Pegang Prinsip Jadilah Ibu untuk Semua Orang
Ni Luh Putu Andiyani IP SH MH, Kepala Balai Pemasyarakatan Kelas I Denpasar
Saat jam dinas, Luh Puti Andiyani tinggalkan total segala urusan pribadi dan rumah tangga. Sementara saat di rumah, dia sepenuhnya perankan diri sebagai ibu rumah tangga.
DENPASAR, NusaBali
Kepala Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Denpasar, Ni Luh Putu Andiyani Amd IP SH MH, 45, memiliki cara pandang tersendiri dalam memaknai peringatan Hari Ibu 22 Desember. Bagi Luh Putu Andiyani, Hari Ibu bukan sekadar soal memberi atau menerima ucapan dan bunga, namun peringatan perjuangan perempuan dalam memerdekakan Indonesia. Dalam kesehariannya, dia juga pegang prinsip ‘jadilah ibu untuk semua orang’.
Luh Putu Andiyani menyebutkan, Hari Ibu bukan pula sekadar untuk dimaknai, tetapi ‘rasakan hatimu bergetar’ jika memanggil nama ibu setiap harinya. Sejalan dengan tujuan peringatan Hari Ibu itu, Putu Andiyani berpesan kepada kaum perempuan agar jadilah ibu untuk semua orang. “Jika dulu kaum ibu turun ke medan perang untuk memerdekakan Indonesia, kini semangat juang itu tak boleh hilang. Minimal, harus bisa menjaga harkat dan martabat keluarga,” ujar Putu Andiyani kepoada NusaBali, Senin (21/12).
Menurut birokrat kelahiran 20 Juni 1976 asal Banjar Kesian, Desa Lebih, Kecamatan Gianyar ini, menjadi seorang perempuan atau seorang ibu adalah kodrat yang harus dijalankan dengan merdeka. Hal itu telah dirasakannya sendiri. Dalam bertugas sebagai abdi negara, Putu Andiyani mendapat dukungan penuh dari suami, anak, dan keluarga. Salah satu kuncinya adalah membangun komunikasi dan hubungan yang baik.
Putu Andiyani pun menceritakan bagaimana perjuangannya agar bisa menjadi seperti sekarang. Sewaktu kecil dulu, dia punya cita-cita jadi dokter. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan akan menjadi Kepala Bapas. Namun, setamat dari SMA Negeri 1 Ubud, Gianyar tahun 1995, anak sulung dari 3 bersaudara pasangan I Ketut Gambar dan Ni Made Darmawati ini malah kuliah Jurusan Akutansi di Uni-versitas Udayana (Unud).
"Saya kuliah di Unud hanya dua semester saja. Saat itu, saya belum tahu arah saya ke mana,” kenang Putu Andiyani. “Saya kemudian berhenti kuliah di Unud, karena ada kenalan dari bapak yang mengajak saya untuk masuk Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) di Jakarta. Saya ikut arahan dari bapak saya pindah kulih D III AKIP," imbuhnya.
Sewaktu kuliah di AKIP, Putu Andiyani membayangkan dirinya akan bekerja di lembaga kehakiman. Saat selesaikan kuliah di AKIP tahun 2000, Putu Andiyani berhasil sandang predikat 5 besar terbaik dari 67 mahasiswa.
"Karena tembus peringkat 5 besar, saya bisa memilih tempat (tugas) sendiri. Kebetulan, saat itu ada formasi di Bapas Kelas I Denpasar. Saya memilih untuk tugas di Bapas Kelas I Denpasar," papar ibu satu anak dari pernikahannya dengan Drs Wayan Kujus Pawitra---mantan Camat Termuda di Gianyar.
Putu Andiyani selama belasan tahun berdinas di Bapas Kelas I Denpasar sebagai pegawai biasa. Selama itu pula, dia menjalankan tugas sebagai abdi negara dan sebagai ibu rumah tangga yang diperankannya dengan baik.
Pada saat jam dinas, segala urusan pribadi dan rumah tangga ditanggalkan. Bahkan, anak semata wayangnya, Gede Bendesa Adi Wirakusuma, semasa kecil harus dititipkan kepada mertua. Sebab, suaminya yakni Wayan Kujus Pawitra juga merupakan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemkab Gianyar.
