Buruh Surati Jokowi
Desak Presiden batalkan aturan JHT yang klaimnya baru bisa cair usia 56 tahun
JAKARTA, NusaBali
Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Dalam surat tersebut ASPEK meminta pembatalan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
ASPEK meminta Jokowi menginstruksikan kepada Ida agar mencabut dan membatalkan Permenaker tersebut. Selanjutnya, ASPEK meminta untuk memberlakukan Permenaker Nomor 19 tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) dapat dicairkan untuk pekerja yang berhenti bekerja, baik karena mengundurkan diri maupun karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Manfaat itu dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu satu bulan terhitung sejak tanggal pengunduran diri atau tanggal PHK.
Dewan Pimpinan Pusat ASPEK Mirah Sumirat mendasarkan tuntutan tersebut pada tujuh pertimbangan. Pertama, Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 sesungguhnya telah sesuai dengan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, sehingga tidak perlu dilakukan perubahan.
Kedua, dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, setiap pekerja yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri maupun karena terkena PHK, memiliki hak untuk memilih apakah akan mencairkan manfaat JHT pada saat berhenti bekerja, atau pada saat memasuki usia pensiun.
Ketiga, Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 tidak bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004, dengan pertimbangan pasal 1 ayat 8; Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
Kemudian, pasal 1 ayat 9; manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota keluarganya. Lalu, pasal 1 ayat 10; iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.
Keempat, dari uraian Pasal 1 ayat 8, 9 dan 10 UU Nomor 40 Tahun 2004 tersebut, tegas dinyatakan yang dimaksud dengan 'Peserta' adalah setiap orang yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia yang telah membayar iuran.
"Artinya, pekerja yang mengundurkan diri dan PHK tidak lagi masuk dalam kategori 'Peserta', karena ia sudah tidak bekerja dan berhenti membayar iuran. Sehingga seharusnya pekerja dimaksud tetap diberikan hak untuk memilih kapan akan mengambil manfaat JHT," sambung Mirah melalui keterangan resmi yang dilansir CNNIndonesia.com, Senin (14/2).
Kelima, komposisi iuran JHT BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan oleh pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulan sebesar 2% dari upah dan 3,7 persen dari upah sebulan dibayar oleh pemberi kerja atau perusahaan. Artinya, dalam dana JHT dimaksud, tidak ada keikutsertaan dana dari pemerintah. Sehingga tidak ada alasan untuk 'menahan' dana JHT dimaksud.
Keenam, kondisi faktual saat ini banyak korban PHK dengan yang membutuhkan dana JHT miliknya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau memulai usaha setelah berhenti bekerja.
Ketujuh, perubahan persyaratan klaim JHT yang hanya bisa dicairkan saat usia 56 tahun, sangat mencederai rasa keadilan bagi pekerja yang menginginkan untuk mencairkan JHT setelah mengundurkan diri atau setelah PHK.
"Berdasarkan pertimbangan tersebut, ASPEK Indonesia menilai tidak ada alasan yang mendasar untuk menunda pembayaran JHT sampai usia 56 tahun, bagi pekerja yang mengundurkan diri maupun PHK," tandas Mirah. *
ASPEK meminta Jokowi menginstruksikan kepada Ida agar mencabut dan membatalkan Permenaker tersebut. Selanjutnya, ASPEK meminta untuk memberlakukan Permenaker Nomor 19 tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) dapat dicairkan untuk pekerja yang berhenti bekerja, baik karena mengundurkan diri maupun karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Manfaat itu dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu satu bulan terhitung sejak tanggal pengunduran diri atau tanggal PHK.
Dewan Pimpinan Pusat ASPEK Mirah Sumirat mendasarkan tuntutan tersebut pada tujuh pertimbangan. Pertama, Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 sesungguhnya telah sesuai dengan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, sehingga tidak perlu dilakukan perubahan.
Kedua, dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, setiap pekerja yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri maupun karena terkena PHK, memiliki hak untuk memilih apakah akan mencairkan manfaat JHT pada saat berhenti bekerja, atau pada saat memasuki usia pensiun.
Ketiga, Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 tidak bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004, dengan pertimbangan pasal 1 ayat 8; Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
Kemudian, pasal 1 ayat 9; manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota keluarganya. Lalu, pasal 1 ayat 10; iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.
Keempat, dari uraian Pasal 1 ayat 8, 9 dan 10 UU Nomor 40 Tahun 2004 tersebut, tegas dinyatakan yang dimaksud dengan 'Peserta' adalah setiap orang yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia yang telah membayar iuran.
"Artinya, pekerja yang mengundurkan diri dan PHK tidak lagi masuk dalam kategori 'Peserta', karena ia sudah tidak bekerja dan berhenti membayar iuran. Sehingga seharusnya pekerja dimaksud tetap diberikan hak untuk memilih kapan akan mengambil manfaat JHT," sambung Mirah melalui keterangan resmi yang dilansir CNNIndonesia.com, Senin (14/2).
Kelima, komposisi iuran JHT BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan oleh pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulan sebesar 2% dari upah dan 3,7 persen dari upah sebulan dibayar oleh pemberi kerja atau perusahaan. Artinya, dalam dana JHT dimaksud, tidak ada keikutsertaan dana dari pemerintah. Sehingga tidak ada alasan untuk 'menahan' dana JHT dimaksud.
Keenam, kondisi faktual saat ini banyak korban PHK dengan yang membutuhkan dana JHT miliknya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau memulai usaha setelah berhenti bekerja.
Ketujuh, perubahan persyaratan klaim JHT yang hanya bisa dicairkan saat usia 56 tahun, sangat mencederai rasa keadilan bagi pekerja yang menginginkan untuk mencairkan JHT setelah mengundurkan diri atau setelah PHK.
"Berdasarkan pertimbangan tersebut, ASPEK Indonesia menilai tidak ada alasan yang mendasar untuk menunda pembayaran JHT sampai usia 56 tahun, bagi pekerja yang mengundurkan diri maupun PHK," tandas Mirah. *
Komentar