Pilkada 2024, Kisruh Penjabat Kepala Daerah, Beban Penyelenggara
PROYEKSI 2022 Bidang POLITIK
DENPASAR, NusaBali
TAHUN 2024 benar-benar akan menjadi tahun politik yang panas di Indonesia.
Sebab, beberapa bulan pasca pelaksanaan Pileg dan Pilpres 2024, kembali digelar Pilkada 2024. Tak tanggung-tanggung, Pilkada 2024 ini digelar serentak secara nasional. Itu berarti seluruh daerah se-Indonesia menggelar Pilkada secara bersa-maan di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota.
Baru reda sedikit pasca digelar Pileg/Pilpres 2024 yang jadwalnya kini masih tarik ulur antara pemerintah-DPR-KPU, politik tanah air akan kembali memanas dengan digelarnya Pilkada serentak, 27 November 2024. Tensi Pilkada 2024 ini juga akan berlangsung cukup lama, tepatnya mulai tahun 2022 ini.
Di sebagian daerah, masa jabatan kepala daerahnya (hasil Pilkada 2017) akan berakhir di tahun 2022. Ini berarti untuk menunggu Pilkada 2024, pemerintah akan menunjuk penjabat kepala daerah sejak tahun 2022 hingga terpilih kepala daerah definitif hasil Pilkada. Hal serupa juga akan terjadi di tahun 2023, masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2018 akan berakhir di tahun ini. Otomatis akan ada penjabat kepala daerah yang mengisi kekosongan kursi jabatan.
Tahun 2022 nanti, ada 101 kepala daerah yang habis masa jabatannya, terdiri atas 7 gubernur-wakil gubernur, 76 bupati-wakil bupati, dan 18 walikota-wakil walikota. Sedangkan pada tahun 2023, terdapat 170 kepala daerah yang masa jabatannya akan berakhir, terdiri dari 17 gubernur-wakil gubernur, 39 walikota-wakil walikota, dan 115 bupati-wakil bupati.
Di Bali sendiri pada 2022 ada satu kursi kepala daerah yang masa jabatannya habis, yakni Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana-Wabup dr I Nyoman Sutjidra, yang sebelumnya terpilih hasil Pilkada Buleleng 2017. Pasangan Suradnyana-Sutjidra sebelumnya dilantik sebagai Bupoati-Wabup Buleleng 2017-2022 (periode kedua) pada 22 Agustus 2017 lalu. Setelah masa jabatan mereka habis, posisinya tentu saja akan diisi penjabat kepala daerah.
Selanjutnya, di tahun 2023, giliran masa jabatan Gubernur Bali Wayan Koster-Wakil Gubernur Tjokorda Oka Arta Ardhana Sukawati alkias Cok Ace (hasil Pilgub Bali 2018) akan berakhir masa jabatannya. Pasangan Koster-Cok Ace ini sebelumnya dilantik pada 5 September 2018 lalu.
Di tahun yang sama, masa jabatan Bupati-Wakil Bupati Gianyar Made ‘Agus’ Mahayastra-AA Gde Mayun dan Bupati-Wakil Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta-I Made Kasta juga akan berakhir. Pasangan Made Agus Mahayastra-AA Gde Mayun (Paket Aman) sebelumnya dilantik sebagai Bupati-Wakil Bupati Gianyar 2018-2023 oleh Gubernur Koster pada 20 September 2018. Sedangkan pasangan I Nyoman Suwirta-I Made Kasta dilantik sebagai Bupati-Wakil Bupati Klungkung (periode kedua) pada 16 Desember 2018.
Daerah yang kosong jabatan politiknya akibat penundaan Pilkada, nantinya akan diisi penjabat kepala daerah. Figur penjabat kepala daerag akan diambil dari pejabat eselon kementerian untuk gubernur atau dari perwira kepolisian, sedangkan untuk bupati/walikota akan diisi oleh pejabat dari Pemprov.
Sementara, kepala daerah hasil Pilkada 2020 harus menuntaskan masa jabatannya di tahun 2024, yang berarti belum genap 5 tahun menjabat. Di Bali ada 6 pasangan kepala daerah-wakil kepala daerah hasil Pilkada 2020 yang harus menuntaskan masa jabatannya di tahun 2024, yakni Bupati-Wakil Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta-I Ketut Suiasa, Walikota-Wakil Walikota Denpasar IGN Jaya Negara-Kadek Agus Arya Wibawa, Bupati-Wakil Bupati Tabanan IKG Sanjaya-I Made Edi Wirawan, Bupati-Wakil Bupati Jembrana I Nengah Tamba-I Gede Ngurah Patriana Krisna, Bupati-Wakil Bupati Karangasem I Gede Dana-I Wayan Artha Dipa, dan Bu-pati-Wakil Bupati Bangli Sang Nyoman Sedana Arta-I Wayan Diar.
Pengisian penjabat kepala daerah mulai tahun 2022 ini tentu saja bukan perkara gampang. Akan banyak pejabat eselon di kementerian dan pemerintah provinsi yang dibutuhkan untuk mengisi posisi tersebut. Walau berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun perwira kepolisian, tetap saja pengisian dan pemilihan penjabat kepala daerah ini menimbulkan keriuhan politik. Kekosongan kepala daerah yang relatif panjang serta jumlah daerah yang cukup banyak, berdampak pada dugaan-dugaan publik yang liar dalam membaca pilihan kebijakan pemerintah.
