaan terhadap 5 aset milik Dewa Puspaka yang berada di Buleleng dan Denpasar. Rinciannya, tanah dan bangunan milik Umi Balqis SHM 01775/Baktiseraga di Desa Baktiseraga (Kecamatan Buleleng), tanah dan bangunan milik Dewa Ketut Puspaka SHM 17369/Desa Dalung di Desa Dalung (Kecamatan Kuta Utara, Badung) seluas 150 meter persegi, tanah milik I Dewa Gede Rhadea Prana Prabawa SHM 03826/Desa Baktisegara di Desa Baktiseraga (Kecamatan Buleleng) seluas 120 meter persegi, dan tanah milik Gede Rhadea Prana Prabawa SHM 2411/Desa Baktisegara di Desa Baktiseraga (Kecamatan Buleleng) seluas 300 meter persegi.
Penyitaan aset tersebut mendapat perlawanan dari tersangka Dewa Puspaka, yang menolak tandatangani berita acara penyitaan. Alasannya, dalam penyitaan oleh Kejati Bali itu terdapat beberapa kejanggalan. Salah satunya, penetapa sita dari PN Denpasar yang baru dikeluarkan pada 24 November 2021. Padahal, penyidik kejaksaan sudah menyatakan berkas lengkap alias P-21 per 15 November 2021.
"Tim penyidik menyatakan berkas lengkap dan melimpahkan perkara ini ke JPU pada 15 November 2021. Artinya, setelah itu tidak boleh lagi melakukan penyidikan atau penyitaan, karena sudah menyatakan berkas lengkap. Tapi, penetapan penyitaan aset baru keluar pada 24 November 2021 dan kemarin (Senin) dilakukan penyitaan," ungkap sumber yang enggan disebutkan namanya, Selasa (14/12).
Selain itu, kata sumber tadi, Tim JPU juga melakukan penyitaan atas dasar penetapan PN Denpasar. Padahal, sudah jelas dalam Pasal 38 KUHAP diatur penyitaan hanya dapat dilakukan penyidik berdasar surat penetapan pengadilan setempat. "Berarti, penyitaan empat aset di Desa Baktisegara harus penetapan PN Singaraja, bukan PN Denpasar," tegas sumber tersebut.
Sedangkan tim penasihat hukum tersangka Dewa Puspaka, yang diwakili Agus Sujoko, membenarkan kliennya menolak tandatangani surat penyitaan sejumlah aset. Saat ditanya alasan penolakan, pengacara senior ini meminta wartawan mengklarifikasinya ke pihak kejaksaan. "Langsung saja ke kejaksaan," elak Agus Sujoko.
Sementara itu, Kasi Penkum Kejati Bali, Luga Harlianto, mengakui adanya penyitaan aset tersangka Dewa Puspaka tersebut. Terkait penyitaan yang disebut menyalahi aturan, Luga membantahnya. Menurut Luga, pengajuan penyitaan sudah dilakukan sebelum P-21. "Tapi, penyitaan baru dilakukan setelah P-21 dan itu sah," tegas Luga saat dikonfirmasi terpisah di Denpasar, Selasa kemarin.
Terkait penetapan penyitaan PN Denpasar dan bukan PN Singaraja, menurut Luga, jika dalam perkara tindak pidana korupsi, pengadilan tingkat pertama yaitu PN Denpasar. "Jadi, semua sudah sesuai aturan, tidak ada yang dilanggar," tandasnya.
Dewa Ketut Puspaka sendiri ditetapkan kejaksaan sebagai tersangka dugaan gratifikasi Rp 16 miliar per 16 Juli 2021, namun statusnya baru diumumkan oleh Plt Kajati Bali, Hutama Wisnu, dalam jumpa pers di kantornya, Jalan Letda Tantular Niti Mandala Denpasar, 22 Juli 2021. Mantan birokrat asal Desa Ringdikit, Kecamatan Seririt, Buleleng ini diduga menerima gratifikasi dalam sejumlah pembangunan.
Di antaranya, izin pembangunan Bandara Bali Utara di Buleleng tahun 2018. Gratifikasi diduga diterima dari beberapa orang dalam rangka membantu percepatan izin pemba-ngunan bandara di pusat. Penyerahan uang gratifikasi dilakukan 3 tahap selama periode 2018-2019.
Selain itu, Dewa Puspaka juga diduga menerima gratifikasi dalam pengurusan izin pembangunan Terminal LNG di Desa Celukan Bawang. Terakhir, sang mantan Sekda Buleleng juga diduga menerima gratifikasi terkait penyewaan lahan tanah di kawasan Yeh Sanih, Desa Bukti, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng yang dilakukan suatu perusahaan periode 2015-2019.
Aspidsus Kejati Bali, Agus Eko P, mengatakan total gratifikasi yang diduga diterima tersangka Dewa Puspaka sejak tahun 2015 hingga 2020 mencapai Rp 16 miliar. Gratifika-si itu diberikan oleh perusahaan dan perorangan untuk penerbitan izin. "Pemberi gratifikasi ada dari perorangan dan perusahaan. Gratifikasi untuk pembangunan Terminal LNG sekitar Rp 13 miliar, sementara untuk izin pembangunan Bandara Bali Utara sekitar Rp 2,5 miliar," katanya. *rez
1
Komentar