Terhimpit Kemiskinan, Ketiga Anaknya Sering Kelaparan
Cerita miris kembali terungkap akibat terhimpit keterbatasan ekonomi di Gumi Panji Sakti.
Balada Keluarga Kadek Sandiarta
SINGARAJA, NusaBali
Keluarga Kadek Sandiarta, 34, warga Banjar Dinas Pendem, Desa Alasangker, Kecamatan/Kabupaten Buleleng, saat ini hidup dengan segala keterbatasan. Meski ia dan istrinya Luh Winangsih, 31, masih dalam keadaan sehat, kadang juga menyerah dengan keadaan. Ketiga anaknya yang masih di bawah umur, sering harus menahan lapar, karena tidak ada makanan yang tersaji.
Sandiarta adalah seorang buruh serabutan dan penyakap kebun milik orang. Sedangkan istrinya, hanya membantunya dalam kesehariannya sebagai petani. Hasil yang didapatkannya pun tidak menentu, sehingga mereka selalu kekurangan untuk menghidupi keluarganya. Sedangkan padi hasil panen dari kebun milik majikannya harus menunggu berbulan-bulan itu pun kalau hasil panennya bagus.
Sandiarta sebagai kepala keluarga berupaya untuk mengambil pekerjaan apa saja yang penting menghasilkan dan dapat dibawa pulang untuk makan anak-anaknya. “Kadang saya ikut nraktor, kadang juga bantu teman di bengkel tambal ban, itu juga kadang-kadang saja,” ujarnya.
Beruntung selama ini ia dan keluarganya mendapatkan bantuan raskin 15 kilogram per bulannya. Namun jumlah itu tidaklah cukup untuk bekal sebulan. Ketiga anaknya yakni Putu Febriani,9, Kadek Ekasmayani, 8, dan Komang Ari Swastawan, 5, tidak jarang harus menahan lapar akibat tidak ada nasi di dapur. Setiap hari pun jika ayahnya Sandiarta tidak mendapatkan pekerjaan, mereka hanya makan nasi dan garam saja tanpa lauk.
Kedua anak perempuannya Febriani dan Eka, saat ditemui di rumahnya Rabu (22/2) kemarin mengaku tidak sekolah. Dikarenakan tidak menemukan seragam yang biasa ia pakai dan tidak memiliki ikat pinggang. Febriani juga mengaku malu pergi ke sekolah karena kemarin ia mendapat giliran untuk membawa banten, sedangkan orang tuanya sedang tidak punya uang sedikit pun.
“Kadang saya miris melihat anak-anak, tetapi kami sudah berusaha sekuat tenaga untuk memberikan hidup yang lebih layak, tetapi sampai saat ini belum bisa,” sesal Sandiarta.
Bahkan dengan kondisi tersebut Winangsih pernah sesekali pergi dari rumahnya meninggalkan anak-anaknya yang saat itu kelaparan untuk mencari pekerjaan di daerah perkotaan. Hanya saja saat itu ia tersesat dan ditemukan oleh seseorang dan diantarkan kembali ke gubuknya di tengah sawah.
Keluarga malang ini kini tinggal hanya disebuah gubuk sederhana, beratap dan berdinding seng, di atas tanah milik majikannya. Dalam satu kamar dan satu tempat tidur, mereka harus tidur berdesak-desakan. Gubuk itu pun selalu bocor ketika hujan deras mengguyur wilayah itu. Bahkan bangunan dapurnya yang tidak permanen sekitar seminggu lalu ambruk karena cuaca ekstrim. Bahkan untuk fasilitas air bersih pun mereka hanya memanfaatkan air kali yang diperuntukkan untuk mengairi sawah.
Sementara itu Kelian Banjar Dinas Pendem Wayan Budiasa, mengatakan bahwa sejauh ini keluarga Sandiarta sudah dua kali diajukan untuk mendapat bantuan bedah rumah ke Pemprob Bali. Hanya saja pada ajuan tahun 2015 lalu proposalnya ditolak, karena Sandiarta tidak memiliki lahan pribadi. Belakangan ia dikasihani oleh majikannya yang diberikan tanah dua are secara cuma-cuma untuk pijakan bantuan bedah rumah. “Proposalnya sudah diajukan lagi mudah-mudahan cepat dikabulkan,” ujar dia.
