Sang Maestro Drama Gong Berlabel ‘Patih Anom’ Meninggal di Usia 83
Kondisi Anak Agung Gede Rai Kalam Sebetulnya Sempat Membaik Pasca 8 Hari Dirawat di Rumah Sakit
Jenazah Anak Agung Gede Rai Kalam masih disemayamkan di rumah duka di Puri Satria Kawan, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung. Upacara palebon akan dilaksanakan di Setra Desa Adat Sampalan Kaler, Kamis lusa
SEMARAPURA, NusaBali
Bali kembali kehilangan salah satu seniman tradisional legendarisnya. Berselang 8 hari pasca berpulangnya maestro Topeng Tugek Carangsari, I Gusti Ngurah Windia, 75, Senin (20/12) pagi giliran maestro seni pertunjukan drama gong Anak Agung Gede Rai Kalam, 83, yang meninggal dunia di kediamannya di Puri Satria Kawan, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung. Sebelum menghembuskan napas terakhir, kondisi maestro drama gong yang dikenal dengan peran ‘Patih Anom’ ini sebetulnya sempat membaik pasca 8 hari dirawat di rumah sakit akibat komplikasi.
AA Gede Rai Kalam diketahui meninggal dalam kamar rumahnya di Puri Satria Kawan, Senin pagi sekitar pukul 10.00 Wita. Ketika itu, seniman drama gong kelahiran 21 Juni 1938 ini sudah dalam kondisi tidak sadarkan diri saat hendak dibawakan makanan. Ternyata, setelah dicek pergelangan tangannya, sudah tidak ada denyut nadi. Untuk memastikannya, pihak keluarga memanggil petugas medis. Oleh petugas medis, Gung Rai Kalam dinyatakan sudah meninggal dunia.
Sebelum dinyatakan meninggal, kondisi Gung Rai Kalam sebenarnya sempat membaik pasca dirawat inap selama 8 hari di RSU Bintang, Klungkung, 7-15 November 2021 lalu. Almarhum kala itu dilarikan ke IGD RSU Bintang karena kondisinya drop akibat gula darahnya naik.
Sang maestro yang biasa berperan sebagai Patih Anom (berkarakter bijak dan santun) ini diketahui sejak lama menderita diabetes. Penyakit itu menimbulkan komplikasi sesak napas dan maag. Bahkan, pada tahun 2015 Gung Rai Kalam sempat menjalani rawat inap selama 19 hari di RSUD Klungkung. Sejak itu, maetro drama gong yang meniti karier dalam pentas mulai tahun 1967 ini lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur dan di atas kursi roda.
Setelah sekian lama berjuang melawan penyakit, Gung Rai Kalam akhirnya meninggal dunia dalam usia 83 tahun, Senin kemarin. Almarhum berpulang buat selamanya dengan meninggalkan istri tercinta Desak Mayun (Biyang Mayun), serta 5 orang anak, 7 cucu, dan 4 cicit.
Hingga kemarin siang, jenazah almarhum Gung Rai Kalam masih disemayamkan di rumah duka. Rencananya, upacara palebon jenazah almarhum akan dilaksanakan di Setra Desa Adat Sampalan Kaler, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan pada Wraspati Pon Krulut, Kamis (23/12) nanti.
Pantauan NusaBali di rumah duka, Senin siang sekitar pukul 11.00 Wita, sanak keluarga, kerabat, dan kolega sudah berdatangan ke Puri Satria Kawan. Sejumlah pejabat eksekutif dan anggota DPRD Klungkung pun turut mengucapkan dukacita atas kepergian almarhum. "Ajik (ayah) diketahun meninggal sekitar pukul 10.00 Wita," ujar putri kedua dari Gung Rai Kalam, Anak Agung Istri Oka Yuniari, kepada NusaBali.
Gung Istri Oka mengisahkan, setelah dibolehkan pulang pasca menjalani rawat inap di RSU Bintang, 15 November 2021 lalu, kondisi almarhum sebetulnya sudah berangsur membaik. Bahkan, saat berada di rumah pun almarhum sering minta keluar kamar untuk menonton televisi. "Ajik suka sepakbola, bulutangkas, dan tinju,” kenang Gung Istri Oka.
“Ajik juga sempat minta dicukur, kuris jenggot, dan potong kuku," lanjut perempuan yang mengikuti jejak almarhum sebagai pemain drama gong sejak tahun 1990-an ini.
Menurut Gung Istri Oka, banyak pesan penting yang diberikan almarhum Gung Rai Kalam kepada anak-anaknya. Pesan yang paling diingat dari almarhum adalah ‘jangan melakukan sesuatu setengah-setengah’. "Jika sekolah, harus fokus sekolah saja, jangan ikut main drama gong," katanya.
