Perang Api Menggunakan Prakpak, Libatkan Krama dari Dua Desa Bertetangga
Desa Adat Duda, Kecamatan Selat Laksanakan Tradisi Ritual Siat Api buat Keempat Kalinya Sejak 1963
Sebelum siat api di Jembatan Tukad Sangsang dilakukan, seluruh krama Desa Duda dan Desa Duda Timur lebih dulu menggelar upacara ngulah kala di pekarangan rumah masing-masing, menggunakan prakpak dan simbuh dari daun sirih
AMLAPURA, NusaBali
Desa Adat Duda, Kecamatan Selat, Karangasem kembali menggelar tradisi ritual siat api pada Soma Paing Menail, Senin (31/1) petang. Ritual siat api yang dilaksanakan di Jembatan Tukad Sangsang di perbatasan Desa Duda dan Desa Duda Timur ini berupa saling pukul menggunakan senjata prakpak yang melibatkan krama dari dua desa bertetangga, bertujuan untuk menyomiakan bhuta kala. Ini merupakan gelaran keempat kalinya ritual siat api sejak tahun 1966.
Seseuai namanya siat api, krama berperang menggunakan api dari sarana prakpak daun kelapa kering yang dibakar sebagai senjata. Dalam tradisi ritual siat api yang berlangsung selama 1 jam 20 menit sejak Senin petang pukul 18.10 Wita hingga malam pukul 19.30 Wita itu, krama terbagi dalam 3 shift. Krama yang berperang berasal dari dua kelompok asal dua desa dinas bertetangga yang bernaung di bawah Desa Adat Duda, yakni Desa Duda vs Desa Duda Timur.
Pantauan NusaBali, mereka yang terlibat ritual siat api menggunakan senjata prakpak semuanya krama lanang (laki-laki). Mereka mengenakan kamben dan udeng, namun tanpa busana atasan. Masing-masing bersenjata prakpak yang telah dibakar untuk menyerang lawan.
Jika nyala api prakpak yang digunakan menyerang (memukul) lawan sampai padam, maka peserta perang digantikan oleh kelompok lainnya. Kemudian, prakpak dinyalakan lagi hingga terjadi perang api sebanyak tiga babak.
Ritual siat api di Jembatan Tukad Sangsang petang itu dikoordinasikan langsung Bendesa Adat Duda, I Komang Sujana. Sedangkan krama dari Desa Duda Timur dikoordinasikan Perbekel I Gede Pawana, sementara krama dari Desa Duda di bawah kendali Perbekel I Gusti Agung Ngurah Putra.
Menurut Bendesa Adat Duda, I Komang Sujana, tradisi ritual siat api ini digelar tanpa dibatasi oleh waktu. Ritual siat api tercatat baru 5 kali dilaksanakan Desa Adat Duda sejak tahun 1963. Empat ritual siat api sebelumnya, masing-masing dilaksanakan tahun 1963, 2017, 2018, dan 2019. Khusus untuk ritual siat api tahun 2022, dilaksanakan serangkaian dengan upacara Usaba Dalem di Desa Adat Duda yang pu-ncaknya jatuh tepat Tilem Kasanga pada Buda Paing Wayang, Rabu (2/3) ini.
Menurut Komang Sujana, sebelum siat api di Jembatan Tukad Sangsang dilakukan, seluruh krama Desa Adat Duda lebih dulu menggelar upacara ngulah kala (mengusir bhuta kala) di rumah masing-masing. “Untuk upacara ngulah kala di rumah masing-masing, juga menggunakan prakpak dan simbuh dari daun sirih. Itu dilakukan di sekeliling rumah,” terang Komang Sujana kepada NusaBali.
Selanjutnya, kata Komang Sujana, prakpak yang masih menyala ditempatkan di depan rumah. Setelah diyakini seluruh unsur bhuta kala keluar dari pekarangan rumah masing-masing, maka selanjutnya disomiakan (dinetralisir) di wawidangan Desa Adat Duda melalui ritual siat api.
