Kejagung Usut 'Mafia' Tanah Kubutambahan
Tanah Druwen Pura Telanjur Disewakan Tanpa Batas Waktu
Perbekel sudah diklarifikasi Kejaksaan Agung kemarin, sementara Bendesa Adat Kubutambahan menyusul
SINGARAJA, NusaBali
Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut laporan terkait dugaan mafia tanah di Desa/Kecamatan Kubutambahan, Buleleng. Kejagung pun mulai memeriksa sejumlah orang untuk dimintai klarifikasi perihal laporan yang dilayangkan oleh Komite Penyelamat Aset Desa Adat (Kompada) Kubutambahan tersebut.
Kasi Intel Kejari Buleleng, Anak Agung Ngurah Jayalantara, mengatakan pemeriksaan sejumlah orang terkait masalah tanah duwen Pura Desa Adat Kubutambahan ini dilakukan pihak Kejagung di Kantor Kejari Buleleng, Jalan Dewi Sartika Selatan Singaraja, Rabu (9/2). Namun, Jayalantara tidak bisa menyampaikan lebih jauh terkait pemeriksaan tersebut.
Menurut Jayalantara, laporan dugaan mafia tanah druwen Pura Desa Adat Kubutambahan ini ditangani langsung Jaksa Agung Muda (JAM) Bidang Intelijen Kejagung. "Terkait substansi pemeriksaannya, saya tidak bisa sampaikan, karena ranah penanganannya ada di Kejagung. Pihak Kejagung hanya meminjam tempat pemeriksaan di Kantor Kejari Buleleng," kata Jayalantara.
Yang jelas, sejumlah orang yang diperiksa Kejagung terkait kasus ini, termasuk di antaranya Perbekel Kubutambahan, Gede Pariadnyana. Ketua Kompada Kubutambahan, Ketut Ngurah Mahkota, selaku pihak yang melaporkan kasus dugaan mafia tanah ini juga ikut diperiksa.
Seusai pemeriksaan kemarin, Ngurah Mahkota mengatakan pihaknya menyampaikan kepada Kejagung terkait perpanjangan sewa tanah druwen Pura Desa Adat Kubutambahan seluas 370 hektare yang terjadi tahun 2012 kepada pihak PT Pinang Propertindo. Dalam perjanjian sewa itu, kata Ngurah Mahkora, ada klausul ‘perpanjangan waktu selama 30 tahun, 60 tahun, 90 tahun, dan sampai waktu yang tidak terbatas’.
Menurut Ngurah Mahkota, perjanjian itulah yang membuat pihaknya keberatan. Apalagi, keputusan tersebut tidak melalui paruman dan tanpa atas persetujuan masyarakat. Ngurah Mahkota menyebutkan, Bendesa Adat Kubutambahan, Jero Pasek Ketut Warkadea, diduga menggunakan tandatangan dari daftar hadir paruman yang diselenggarakan beberapa waktu sebelumnya.
"Kami tidak pernah menandatangani persetujuan perpanjangan sewa lahan itu. Kami menduga tandatangan yang digunakan oleh Jero Pasek Warkadea itu adalah tandatangan dari daftar hadir paruman yang biasa dilakukan tiap bulan. Sebab, ada satu daftar hadir dalam paruman bulan Juni yang hilang," papar Ngurah Mahkota.
Ngurah Mahkota mengatakan, sejak tanah druwen Pura Desa Adat Kubutambahan seluas 370 hektare disewakan, pihak penyewa yakni PT Pinang Propertindo sama sekali tidak melakukan pembangunan di atas lahan tersebut. Karena itu, Ngurah Mahkota menilai PT Pinang Propertindo hanya membutuhkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), yang kemudian sertifikatnya dijaminkan ke bank senilai Rp 1,2 triliun.