Gung Rai Kalam sendiri memulai perjalanannya sebagai seniman drama gong sejak tahun 1967. Sejatinya, ketika itu dia tidak memiliki kemampuan atau bakat menari. Namun, karena adanya kebutuhan masyarakat akan hiburan, maka timbul semangatnya untuk berkarya.
Di samping itu, lewat pementasan drama gong tersebut, warga merasa terhibur, terutama yang mengalami trauma pasca peristiwa G 30 S/PKI. Kisah itu diceritakan almahum Gung Rai Kalam saat NusaBali berkunjung ke kediamannya di Puri Satria Kawan, 20 Januari 2017 silam.
“Saya kali pertama pentas drama gong di Bencingah Puri Satria Kawan, bersama sejumlah kru. Saat itu, saya langsung menjadi pembina sekaa drama gong,” terang Gung Rai Kalam saat itu.
Dalam perjalanannya, Gung Rai Kalam menjelma sebagai seniman maestro drama gong. Peran yang biasa dibawakannya adalah sebagai Patih Anom. Dia berseteru dengan Patih Agung. Sosok Patih Anom sangat akrab di mata pencinta drama gong era 1980-an hingga 2000-an.
Menurut Gung Rai Kalam, di era modern hampir di setiap rumah memiliki TV, terlebih pentas kesenian sudah disiarkan langsung. Maka, banyak masyarakat yang beranggapapan lebih baik menonton di rumah saja. Selain hemat tenaga, juga irit biaya untuk membayar tiket masuk. “Kalau penontonnya sepi, otomatis seniman enggan untuk pentas. Sebab, kepuasan seniman terletak pada apresiasi dari penonton,” katanya.
Almarhum Gung Rai Kalam sendiri terakhir kali pentas drama gong tahun 2015, di Taman Budaya Provinsi Bali Art Center Denpasar. Pentas kala itu dilakukan sebagai upaya penggalangan dana bagi I Wayan Lodra, salah satu legenda hidup drama gong yang sakit akibat kecelakaan lalulintas di Jalan Bypass Prof IB Mantra Tohtapi-Kusamba tahun 2009 silam. Wayan Lodra adalah pemeran Raja Muda dalam drama gong.
Setelah pentas tersebut, Gung Rai Kalam yang sudah sakit-sakitkan akibat diabetes masih sempat tergabung sebagai pengurus Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Kabupaten Klungkung. Dia juga masih mau turun tangan memberikan pembinaan terhadap duta drama gong dari Kabupaten Klungkung dalam event Pesta Kesenian Bali (PKB) 2016.
Atas pengabdian dan totalitasnya dalam berkesenian, almarhum Gung Rai Kalam dianugerahi berbagai penghargaan. Di antaranya, Piagam Aji Sewaka Nugraha dari Pemkab Klungkung, penghargaan Pembinaan dan Pengembangan Drama Gong dari Pemkab Klungkung, penghargaan sebagai Seniman Tua dari Pemprov Bali, dan penbghagaan Dharma Kusuma dari Pemprov Bali. *wan
AA Gede Rai Kalam diketahui meninggal dalam kamar rumahnya di Puri Satria Kawan, Senin pagi sekitar pukul 10.00 Wita. Ketika itu, seniman drama gong kelahiran 21 Juni 1938 ini sudah dalam kondisi tidak sadarkan diri saat hendak dibawakan makanan. Ternyata, setelah dicek pergelangan tangannya, sudah tidak ada denyut nadi. Untuk memastikannya, pihak keluarga memanggil petugas medis. Oleh petugas medis, Gung Rai Kalam dinyatakan sudah meninggal dunia.
Sebelum dinyatakan meninggal, kondisi Gung Rai Kalam sebenarnya sempat membaik pasca dirawat inap selama 8 hari di RSU Bintang, Klungkung, 7-15 November 2021 lalu. Almarhum kala itu dilarikan ke IGD RSU Bintang karena kondisinya drop akibat gula darahnya naik.
Sang maestro yang biasa berperan sebagai Patih Anom (berkarakter bijak dan santun) ini diketahui sejak lama menderita diabetes. Penyakit itu menimbulkan komplikasi sesak napas dan maag. Bahkan, pada tahun 2015 Gung Rai Kalam sempat menjalani rawat inap selama 19 hari di RSUD Klungkung. Sejak itu, maetro drama gong yang meniti karier dalam pentas mulai tahun 1967 ini lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur dan di atas kursi roda.
Setelah sekian lama berjuang melawan penyakit, Gung Rai Kalam akhirnya meninggal dunia dalam usia 83 tahun, Senin kemarin. Almarhum berpulang buat selamanya dengan meninggalkan istri tercinta Desak Mayun (Biyang Mayun), serta 5 orang anak, 7 cucu, dan 4 cicit.