Setelah tunas ritual ngulah bhuta kala di rumah masing-masing, krama Desa Adat Duda kumpul di sekitar Jembatan Tukad Sangsang. Krama tersebut berasal dari 27 banjar adat di dua desa dinas (Desa Duda dan Desa Duda Timur), masing-masing Banjar Abian Canang Kaja, Banjar Abian Canang Kelod, Banjar Alastunggal, Banjar Batu Gede, Banjar Darma Karya, Banjar Bencingah, Banjar Janglap, Banjar Juwuklegi, Banjar Kerta Sari, Banjar Ketket, Banjar Lila, Banjar Limo, Banjar Pegubugan, Banjar Pesangkan Duuran, Banjar Pesangkan Gede, Banjar Pesangkan Kangin, Banjar Pesangkan Kawan, Banjar Jangu, Banjar Swasta Karya, Banjar Taman Bali, Banjar Tegal Anyar, Banjar Tegal Let, Banjar Tengah, Banjar Wates Kaja, Banjar Wates Tengah, Banjar Wates Kangin, dan Banjar Yadnya Karya.
Nah, krama dari 27 banjar adat asal dua desa bertetangga ini kemudian terbagi dua kelompok: timur dan barat. Setelah keduabelah pihak siap dengan senjata prapak menyala, mereka akan disemangati tabuh baleganjur, kemudian berhadapan-hadapan dalam jarak 1 meter untuk bersiap lakukan siat api. Usai perang, semua krama yang terlibat siat api rata-rata meninggalkan noda hitam di bagian punggung dan kena mangsi (arang dari prakpak).
Komang Sujana menyebutkan, ritual siat api ini digelar untuk menyomiakan bhuta kala, selain juga memerangi unsur api dalam diri berupa beragam musuh (ripu). "Siat api ini kan bermakna menyomiakan kekuatan bhuta kala, agar tidak mengganggu tatanan kehidupan umat manusia, mulai dari pekarangan rumah hingga wawidangan Desa Adat Duda," jelas Komang Sujana yang juga menjabat Bendesa Alitan Majelis Desa Adat (MDA) Kecamatan Selat.
Begitu juga kekuatan api yang selama ini menjadi musuh-musuh dalam diri, diperangi dan disomiakan dengan ritual siat api. "Harapannya, api yang ada dalam diri umat manusia bisa bermanfaat," terang Sujana.
Musuh dalam diri atau yang menguasai bhuana alit, antara lain, Tri Mala (tiga kotoran jiwa), Catur Ma (empat kemabukan), Panca Wisaya (lima jenis racun), Panca Ma, Sad Ripu (enam musuh dalam diri), Sad Atatayi (enam pembunuh), Sapta Timira (tujuh kegelapan), dan Asta Duta (delapan pembunuh). *k16
Seseuai namanya siat api, krama berperang menggunakan api dari sarana prakpak daun kelapa kering yang dibakar sebagai senjata. Dalam tradisi ritual siat api yang berlangsung selama 1 jam 20 menit sejak Senin petang pukul 18.10 Wita hingga malam pukul 19.30 Wita itu, krama terbagi dalam 3 shift. Krama yang berperang berasal dari dua kelompok asal dua desa dinas bertetangga yang bernaung di bawah Desa Adat Duda, yakni Desa Duda vs Desa Duda Timur.
Pantauan NusaBali, mereka yang terlibat ritual siat api menggunakan senjata prakpak semuanya krama lanang (laki-laki). Mereka mengenakan kamben dan udeng, namun tanpa busana atasan. Masing-masing bersenjata prakpak yang telah dibakar untuk menyerang lawan.
Jika nyala api prakpak yang digunakan menyerang (memukul) lawan sampai padam, maka peserta perang digantikan oleh kelompok lainnya. Kemudian, prakpak dinyalakan lagi hingga terjadi perang api sebanyak tiga babak.
Ritual siat api di Jembatan Tukad Sangsang petang itu dikoordinasikan langsung Bendesa Adat Duda, I Komang Sujana. Sedangkan krama dari Desa Duda Timur dikoordinasikan Perbekel I Gede Pawana, sementara krama dari Desa Duda di bawah kendali Perbekel I Gusti Agung Ngurah Putra.