Ia pun mengatakan khusus di banjarnya masih ada sekitar tujuh orang KK yang bernasib sama dengan Sandiarta. Karena keterbatasan ekonomi mereka masih menumpang di lahan milik orang. bahkan ada juga yang masih menumpang dengan orangtuanya. *k23
SINGARAJA, NusaBali
Keluarga Kadek Sandiarta, 34, warga Banjar Dinas Pendem, Desa Alasangker, Kecamatan/Kabupaten Buleleng, saat ini hidup dengan segala keterbatasan. Meski ia dan istrinya Luh Winangsih, 31, masih dalam keadaan sehat, kadang juga menyerah dengan keadaan. Ketiga anaknya yang masih di bawah umur, sering harus menahan lapar, karena tidak ada makanan yang tersaji.
Sandiarta adalah seorang buruh serabutan dan penyakap kebun milik orang. Sedangkan istrinya, hanya membantunya dalam kesehariannya sebagai petani. Hasil yang didapatkannya pun tidak menentu, sehingga mereka selalu kekurangan untuk menghidupi keluarganya. Sedangkan padi hasil panen dari kebun milik majikannya harus menunggu berbulan-bulan itu pun kalau hasil panennya bagus.
Sandiarta sebagai kepala keluarga berupaya untuk mengambil pekerjaan apa saja yang penting menghasilkan dan dapat dibawa pulang untuk makan anak-anaknya. “Kadang saya ikut nraktor, kadang juga bantu teman di bengkel tambal ban, itu juga kadang-kadang saja,” ujarnya.
Beruntung selama ini ia dan keluarganya mendapatkan bantuan raskin 15 kilogram per bulannya. Namun jumlah itu tidaklah cukup untuk bekal sebulan. Ketiga anaknya yakni Putu Febriani,9, Kadek Ekasmayani, 8, dan Komang Ari Swastawan, 5, tidak jarang harus menahan lapar akibat tidak ada nasi di dapur. Setiap hari pun jika ayahnya Sandiarta tidak mendapatkan pekerjaan, mereka hanya makan nasi dan garam saja tanpa lauk.
Kedua anak perempuannya Febriani dan Eka, saat ditemui di rumahnya Rabu (22/2) kemarin mengaku tidak sekolah. Dikarenakan tidak menemukan seragam yang biasa ia pakai dan tidak memiliki ikat pinggang. Febriani juga mengaku malu pergi ke sekolah karena kemarin ia mendapat giliran untuk membawa banten, sedangkan orang tuanya sedang tidak punya uang sedikit pun.
“Kadang saya miris melihat anak-anak, tetapi kami sudah berusaha sekuat tenaga untuk memberikan hidup yang lebih layak, tetapi sampai saat ini belum bisa,” sesal Sandiarta.
Bahkan dengan kondisi tersebut Winangsih pernah sesekali pergi dari rumahnya meninggalkan anak-anaknya yang saat itu kelaparan untuk mencari pekerjaan di daerah perkotaan. Hanya saja saat itu ia tersesat dan ditemukan oleh seseorang dan diantarkan kembali ke gubuknya di tengah sawah.
Keluarga malang ini kini tinggal hanya disebuah gubuk sederhana, beratap dan berdinding seng, di atas tanah milik majikannya. Dalam satu kamar dan satu tempat tidur, mereka harus tidur berdesak-desakan. Gubuk itu pun selalu bocor ketika hujan deras mengguyur wilayah itu. Bahkan bangunan dapurnya yang tidak permanen sekitar seminggu lalu ambruk karena cuaca ekstrim. Bahkan untuk fasilitas air bersih pun mereka hanya memanfaatkan air kali yang diperuntukkan untuk mengairi sawah.
Sementara itu Kelian Banjar Dinas Pendem Wayan Budiasa, mengatakan bahwa sejauh ini keluarga Sandiarta sudah dua kali diajukan untuk mendapat bantuan bedah rumah ke Pemprob Bali. Hanya saja pada ajuan tahun 2015 lalu proposalnya ditolak, karena Sandiarta tidak memiliki lahan pribadi. Belakangan ia dikasihani oleh majikannya yang diberikan tanah dua are secara cuma-cuma untuk pijakan bantuan bedah rumah. “Proposalnya sudah diajukan lagi mudah-mudahan cepat dikabulkan,” ujar dia.
Ia pun mengatakan khusus di banjarnya masih ada sekitar tujuh orang KK yang bernasib sama dengan Sandiarta. Karena keterbatasan ekonomi mereka masih menumpang di lahan milik orang. bahkan ada juga yang masih menumpang dengan orangtuanya. *k23
Komentar