Dua Kelompok Pemuda di Desa Pakraman Selat Terlibat Perang Sarang
Dua kelompok yowana (pemuda) bertelanjang dada saling serang menggunakan sarang (alas bekas untuk buat jajan uli) di depan Pura Bale Agung, Desa Pakraman Selat, Kecamatan Selat, Karangasem, Wraspati Wage Tolu, Kamis (23/2)
AMLAPURA, NusaBali
Tradisi Perang Sarang ini digelar setahun sekali jelang Usaba Dimel atau Usaba Dodol di Pura Bale Agung Desa Pakraman Selat. Maknanya memerangi segala musuh dalam diri dan nyomia (netralisir) bhuta kala.
Perang Sarang kemarin berlangsung singkat sekitar 10 menit, dari pukul 17.00 Wita hingga pukul 17.10 Wita. Dua kelompok pemuda tanpa mengenakan busana atas berhadapan depan Pura Bale Agung. Demi suksesnya Perang Sarang, buat sementara jalur di tempat upacara ditutup. Begitu ada aba-aba dari Bendesa Pakraman Selat, Jro Mangku Wayan Gede Mustika, perang pun berkecamuk. Dua kelompok pemuda ini saling lempar dan saling tindih. Ritual Perang Sarang mendapat pengawasan dari Kapolsek Selat AKP I Made Sudartawan dan anggotanya dari dua arah.
Selama perang berlangsung, tidak ada yang cedera sehingga berakhir dengan aman. Perang Sarang dilaksanakan sehubungan krama Desa Pakraman Selat, Kecamatan Selat telah selesai membuat jaja uli untuk kepentingan Usaba Dodol yang puncaknya pada Redite Paing Gumbreg, Minggu (26/2) mendatang. Sebenarnya, Perang Sarang jadi satu paket dengan upacara petabuhan atau upacara pacaruan dengan kurban godel (anak sapi) dan anjing bangbungkem.
Prosesinya Perang Sarang berawal dari rumah masing-masing, krama mulai pagi ngunggahang (mempersembahkan) satu kemasan tenge (berisikan kemasan daun gegirang, bambu, gunggung, dan aba) bergambar bhuta kala di pekarangan rumah. Memasuki sore hari, tenge yang terpasang dikumpulkan dimasukkan ke dalam sarang. Sarang selanjutnya ditempatkan di lebuh (dekat pintu halaman rumah) yang bermakna memikat bhuta kala masuk ke dalam sarang. Setelah itu sarang dibawa ke Pura Bale Agung untuk mendapatkan labaan (kurban) berupa banten pacaruan, sekaligus nyomia sifat-sifat bhuta kala.
Usai ritual itu di Pura Bale Agung, sarang diambil kaum pemuda Desa Pakraman Selat, kemudian pemuda membagi dua kelompok yakni bagian kaja (utara) dan bagian kelod (selatan). Maka sarang itu digunakan senjata yang bermakna mengusir sifat-sifat ripu (musuh) dalam diri dan mengusir bhuta kala.
Bendesa Pakraman Selat, Jro Mangku Wayan Gede Mustika, mengatakan ada banyak musum dalam diri. Salah satunya Sad Ripu (enam musuh dalam diri) yakni kama, lobha, krodha, moha, mada, dan matsarya. “Selama berperang mesti sungguh-sungguh, agar mampu menetralisir musuh-musuh dalam diri dan mengusir unsur bhuta kala. Sehingga usai berperang, pikiran jadi bersih tanpa emosi,” jelas Jro Mangku Wayan Gede Mustika. * k16
Tradisi Perang Sarang ini digelar setahun sekali jelang Usaba Dimel atau Usaba Dodol di Pura Bale Agung Desa Pakraman Selat. Maknanya memerangi segala musuh dalam diri dan nyomia (netralisir) bhuta kala.
Perang Sarang kemarin berlangsung singkat sekitar 10 menit, dari pukul 17.00 Wita hingga pukul 17.10 Wita. Dua kelompok pemuda tanpa mengenakan busana atas berhadapan depan Pura Bale Agung. Demi suksesnya Perang Sarang, buat sementara jalur di tempat upacara ditutup. Begitu ada aba-aba dari Bendesa Pakraman Selat, Jro Mangku Wayan Gede Mustika, perang pun berkecamuk. Dua kelompok pemuda ini saling lempar dan saling tindih. Ritual Perang Sarang mendapat pengawasan dari Kapolsek Selat AKP I Made Sudartawan dan anggotanya dari dua arah.
Selama perang berlangsung, tidak ada yang cedera sehingga berakhir dengan aman. Perang Sarang dilaksanakan sehubungan krama Desa Pakraman Selat, Kecamatan Selat telah selesai membuat jaja uli untuk kepentingan Usaba Dodol yang puncaknya pada Redite Paing Gumbreg, Minggu (26/2) mendatang. Sebenarnya, Perang Sarang jadi satu paket dengan upacara petabuhan atau upacara pacaruan dengan kurban godel (anak sapi) dan anjing bangbungkem.
Prosesinya Perang Sarang berawal dari rumah masing-masing, krama mulai pagi ngunggahang (mempersembahkan) satu kemasan tenge (berisikan kemasan daun gegirang, bambu, gunggung, dan aba) bergambar bhuta kala di pekarangan rumah. Memasuki sore hari, tenge yang terpasang dikumpulkan dimasukkan ke dalam sarang. Sarang selanjutnya ditempatkan di lebuh (dekat pintu halaman rumah) yang bermakna memikat bhuta kala masuk ke dalam sarang. Setelah itu sarang dibawa ke Pura Bale Agung untuk mendapatkan labaan (kurban) berupa banten pacaruan, sekaligus nyomia sifat-sifat bhuta kala.
Usai ritual itu di Pura Bale Agung, sarang diambil kaum pemuda Desa Pakraman Selat, kemudian pemuda membagi dua kelompok yakni bagian kaja (utara) dan bagian kelod (selatan). Maka sarang itu digunakan senjata yang bermakna mengusir sifat-sifat ripu (musuh) dalam diri dan mengusir bhuta kala.
Bendesa Pakraman Selat, Jro Mangku Wayan Gede Mustika, mengatakan ada banyak musum dalam diri. Salah satunya Sad Ripu (enam musuh dalam diri) yakni kama, lobha, krodha, moha, mada, dan matsarya. “Selama berperang mesti sungguh-sungguh, agar mampu menetralisir musuh-musuh dalam diri dan mengusir unsur bhuta kala. Sehingga usai berperang, pikiran jadi bersih tanpa emosi,” jelas Jro Mangku Wayan Gede Mustika. * k16
Komentar