Menurut Bendesa Adat Duda, I Komang Sujana, tradisi ritual siat api ini digelar tanpa dibatasi oleh waktu. Ritual siat api tercatat baru 5 kali dilaksanakan Desa Adat Duda sejak tahun 1963. Empat ritual siat api sebelumnya, masing-masing dilaksanakan tahun 1963, 2017, 2018, dan 2019. Khusus untuk ritual siat api tahun 2022, dilaksanakan serangkaian dengan upacara Usaba Dalem di Desa Adat Duda yang pu-ncaknya jatuh tepat Tilem Kasanga pada Buda Paing Wayang, Rabu (2/3) ini.
Menurut Komang Sujana, sebelum siat api di Jembatan Tukad Sangsang dilakukan, seluruh krama Desa Adat Duda lebih dulu menggelar upacara ngulah kala (mengusir bhuta kala) di rumah masing-masing. “Untuk upacara ngulah kala di rumah masing-masing, juga menggunakan prakpak dan simbuh dari daun sirih. Itu dilakukan di sekeliling rumah,” terang Komang Sujana kepada NusaBali.
Selanjutnya, kata Komang Sujana, prakpak yang masih menyala ditempatkan di depan rumah. Setelah diyakini seluruh unsur bhuta kala keluar dari pekarangan rumah masing-masing, maka selanjutnya disomiakan (dinetralisir) di wawidangan Desa Adat Duda melalui ritual siat api.
Setelah tunas ritual ngulah bhuta kala di rumah masing-masing, krama Desa Adat Duda kumpul di sekitar Jembatan Tukad Sangsang. Krama tersebut berasal dari 27 banjar adat di dua desa dinas (Desa Duda dan Desa Duda Timur), masing-masing Banjar Abian Canang Kaja, Banjar Abian Canang Kelod, Banjar Alastunggal, Banjar Batu Gede, Banjar Darma Karya, Banjar Bencingah, Banjar Janglap, Banjar Juwuklegi, Banjar Kerta Sari, Banjar Ketket, Banjar Lila, Banjar Limo, Banjar Pegubugan, Banjar Pesangkan Duuran, Banjar Pesangkan Gede, Banjar Pesangkan Kangin, Banjar Pesangkan Kawan, Banjar Jangu, Banjar Swasta Karya, Banjar Taman Bali, Banjar Tegal Anyar, Banjar Tegal Let, Banjar Tengah, Banjar Wates Kaja, Banjar Wates Tengah, Banjar Wates Kangin, dan Banjar Yadnya Karya.
Nah, krama dari 27 banjar adat asal dua desa bertetangga ini kemudian terbagi dua kelompok: timur dan barat. Setelah keduabelah pihak siap dengan senjata prapak menyala, mereka akan disemangati tabuh baleganjur, kemudian berhadapan-hadapan dalam jarak 1 meter untuk bersiap lakukan siat api. Usai perang, semua krama yang terlibat siat api rata-rata meninggalkan noda hitam di bagian punggung dan kena mangsi (arang dari prakpak).
Komang Sujana menyebutkan, ritual siat api ini digelar untuk menyomiakan bhuta kala, selain juga memerangi unsur api dalam diri berupa beragam musuh (ripu). "Siat api ini kan bermakna menyomiakan kekuatan bhuta kala, agar tidak mengganggu tatanan kehidupan umat manusia, mulai dari pekarangan rumah hingga wawidangan Desa Adat Duda," jelas Komang Sujana yang juga menjabat Bendesa Alitan Majelis Desa Adat (MDA) Kecamatan Selat.
Begitu juga kekuatan api yang selama ini menjadi musuh-musuh dalam diri, diperangi dan disomiakan dengan ritual siat api. "Harapannya, api yang ada dalam diri umat manusia bisa bermanfaat," terang Sujana.
Musuh dalam diri atau yang menguasai bhuana alit, antara lain, Tri Mala (tiga kotoran jiwa), Catur Ma (empat kemabukan), Panca Wisaya (lima jenis racun), Panca Ma, Sad Ripu (enam musuh dalam diri), Sad Atatayi (enam pembunuh), Sapta Timira (tujuh kegelapan), dan Asta Duta (delapan pembunuh). *k16
1
Komentar