RI Dalam Ancaman Krisis Gula
Alami Defisit 3,8 Ton
JAKARTA, NusaBali
Pemerintah memproyeksikan bakal ada kenaikan permintaan gula dalam beberapa tahun mendatang.
Jika tidak bisa diantisipasi dengan meningkatkan produksi, maka Indonesia bakal mengalami pasokan berjuta-juta ton. "Dengan pertumbuhan kebutuhan gula yang makin meningkat, maka di 2030, diproyeksikan kebutuhan gula nasional 9,81 juta ton," kata Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika, seperti dilansir cnbcindonesia.com, Kamis (20/1).Ia mengungkapkan, Kemenperin berupaya agar dapat memfasilitasi investasi pengembangan dan pembangunan pabrik gula baru. Namun, jika tidak mengalami banyak perubahan, ancaman kekurangan gula pun ada di depan mata.
"Maka akan ada kekurangan gula dalam negeri sekitar 7,13 juta ton. Kemampuan produksi pabrik gula existing relatif stagnan dengan rata-rata hasil produksi untuk 5 tahun terakhir sekitar 2,2 juta ton per tahun," kata sebut Putu.
Apalagi dengan asumsi pertumbuhan kebutuhan gula untuk industri makanan dan minuman diproyeksikan naik 5-7% per tahun, ditambah kenaikan pertambahan penduduk RI naik setiap tahun, maka pertumbuhan kebutuhan gula nasional semakin naik setiap tahunnya.
"Angka produksi ini masih jauh dibanding kebutuhan nasional sebesar kurang lebih 6 juta ton sehingga ada defisit 3,8 juta ton yang harus dipenuhi dari impor," jelas Putu.
Saat ini pemerintah sudah mengeluarkan izin impor untuk gula rafinasi sebanyak 3,4 juta ton. Gula tersebut bakal ditujukan khusus untuk industri makanan dan minuman, bukan untuk masyarakat umum.
"Per bulan estimasi kebutuhan gula rafinasi 200-300 ribu. Saat hari raya akan ada penambahan sekitar 10%. Izin impor baru Januari, proses dalam importasi, sebagian memang sudah ada di Indonesia, kisaran 250 ribu di Indonesia," kata Ketua Umum Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) Benardi Dharmawan.
Pengiriman gula rafinasi sempat terkendala di akhir 2020 lalu akibat penyesuaian aturan penerapan Permendag Nomor 20 Tahun 2021.
"Idealnya kebutuhan 2022 memang harus clear akhir 2021 karena kita mempertimbangkan ada negara-negara penghasil bahan baku di luar Asean seperti Brazil, Afrika," sebut Benardi. *
Komentar