Hingga kemarin siang, jenazah almarhum Gung Rai Kalam masih disemayamkan di rumah duka. Rencananya, upacara palebon jenazah almarhum akan dilaksanakan di Setra Desa Adat Sampalan Kaler, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan pada Wraspati Pon Krulut, Kamis (23/12) nanti.
Pantauan NusaBali di rumah duka, Senin siang sekitar pukul 11.00 Wita, sanak keluarga, kerabat, dan kolega sudah berdatangan ke Puri Satria Kawan. Sejumlah pejabat eksekutif dan anggota DPRD Klungkung pun turut mengucapkan dukacita atas kepergian almarhum. "Ajik (ayah) diketahun meninggal sekitar pukul 10.00 Wita," ujar putri kedua dari Gung Rai Kalam, Anak Agung Istri Oka Yuniari, kepada NusaBali.
Gung Istri Oka mengisahkan, setelah dibolehkan pulang pasca menjalani rawat inap di RSU Bintang, 15 November 2021 lalu, kondisi almarhum sebetulnya sudah berangsur membaik. Bahkan, saat berada di rumah pun almarhum sering minta keluar kamar untuk menonton televisi. "Ajik suka sepakbola, bulutangkas, dan tinju,” kenang Gung Istri Oka.
“Ajik juga sempat minta dicukur, kuris jenggot, dan potong kuku," lanjut perempuan yang mengikuti jejak almarhum sebagai pemain drama gong sejak tahun 1990-an ini.
Menurut Gung Istri Oka, banyak pesan penting yang diberikan almarhum Gung Rai Kalam kepada anak-anaknya. Pesan yang paling diingat dari almarhum adalah ‘jangan melakukan sesuatu setengah-setengah’. "Jika sekolah, harus fokus sekolah saja, jangan ikut main drama gong," katanya.
Gung Rai Kalam sendiri memulai perjalanannya sebagai seniman drama gong sejak tahun 1967. Sejatinya, ketika itu dia tidak memiliki kemampuan atau bakat menari. Namun, karena adanya kebutuhan masyarakat akan hiburan, maka timbul semangatnya untuk berkarya.
Di samping itu, lewat pementasan drama gong tersebut, warga merasa terhibur, terutama yang mengalami trauma pasca peristiwa G 30 S/PKI. Kisah itu diceritakan almahum Gung Rai Kalam saat NusaBali berkunjung ke kediamannya di Puri Satria Kawan, 20 Januari 2017 silam.
“Saya kali pertama pentas drama gong di Bencingah Puri Satria Kawan, bersama sejumlah kru. Saat itu, saya langsung menjadi pembina sekaa drama gong,” terang Gung Rai Kalam saat itu.
Dalam perjalanannya, Gung Rai Kalam menjelma sebagai seniman maestro drama gong. Peran yang biasa dibawakannya adalah sebagai Patih Anom. Dia berseteru dengan Patih Agung. Sosok Patih Anom sangat akrab di mata pencinta drama gong era 1980-an hingga 2000-an.
Menurut Gung Rai Kalam, di era modern hampir di setiap rumah memiliki TV, terlebih pentas kesenian sudah disiarkan langsung. Maka, banyak masyarakat yang beranggapapan lebih baik menonton di rumah saja. Selain hemat tenaga, juga irit biaya untuk membayar tiket masuk. “Kalau penontonnya sepi, otomatis seniman enggan untuk pentas. Sebab, kepuasan seniman terletak pada apresiasi dari penonton,” katanya.
Almarhum Gung Rai Kalam sendiri terakhir kali pentas drama gong tahun 2015, di Taman Budaya Provinsi Bali Art Center Denpasar. Pentas kala itu dilakukan sebagai upaya penggalangan dana bagi I Wayan Lodra, salah satu legenda hidup drama gong yang sakit akibat kecelakaan lalulintas di Jalan Bypass Prof IB Mantra Tohtapi-Kusamba tahun 2009 silam. Wayan Lodra adalah pemeran Raja Muda dalam drama gong.
Setelah pentas tersebut, Gung Rai Kalam yang sudah sakit-sakitkan akibat diabetes masih sempat tergabung sebagai pengurus Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Kabupaten Klungkung. Dia juga masih mau turun tangan memberikan pembinaan terhadap duta drama gong dari Kabupaten Klungkung dalam event Pesta Kesenian Bali (PKB) 2016.
Atas pengabdian dan totalitasnya dalam berkesenian, almarhum Gung Rai Kalam dianugerahi berbagai penghargaan. Di antaranya, Piagam Aji Sewaka Nugraha dari Pemkab Klungkung, penghargaan Pembinaan dan Pengembangan Drama Gong dari Pemkab Klungkung, penghargaan sebagai Seniman Tua dari Pemprov Bali, dan penbghagaan Dharma Kusuma dari Pemprov Bali. *wan
1
Komentar