"Menurut kami, ini mengerikan sekali. Kami ingin agar perjanjian sewa itu dibatalkan. Pada perjanjian 2001 itu sebenarnya sah. Lahan disewakan hingga tahun 2031, ditandatangani oleh notaris. Tapi, pada tahun 2012 sewa kembali diperpanjang hingga batas waktu yang tidak ditentukan," sesal Ngurah Mahkota.
Ngurah Mahkota menambahkan, dalam klausul juga disebutkan bahwa investor harus membayar royalti 5 tahun sejak tandatangan kontrak. Apabila terlambat, dikenakan bunga 3 persen per bulan. "Sementara sejak 2006, royalti tidak dibayar. Jadi, ini kami anggap wanprestasi. Perjanjian batal demi hukum," katanya.
Sementara itu, Bendesa Adat Kubutambahan, Jero Pasek Warkadea, mengaku dirinya juga menerima panggilan dari Kejagung untuk diklarifikasi. Menurut Jero Pasek Warkadea, klarifikasi tersebut terkait dengan adanya laporan rencana pembangunan Bandara Internasional Bali Utara di Kubutambahan yang gagal karena ditengarai ada mafia tanah.
Versi Jero Pasek Warkadea, gagalnya pembangunan bandara di Desa Kubutambahan terjadi bukan karena adanya mafia tanah. Tapi, itu karena belum adanya titik temu dari mediasi yang dilakukan pemerintah dengan pihak PT Pinang Propertindo.
Dengan adanya rencana pembangunan bandara, kata Jero Pasek Warkadea, pihaknya tidak ingin tanah duwen pura berubah status menjadi milik pemerintah. Maka, disepakati skema kerjasama pemerintah dengan badan usaha. Dengan skema ini, desa adat bisa mendapatkan royalti berupa CSR dan lain sebagainya.
Jero Pasek Warkadea menyebutkan, pihaknya telah melaksanakan paruman desa yang dihadiri oleh Tim Ahli Gubernur Bali dan Wakil Bupati Buleleng, beberapa waktu lalu. “Dalam paruman itu, kami sepakat untuk menyerahkan pemanfaatan lahan agar digunakan sebagai lokasi pembangunan bandara,” kenangnya.
Selain itu, kata Jero Pasek Warkadea, pihaknya juga menyerahkan kuasa kepada Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng untuk memediasi pihak PT Pinang Propertindo, mengingat tanah druwen pura tersebut sudah telanjur disewakan. Bila terjadi gugatan, maka Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng harus memfasilitasi dan memberikan dukungan kepada Desa Adat Kubutambahan.
"Setelah ada kesepakatan dengan pemerintah, kami menyerahkan sertifikat asli tanah duwen pura di Jaya Sabha (Rumah Jabatan Gubernur Bali di Denpasar, Red), dilakukan penandatanganan di hadapan notaris. Isinya terkait memberikan tanah duwen pura untuk dimanfaatkan sebagai lokasi pembangunan bandara. Namun, proses penyerahan pemanfaatan lahan macet. Sampai saat ini pemerintah tidak pernah melakukan mediasi dengan PT Pinang Propertindo," papar Jero Pasek Warkadea.
Jero Pasek Warkadea menambahkan, rencana pembangunan bandara kemudian dinyatakan masuk sebagai Program Strategis Nasional (PSN). Dalam PSN itu, ada dua opsi yang diberikan. Opsi pertama, lahan Druwen Pura Desa Adat Kubutambahan akan diganti dengan uang senilai Rp 50 miliar. Opsi kedua, lahan druwen pura ditukar guling dengan tanah yang lain.
Dengan dua opsi tersebut, kata Jero Pasek Warkadea, lahan druwen pura akan berubah status menjadi tanah negara. "Kami menolak karena statusnya dilepas jadi tanah negara. Kami berpendapat bahwa mengubah status tanah druwen pura itu sebagai kutukan. Kami harus mempertanggungjawabkan tanah druwen pura,” kilahnya.
