Dinas Pariwisata Tegaskan Pengelolaan Pantai Ada di Desa Adat
MANGUPURA, NusaBali
Dinas Pariwisata Daerah (Disparda) Kabupaten Badung menegaskan jika pengelolaan pantai di wilayah Badung harus dilakukan oleh desa adat.
Hal ini berkaitan dengan aturan yang nantinya digunakan untuk pengelolaan kawasan wisata. Bahkan, desa adat yang melakukan pengajuan dan penetapan DTW itu siap difasilitasi oleh Dinas Pariwisata.
Kadisparda Badung I Nyoman Rudiarta, menegaskan berkomitmen memfasilitasi setiap desa adat yang mengajukan permohonan pengajuan untuk ditetapkan menjadi daya tarik wisata (DTW). Terlebih Bupati Badung menginginkan agar masyarakat setempat bisa menjadi tuan di rumahnya sendiri. Namun, tidak semua pantai nantinya ditetapkan menjadi DTW, karena ada persyaratan yang harus dipenuhi untuk hal itu, serta kewajiban dalam pengelolaan. “Kami siap memfasilitasi semua itu. Tapi ada ketentuan yang harus dipenuhi,” katanya, Selasa (25/1).
Menurut Rudiarta, yang ingin mengajukan permohonan DTW dan pengelolaan pantai di Kabupaten Badung, harus melalui desa adat masing-masing. Pasalnya hak tersebut diperuntukan bagi desa adat yang notabene menjadi induk dari organisasi di suatu wilayah desa adat. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi banjar adat atau kelompok masyarakat untuk melakukan pengelolaan pantai secara sendiri-sendiri. “Regulasi itu untuk desa adat, bukan banjar adat,” tegas mantan Camat Kuta ini.
Jika seandainya ada kawasan pantai yang dikelola oleh banjar adat, maka pihaknya akan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan pihak desa adat setempat. Sedangkan, apabila pantai itu berada di antara beberapa desa, maka pihaknya akan melakukan pendekatan terkait hal itu. Setiap desa adat terkait harus melakukan rapat, guna menunjuk siapa pengelola dari pantai tersebut.
“Seperti di Cemagi, itu terdiri dari 4 desa adat, kami tidak mau menetapkan DTW itu per lokasi. Karena itu di sana ditetapkan DTW kawasan luar Pura Batu Ngaus. Nah, di sana yang diberikan pengelolaan adalah Pokdarwis yang ditunjuk dan disepakati beberapa desa terkait,” jelas Rudiarta.
Sementara, Ketua Komisi II DPRD Badung I Gusti Anom Gumanti, berharap agar setiap desa yang mengelola pantai harus mendapatkan surat keputusan (SK) dari bupati. Dewan, katanya, siap membantu hal itu. Jika sampai ada pengelolan yang dilakukan oleh kelompok, banjar adat dan sebagainya, hal itu sangat berpotensi membuat pantai itu rawan diklaim oleh sebagian pihak.
“Desa adat harus keras menyikapi hal itu, karena legitimasi pengelolaan pantai itu berada di ranah desa adat, yang mendapatkan legitimasi itu desa adat bukan banjar adat,” tegas politisi PDI Perjuangan itu. 7 dar, *asa
Menurut Rudiarta, yang ingin mengajukan permohonan DTW dan pengelolaan pantai di Kabupaten Badung, harus melalui desa adat masing-masing. Pasalnya hak tersebut diperuntukan bagi desa adat yang notabene menjadi induk dari organisasi di suatu wilayah desa adat. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi banjar adat atau kelompok masyarakat untuk melakukan pengelolaan pantai secara sendiri-sendiri. “Regulasi itu untuk desa adat, bukan banjar adat,” tegas mantan Camat Kuta ini.
Jika seandainya ada kawasan pantai yang dikelola oleh banjar adat, maka pihaknya akan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan pihak desa adat setempat. Sedangkan, apabila pantai itu berada di antara beberapa desa, maka pihaknya akan melakukan pendekatan terkait hal itu. Setiap desa adat terkait harus melakukan rapat, guna menunjuk siapa pengelola dari pantai tersebut.
“Seperti di Cemagi, itu terdiri dari 4 desa adat, kami tidak mau menetapkan DTW itu per lokasi. Karena itu di sana ditetapkan DTW kawasan luar Pura Batu Ngaus. Nah, di sana yang diberikan pengelolaan adalah Pokdarwis yang ditunjuk dan disepakati beberapa desa terkait,” jelas Rudiarta.
Sementara, Ketua Komisi II DPRD Badung I Gusti Anom Gumanti, berharap agar setiap desa yang mengelola pantai harus mendapatkan surat keputusan (SK) dari bupati. Dewan, katanya, siap membantu hal itu. Jika sampai ada pengelolan yang dilakukan oleh kelompok, banjar adat dan sebagainya, hal itu sangat berpotensi membuat pantai itu rawan diklaim oleh sebagian pihak.
“Desa adat harus keras menyikapi hal itu, karena legitimasi pengelolaan pantai itu berada di ranah desa adat, yang mendapatkan legitimasi itu desa adat bukan banjar adat,” tegas politisi PDI Perjuangan itu. 7 dar, *asa
Komentar