MUTIARA WEDA : AJARAN RAHASIA
Setelah dirimu tetap terjaga dengan kukuh, bolehlah dirimu meninggalkan semua puja upacara, Itu benar tak berpahala, moksa menjadi sulit dan juga akhirnya menjadi bingung tak berkesudahan.
Huwus pwa sira nitya simpen apageh matinggala kitā pujārcana kabeh
Ta tan paphala yukti muksa ya suker muwah matemahan prapanca ta uwus
(Dharma Sunya Keling, 21)
Dalam sebuah tradisi, pelaksanaan yang sejenis dengan aja wera, yakni ada hal-hal tertentu yang tidak boleh dilakukan (sebab jika dilakukan akan menimbulkan bencana), ada beragam. Artinya, mereka memiliki keyakinan untuk berpantang pada hal tertentu. Seperti di Bali, sejak lama mereka percaya bahwa orang awam tidak boleh belajar Weda karena bukan bagiannya. Jika itu dilanggar akan kena kutuk pastu. Ada juga menyebutkan bahwa Weda takut dengan orang bodoh, sehingga mereka tidak diberikan akses untuk mempelajarinya. Dalam teks Jnana Siddhanta juga disebutkan bahwa ada sebuah ajaran yang sangat rahasia yang pantang untuk diajarkan terutama kepada mereka yang belum siap, sebab akan menimbukan bahaya besar.
Di satu sisi, jika dilihat secara objektif, pemberlakuan aja wera ini pada masyarakat memiliki kebenaran dan cukup signifikan. Mengapa demikian? Dengan pemberlakukan ini, orang tidak berani sembarangan dan kemungkinan missleading menjadi sangat sedikit. Orang bodoh yang dimaksudkan bukanlah orang yang tidak memiliki pengetahuan, melainkan mereka yang tidak memiliki niat untuk belajar atau mereka yang tidak memiliki kapasitas untuk meningkatkan diri. Orang bodoh adalah mereka yang telah memiliki konsep berpikir yang kaku namun salah memandang jalan. Ia memiliki center/ pusat yang berbeda di dalam dirinya. Apapun pengetahuan yang diberikan, pengetahuan itu tidak mampu mengubah dirinya, melainkan pengetahuan itu yang berubah sesuai dengan cara berpikirnya itu. Orang seperti inilah yang ditakuti sebab akan mengarahkan ajaran itu ke arah yang salah.
Sementara mereka yang belum memiliki pengetahuan tetapi memiliki niat untuk belajar dan memiliki center diri (yang arahnya) benar, mereka tentu tidak salah jika mempelajarinya. Saat dia belajar, dia mampu memahami pelajaran tersebut secara benar. Jadi, pelajaran apapun yang jatuh kepada orang seperti ini tidak akan berbahaya. Justru pengetahuan itulah yang akan membimbingnya mencapai pembebasan. Pengetahuan itu ibarat lampu yang menyinari orang yang melakukan perjalanan. Jika orang memiliki tujuan yang benar, pengetahuan itu akan menyinari jalannya sehingga mudah mencapai tujuannya. Tetapi, jika dia memiliki tujuan yang salah, pengetahuan itu pun menyinari jalan yang salah itu.
Jika seperti demikian keadaannya, teks di atas pun mesti harus dirahasiakan, sebab ajarannya akan dengan mudah dipersepsi berbeda. Teks di atas menyebutkan bahwa mereka yang telah terjaga dengan kukuh, ia boleh meninggalkan semua puja dan upacara sebab itu tidak mendatangkan pahala, apalagi moksa, dan bahkan cenderung membuat bingung. Jika orang bodoh menilai, tentu dia tidak menekankan pada ‘keadaan jaga yang kukuh’. Yang dia perhatikan pasti masalah ‘meninggalkan puja dan upacara karena semua itu tidak berpahala’. Jika orang seperti ini membaca dan mempelajari ajaran ini, tentu akan dijadikan justifikasi untuk menghilangkan puja dan upacara. Keadaan keberagamaan masyarakat pun menjadi chaos.