“Kalau berubah status, nilai sejarah akan hilang. Daripada hilang, lebih baik tidak ada bandara. Intinya, pembangunan bandara di Desa Kubutambahan terancam batal karena perubahan status tanah dari druwen pura menjadi tanah negara. Kalau diklaim ada mafia tanah, harus dilihat dulu apa itu mafia tanah?" *mz
Kasi Intel Kejari Buleleng, Anak Agung Ngurah Jayalantara, mengatakan pemeriksaan sejumlah orang terkait masalah tanah duwen Pura Desa Adat Kubutambahan ini dilakukan pihak Kejagung di Kantor Kejari Buleleng, Jalan Dewi Sartika Selatan Singaraja, Rabu (9/2). Namun, Jayalantara tidak bisa menyampaikan lebih jauh terkait pemeriksaan tersebut.
Menurut Jayalantara, laporan dugaan mafia tanah druwen Pura Desa Adat Kubutambahan ini ditangani langsung Jaksa Agung Muda (JAM) Bidang Intelijen Kejagung. "Terkait substansi pemeriksaannya, saya tidak bisa sampaikan, karena ranah penanganannya ada di Kejagung. Pihak Kejagung hanya meminjam tempat pemeriksaan di Kantor Kejari Buleleng," kata Jayalantara.
Yang jelas, sejumlah orang yang diperiksa Kejagung terkait kasus ini, termasuk di antaranya Perbekel Kubutambahan, Gede Pariadnyana. Ketua Kompada Kubutambahan, Ketut Ngurah Mahkota, selaku pihak yang melaporkan kasus dugaan mafia tanah ini juga ikut diperiksa.
Seusai pemeriksaan kemarin, Ngurah Mahkota mengatakan pihaknya menyampaikan kepada Kejagung terkait perpanjangan sewa tanah druwen Pura Desa Adat Kubutambahan seluas 370 hektare yang terjadi tahun 2012 kepada pihak PT Pinang Propertindo. Dalam perjanjian sewa itu, kata Ngurah Mahkora, ada klausul ‘perpanjangan waktu selama 30 tahun, 60 tahun, 90 tahun, dan sampai waktu yang tidak terbatas’.
Menurut Ngurah Mahkota, perjanjian itulah yang membuat pihaknya keberatan. Apalagi, keputusan tersebut tidak melalui paruman dan tanpa atas persetujuan masyarakat. Ngurah Mahkota menyebutkan, Bendesa Adat Kubutambahan, Jero Pasek Ketut Warkadea, diduga menggunakan tandatangan dari daftar hadir paruman yang diselenggarakan beberapa waktu sebelumnya.
"Kami tidak pernah menandatangani persetujuan perpanjangan sewa lahan itu. Kami menduga tandatangan yang digunakan oleh Jero Pasek Warkadea itu adalah tandatangan dari daftar hadir paruman yang biasa dilakukan tiap bulan. Sebab, ada satu daftar hadir dalam paruman bulan Juni yang hilang," papar Ngurah Mahkota.
Ngurah Mahkota mengatakan, sejak tanah druwen Pura Desa Adat Kubutambahan seluas 370 hektare disewakan, pihak penyewa yakni PT Pinang Propertindo sama sekali tidak melakukan pembangunan di atas lahan tersebut. Karena itu, Ngurah Mahkota menilai PT Pinang Propertindo hanya membutuhkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), yang kemudian sertifikatnya dijaminkan ke bank senilai Rp 1,2 triliun.
"Menurut kami, ini mengerikan sekali. Kami ingin agar perjanjian sewa itu dibatalkan. Pada perjanjian 2001 itu sebenarnya sah. Lahan disewakan hingga tahun 2031, ditandatangani oleh notaris. Tapi, pada tahun 2012 sewa kembali diperpanjang hingga batas waktu yang tidak ditentukan," sesal Ngurah Mahkota.