Pengalaman di Pilkada Serentak 2018, beberapa provinsi diisi Penjabat Gubernur dari unsur ASN Kementerian dan juga perwira Polri. Pilihan tersebut sempat menimbulkan gejolak, akibat keterlibatan unsur kepolisian dalam mengisi jabatan kepala daerah.
Pada Pilkada 2018, hanya beberapa daerah yang memerlukan Penjabat Gubernur serta masa tugasnya yang tidak terlalu lama. Sedangkan pada penundaan untuk Pilkada 2024, sebanyak 24 provinsi yang perlu diisi dengan Penjabat Gubernur, termasuk Bali.
Kemudian, momentum melewati Pileg dan Pilpres 2024 cukup riskan dan besar potensi untuk disalahgunakan dalam kondisi yang demikian. Untuk itu, pertimbangan matang perlu diambil pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi, sebelum mengambil keputusan soal siapa yang ditunjuk jadi Penjabat Gubernur dan Penjabat Bupati/Penjabat Walikota.
Jika serampangan dan gegabah, apalagi disertai muatan kepentingan politik yang kental, maka berpotensi menimbulkan gejolak di daerah. Ini baru soal penunjukan penjabat kepala daerah, belum lagi soal gejolak politik akibat kontestasi itu sendiri serta teknis penyelenggaraan Pilkada oleh KPU-Bawaslu.
Persaingan politik sudah dipastikan sengit, terutama bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya (hasil Pilkada 2017 dan 2018) berakhir tahun 2022 dan 2023. Bisa dikatakan pertarungan di daerah-daerah ini lebih terbuka, karena bagi incumbent yang maju lagi ke Pilkada 2024 terganjal ‘masa jeda’ 1-2 tahun setelah masa jabatannya berakhir. Jeda cukup panjang ini tentu saja menyulitkan bagi incumbent. Sedangkan new comer (pendatang baru) akan lebih mudah melakukan manuver untuk menaikkan elektabilitas atau tingkat keterpilihannya.
Sementara itu, terkait teknis penyelenggaraan Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 juga harus memperhitungkan beban kerja penyelenggara dari tingkat pusat hingga Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS. Pengalaman soal ini sudah ada pada Pileg/Pilpres 2019 lalu. Banyak petugas penyelenggara Pemilu tumbang akibat beban kerja yang berat. Apalagi, di tahun 2024 nanti, selain Pileg/Pilpres juga berlanjut digelar Pilkada serentak.
KPU RI sangat memahami soal ini. Untuk itu, KPU mengusulkan Pileg/Pilpres digelar pada 21 Februari 2024. Jadwal ini masuk akal dari sisi teknis. KPU akan lebih mampu mengelola pelaksanaan Pemilu yang cukup panjang antara Pileg/Pilpres yang berlangsung 21 Februari 2024 dengan Pilkada serentak yang dijadwalkan 27 November 2024. Namun, jadwal usulan KPU ini belum pasti, karena pemerintah cenderung memilih 15 Mei 2024 sebagai waktu pemungutan suara Pileg/Pilpres.
Jika jadwal dari pemerintah ini yang nantinya disepakati, maka KPU sebagai penyelenggara Pemilu akan memikul beban kerja yang berat, karena jarak waktu antara Peileg/Pilpres 2024 dan Pilkada 2024 semakin pendek. Soal jadwal inilah yang hingga pengujung tahun 2021 masih tarik ulur antara KPU, pemerintah, dan DPR.
Namun, usulan jadwal dari pemerintah ini juga layak dipertimbangkan. Sebab, jika Pileg/Pilpres digelar 21 Februari 2024, konsekuensi negatifnya adalah adanya masa transisi dari Maret 2024 mulai dari pengumuman hasil pemilu hingga pelantikan presiden di bulan Oktober 2024.
Akan ada ‘Matahari Kembar’ yakni Presiden-Wakil Presiden terpilih hasil Pilpres 2024 dan Presiden-Wakil Presiden periode 2019-2024 yang masa jabatannya baru berakhir di bulan Oktober 2024. Dikhawatirkan terjadi persinggungan politik di masa transisi yang cukup panjang ini.
Di balik semua potensi kekisruhan politik, beban kerja penyelenggara Pemilu yang berat, dan segala carut marut lainnya, skema Pilkada Serentak pada satu sisi memberi dampak positif bagi proses jalannya tata pemerintahan di masa-masa yang akan datang. Para kepala daerah yang sedang menjabat dapat lebih fokus menyelesaikan tugasnya. Tidak akan ada lagi kepala daerah di tingkat kabupaten/kota yang sedang menjabat terganggu tugasnya karena sedang mencalonkan diri pada kontestasi politik di Pemilihan Gubernur. Para politisi juga dituntut memiliki komitmen kuat dalam mengemban amanah melalui jabatan kepala daerah yang diembannya.
Dengan agenda pemilihan yang terprogram demikian, momentum politik dapat lebih matang dilaksanakan, baik dari penyelenggara pemilihan, pemerintah, maupun partai politik serta kandidat yang akan terlibat kontestasi. Publik dalam menikmati pesta demokrasi juga secara teratur hanya berlangsung dalam tahun-tahun politik, seperti satu tahun sebelum penyelenggaraan pemilihan. Polarisasi politik yang terjadi dari satu daerah ke daerah yang lain akibat kontestasi nasional dapat lebih diminimalkan. Semoga Tahun Politik 2024 tak sepanas yang dibayangkan. *
Ketut Suardana
Wartawan NusaBali
Wartawan NusaBali
1
Komentar