Berbeda halnya jika teks tersebut jatuh ke tangan orang yang tepat, persepsi yang muncul pun menjadi sangat berbeda. Ia akan menekankan pada ‘keadaan jaga yang kukuh’. Sepanjang dirinya belum merasa terjaga, mampu membendakan secara jelas mana yang nyata dan mana yang tidak nyata, ia tidak akan meninggalkan sedikit pun puja dan upacara. Mengapa demikian? Karena meninggalkan puja dan upacara hanyalah konsekuensi dari kemampuannya mencapai keadaan tersebut. Ada suatu ketika ia mencapai kondisi itu dan kemudian dia menyadari dengan sendirinya bahwa semua tindakan yang dilakukannya tidak mengantarkannya kemana-mana. Tindakan apapun yang dilakukan sebenarnya hanya sebuah metode. Kesadaran akan Sang Diri saja yang memberikan pembebasan padanya. Namun, meskipun demikian, bersamaan dengan itu, dia pula menyadari bahwa alam semesta ini harus berada dalam tindakan. Sehingga setelah dia mencapai keadaan jaga yang kokoh itu, ia tidak akan menentang sedikitpun puja dan upacara dan bahkan mungkin ia tetap melanjutkannya.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen IHDN Denpasar
Ta tan paphala yukti muksa ya suker muwah matemahan prapanca ta uwus
(Dharma Sunya Keling, 21)
Dalam sebuah tradisi, pelaksanaan yang sejenis dengan aja wera, yakni ada hal-hal tertentu yang tidak boleh dilakukan (sebab jika dilakukan akan menimbulkan bencana), ada beragam. Artinya, mereka memiliki keyakinan untuk berpantang pada hal tertentu. Seperti di Bali, sejak lama mereka percaya bahwa orang awam tidak boleh belajar Weda karena bukan bagiannya. Jika itu dilanggar akan kena kutuk pastu. Ada juga menyebutkan bahwa Weda takut dengan orang bodoh, sehingga mereka tidak diberikan akses untuk mempelajarinya. Dalam teks Jnana Siddhanta juga disebutkan bahwa ada sebuah ajaran yang sangat rahasia yang pantang untuk diajarkan terutama kepada mereka yang belum siap, sebab akan menimbukan bahaya besar.
Di satu sisi, jika dilihat secara objektif, pemberlakuan aja wera ini pada masyarakat memiliki kebenaran dan cukup signifikan. Mengapa demikian? Dengan pemberlakukan ini, orang tidak berani sembarangan dan kemungkinan missleading menjadi sangat sedikit. Orang bodoh yang dimaksudkan bukanlah orang yang tidak memiliki pengetahuan, melainkan mereka yang tidak memiliki niat untuk belajar atau mereka yang tidak memiliki kapasitas untuk meningkatkan diri. Orang bodoh adalah mereka yang telah memiliki konsep berpikir yang kaku namun salah memandang jalan. Ia memiliki center/ pusat yang berbeda di dalam dirinya. Apapun pengetahuan yang diberikan, pengetahuan itu tidak mampu mengubah dirinya, melainkan pengetahuan itu yang berubah sesuai dengan cara berpikirnya itu. Orang seperti inilah yang ditakuti sebab akan mengarahkan ajaran itu ke arah yang salah.
Sementara mereka yang belum memiliki pengetahuan tetapi memiliki niat untuk belajar dan memiliki center diri (yang arahnya) benar, mereka tentu tidak salah jika mempelajarinya. Saat dia belajar, dia mampu memahami pelajaran tersebut secara benar. Jadi, pelajaran apapun yang jatuh kepada orang seperti ini tidak akan berbahaya. Justru pengetahuan itulah yang akan membimbingnya mencapai pembebasan. Pengetahuan itu ibarat lampu yang menyinari orang yang melakukan perjalanan. Jika orang memiliki tujuan yang benar, pengetahuan itu akan menyinari jalannya sehingga mudah mencapai tujuannya. Tetapi, jika dia memiliki tujuan yang salah, pengetahuan itu pun menyinari jalan yang salah itu.
Jika seperti demikian keadaannya, teks di atas pun mesti harus dirahasiakan, sebab ajarannya akan dengan mudah dipersepsi berbeda. Teks di atas menyebutkan bahwa mereka yang telah terjaga dengan kukuh, ia boleh meninggalkan semua puja dan upacara sebab itu tidak mendatangkan pahala, apalagi moksa, dan bahkan cenderung membuat bingung. Jika orang bodoh menilai, tentu dia tidak menekankan pada ‘keadaan jaga yang kukuh’. Yang dia perhatikan pasti masalah ‘meninggalkan puja dan upacara karena semua itu tidak berpahala’. Jika orang seperti ini membaca dan mempelajari ajaran ini, tentu akan dijadikan justifikasi untuk menghilangkan puja dan upacara. Keadaan keberagamaan masyarakat pun menjadi chaos.
Berbeda halnya jika teks tersebut jatuh ke tangan orang yang tepat, persepsi yang muncul pun menjadi sangat berbeda. Ia akan menekankan pada ‘keadaan jaga yang kukuh’. Sepanjang dirinya belum merasa terjaga, mampu membendakan secara jelas mana yang nyata dan mana yang tidak nyata, ia tidak akan meninggalkan sedikit pun puja dan upacara. Mengapa demikian? Karena meninggalkan puja dan upacara hanyalah konsekuensi dari kemampuannya mencapai keadaan tersebut. Ada suatu ketika ia mencapai kondisi itu dan kemudian dia menyadari dengan sendirinya bahwa semua tindakan yang dilakukannya tidak mengantarkannya kemana-mana. Tindakan apapun yang dilakukan sebenarnya hanya sebuah metode. Kesadaran akan Sang Diri saja yang memberikan pembebasan padanya. Namun, meskipun demikian, bersamaan dengan itu, dia pula menyadari bahwa alam semesta ini harus berada dalam tindakan. Sehingga setelah dia mencapai keadaan jaga yang kokoh itu, ia tidak akan menentang sedikitpun puja dan upacara dan bahkan mungkin ia tetap melanjutkannya.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen IHDN Denpasar
1
Komentar