Ngurah Mahkota menambahkan, dalam klausul juga disebutkan bahwa investor harus membayar royalti 5 tahun sejak tandatangan kontrak. Apabila terlambat, dikenakan bunga 3 persen per bulan. "Sementara sejak 2006, royalti tidak dibayar. Jadi, ini kami anggap wanprestasi. Perjanjian batal demi hukum," katanya.
Sementara itu, Bendesa Adat Kubutambahan, Jero Pasek Warkadea, mengaku dirinya juga menerima panggilan dari Kejagung untuk diklarifikasi. Menurut Jero Pasek Warkadea, klarifikasi tersebut terkait dengan adanya laporan rencana pembangunan Bandara Internasional Bali Utara di Kubutambahan yang gagal karena ditengarai ada mafia tanah.
Versi Jero Pasek Warkadea, gagalnya pembangunan bandara di Desa Kubutambahan terjadi bukan karena adanya mafia tanah. Tapi, itu karena belum adanya titik temu dari mediasi yang dilakukan pemerintah dengan pihak PT Pinang Propertindo.
Dengan adanya rencana pembangunan bandara, kata Jero Pasek Warkadea, pihaknya tidak ingin tanah duwen pura berubah status menjadi milik pemerintah. Maka, disepakati skema kerjasama pemerintah dengan badan usaha. Dengan skema ini, desa adat bisa mendapatkan royalti berupa CSR dan lain sebagainya.
Jero Pasek Warkadea menyebutkan, pihaknya telah melaksanakan paruman desa yang dihadiri oleh Tim Ahli Gubernur Bali dan Wakil Bupati Buleleng, beberapa waktu lalu. “Dalam paruman itu, kami sepakat untuk menyerahkan pemanfaatan lahan agar digunakan sebagai lokasi pembangunan bandara,” kenangnya.
Selain itu, kata Jero Pasek Warkadea, pihaknya juga menyerahkan kuasa kepada Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng untuk memediasi pihak PT Pinang Propertindo, mengingat tanah druwen pura tersebut sudah telanjur disewakan. Bila terjadi gugatan, maka Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng harus memfasilitasi dan memberikan dukungan kepada Desa Adat Kubutambahan.
"Setelah ada kesepakatan dengan pemerintah, kami menyerahkan sertifikat asli tanah duwen pura di Jaya Sabha (Rumah Jabatan Gubernur Bali di Denpasar, Red), dilakukan penandatanganan di hadapan notaris. Isinya terkait memberikan tanah duwen pura untuk dimanfaatkan sebagai lokasi pembangunan bandara. Namun, proses penyerahan pemanfaatan lahan macet. Sampai saat ini pemerintah tidak pernah melakukan mediasi dengan PT Pinang Propertindo," papar Jero Pasek Warkadea.
Jero Pasek Warkadea menambahkan, rencana pembangunan bandara kemudian dinyatakan masuk sebagai Program Strategis Nasional (PSN). Dalam PSN itu, ada dua opsi yang diberikan. Opsi pertama, lahan Druwen Pura Desa Adat Kubutambahan akan diganti dengan uang senilai Rp 50 miliar. Opsi kedua, lahan druwen pura ditukar guling dengan tanah yang lain.
Dengan dua opsi tersebut, kata Jero Pasek Warkadea, lahan druwen pura akan berubah status menjadi tanah negara. "Kami menolak karena statusnya dilepas jadi tanah negara. Kami berpendapat bahwa mengubah status tanah druwen pura itu sebagai kutukan. Kami harus mempertanggungjawabkan tanah druwen pura,” kilahnya.
“Kalau berubah status, nilai sejarah akan hilang. Daripada hilang, lebih baik tidak ada bandara. Intinya, pembangunan bandara di Desa Kubutambahan terancam batal karena perubahan status tanah dari druwen pura menjadi tanah negara. Kalau diklaim ada mafia tanah, harus dilihat dulu apa itu mafia tanah?" *mz
Komentar