"Saya menjalani pekerjaan dengan profesional saja. Saat bekerja, saya harus bekerja. Saat di rumah, saya harus perankan diri saya sebagai ibu rumah tangga. Selama ini, tidak ada masalah yang tak dapat diselesaikan dengan baik," katanya.
Kemudian, pada tahun 2016 Putu Andiyani mendapatkan SK pindah ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkum HAM) Provinsi Bali. Setekah 3 tahun di sana, per Desember 2019 Putu Andiyani kembali mendapatkan SK pengangkatan jadi Kepala Bapas Kelas I Denpasar. Dia dipercaya menggantikan I Made Nesa Ada, yang dimutasi ke tempat lain.
"Saya jalani saja peran saya. Tidak ada hal yang terberat selama tugas dinas, semua bisa diatasi. Ada persoalan sedikit, saya anggap itu wajar-wajar saja. Sebab, setiap orang pasti ada problemnya. Ada problem di kantor, caranya adalah pendekatan kekeluargaan. Setiap hari saya terapkan perankan diri sebagai seorang ibu," tandas birokrat yangh menempuh pendidikan S1 Fakulas Hukum Universitass Ngurah Rai (UNR) Denpasar dan S2 Fakultas Hukum Unud ini.
Di masa pandemi Covid-19 saat ini, tangung jawab dan tantangan pekerjaan Putu Andiyani semakin berat. Banyak kegiatan yang dibatasi, sementara tugas untuk memberikan pembimbingan, pendampingan, dan penyuluhan terhadap klien harus tetap berjalan.
Meski dibolehkan kerja dari rumah, namun Putu Andiyani setiap hari tetap masuk kantor. Sebelum berangkat ke kantor pagi pukul 06.30 Wita, segala tugas dan pekerjaannya sebagai seorang ibu dituntaskan terlebih dulu, sehingga saat sudah berada di kantor tidak ada lagi mengurus keluarga.
"Setiap hari saya datang bekerja dari rumah di Gianyar ke kantor di Jalan Ken Arok Denpasar Utara pagi-pagi pukul 06.30 Wita. Saya baru pulang ke rumah sore pukul 17.00 Wita. Itu saya jalankan setiap hari. Pesan saya pada peringatan Hari Ibu ini adalah ‘jadilah ibu untuk semua orang. Sekalipun sebagai seorang ibu, engkau tetap mampu terbang tinggi’," tegas Putu Andiyani. *pol
Luh Putu Andiyani menyebutkan, Hari Ibu bukan pula sekadar untuk dimaknai, tetapi ‘rasakan hatimu bergetar’ jika memanggil nama ibu setiap harinya. Sejalan dengan tujuan peringatan Hari Ibu itu, Putu Andiyani berpesan kepada kaum perempuan agar jadilah ibu untuk semua orang. “Jika dulu kaum ibu turun ke medan perang untuk memerdekakan Indonesia, kini semangat juang itu tak boleh hilang. Minimal, harus bisa menjaga harkat dan martabat keluarga,” ujar Putu Andiyani kepoada NusaBali, Senin (21/12).
Menurut birokrat kelahiran 20 Juni 1976 asal Banjar Kesian, Desa Lebih, Kecamatan Gianyar ini, menjadi seorang perempuan atau seorang ibu adalah kodrat yang harus dijalankan dengan merdeka. Hal itu telah dirasakannya sendiri. Dalam bertugas sebagai abdi negara, Putu Andiyani mendapat dukungan penuh dari suami, anak, dan keluarga. Salah satu kuncinya adalah membangun komunikasi dan hubungan yang baik.
Putu Andiyani pun menceritakan bagaimana perjuangannya agar bisa menjadi seperti sekarang. Sewaktu kecil dulu, dia punya cita-cita jadi dokter. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan akan menjadi Kepala Bapas. Namun, setamat dari SMA Negeri 1 Ubud, Gianyar tahun 1995, anak sulung dari 3 bersaudara pasangan I Ketut Gambar dan Ni Made Darmawati ini malah kuliah Jurusan Akutansi di Uni-versitas Udayana (Unud).
"Saya kuliah di Unud hanya dua semester saja. Saat itu, saya belum tahu arah saya ke mana,” kenang Putu Andiyani. “Saya kemudian berhenti kuliah di Unud, karena ada kenalan dari bapak yang mengajak saya untuk masuk Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) di Jakarta. Saya ikut arahan dari bapak saya pindah kulih D III AKIP," imbuhnya.
Sewaktu kuliah di AKIP, Putu Andiyani membayangkan dirinya akan bekerja di lembaga kehakiman. Saat selesaikan kuliah di AKIP tahun 2000, Putu Andiyani berhasil sandang predikat 5 besar terbaik dari 67 mahasiswa.
"Karena tembus peringkat 5 besar, saya bisa memilih tempat (tugas) sendiri. Kebetulan, saat itu ada formasi di Bapas Kelas I Denpasar. Saya memilih untuk tugas di Bapas Kelas I Denpasar," papar ibu satu anak dari pernikahannya dengan Drs Wayan Kujus Pawitra---mantan Camat Termuda di Gianyar.
Putu Andiyani selama belasan tahun berdinas di Bapas Kelas I Denpasar sebagai pegawai biasa. Selama itu pula, dia menjalankan tugas sebagai abdi negara dan sebagai ibu rumah tangga yang diperankannya dengan baik.
Pada saat jam dinas, segala urusan pribadi dan rumah tangga ditanggalkan. Bahkan, anak semata wayangnya, Gede Bendesa Adi Wirakusuma, semasa kecil harus dititipkan kepada mertua. Sebab, suaminya yakni Wayan Kujus Pawitra juga merupakan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemkab Gianyar.
"Saya menjalani pekerjaan dengan profesional saja. Saat bekerja, saya harus bekerja. Saat di rumah, saya harus perankan diri saya sebagai ibu rumah tangga. Selama ini, tidak ada masalah yang tak dapat diselesaikan dengan baik," katanya.
Kemudian, pada tahun 2016 Putu Andiyani mendapatkan SK pindah ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkum HAM) Provinsi Bali. Setekah 3 tahun di sana, per Desember 2019 Putu Andiyani kembali mendapatkan SK pengangkatan jadi Kepala Bapas Kelas I Denpasar. Dia dipercaya menggantikan I Made Nesa Ada, yang dimutasi ke tempat lain.
"Saya jalani saja peran saya. Tidak ada hal yang terberat selama tugas dinas, semua bisa diatasi. Ada persoalan sedikit, saya anggap itu wajar-wajar saja. Sebab, setiap orang pasti ada problemnya. Ada problem di kantor, caranya adalah pendekatan kekeluargaan. Setiap hari saya terapkan perankan diri sebagai seorang ibu," tandas birokrat yangh menempuh pendidikan S1 Fakulas Hukum Universitass Ngurah Rai (UNR) Denpasar dan S2 Fakultas Hukum Unud ini.
Di masa pandemi Covid-19 saat ini, tangung jawab dan tantangan pekerjaan Putu Andiyani semakin berat. Banyak kegiatan yang dibatasi, sementara tugas untuk memberikan pembimbingan, pendampingan, dan penyuluhan terhadap klien harus tetap berjalan.
Meski dibolehkan kerja dari rumah, namun Putu Andiyani setiap hari tetap masuk kantor. Sebelum berangkat ke kantor pagi pukul 06.30 Wita, segala tugas dan pekerjaannya sebagai seorang ibu dituntaskan terlebih dulu, sehingga saat sudah berada di kantor tidak ada lagi mengurus keluarga.
"Setiap hari saya datang bekerja dari rumah di Gianyar ke kantor di Jalan Ken Arok Denpasar Utara pagi-pagi pukul 06.30 Wita. Saya baru pulang ke rumah sore pukul 17.00 Wita. Itu saya jalankan setiap hari. Pesan saya pada peringatan Hari Ibu ini adalah ‘jadilah ibu untuk semua orang. Sekalipun sebagai seorang ibu, engkau tetap mampu terbang tinggi’," tegas Putu Andiyani. *pol
1
Komentar