Pariwisata Bali Perlu Rebranding
Untuk menguatkan eksistensi di tengah munculnya DTW-DTW ‘rasa’ Bali
DENPASAR,NusaBali
Ketua Forum Komunikasi Desa Wisata (Forkom Dewi) Bali I Made Mendra Astawa mengatakan pariwisata Bali perlu di branding ulang atau rebranding. Tujuannya untuk kembali menguatkan eksistensi Bali sebagai daerah wisata budaya sebagai tujuan utama wisata.
Hal itu untuk mengantisipasi ‘kepungan’ dari 10 ‘Bali Baru’ yang dicanangkan pemerintah untuk meningkatkan kunjungan wisman ke Indonesia. Selain itu yang tak kalah serius adalah kemunculan DTW adaptasi baru dengan nuansa dan rasa Bali di daerah lain.
“Karena itulah pariwisata Bali perlu di-rebranding,” ujar Mendra Astawa, Rabu (16/2). Mendra menunjuk beberapa DTW baru di luar Bali yang disebutkan dengan suasana dan nuansa mirip Bali. Diantaranya Kampung Sabin, Dukunpuntang Cirebon (Jabar). Masih di Jabar adalah DTW Karang Potong di Cianjur dengan sunset yang indah dan yang lainnya.
Menurut Mendra, ‘Bali Baru’ diantaranya Labuan Bajo dan Pulau Komodo, (NTT), Danau Toba Global Geopark,Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), Kepulauan Seribu (DKI), Candi Borobudur (Jateng) , Bromo Tengger Semeru, hingga Mandalika, jelas menjadi ‘pesaing’ Bali ke depan. “Termasuk DTW-DTW yang mengadaptasi suasana dan rasa Bali,” ujar Mendra.
Karena itulah kata dia, harus ada penguatan pencitraan Bali sebagai daerah tujuan utama wisata. Artinya orang baru merasa berwisata kalau sudah berkunjung ke Bali.
“Apalagi nanti dalam waktu dekat ini ada libur Lebaran, berlanjut musim kunjungan wisatawan pada Juni , Juli hingga Agustus dan September,” ujar Mendra.
“Jangan sampai moment untuk mendapatkan wisatawan khususnya wisatawan domestik ‘berlalu’. Gara-gara kita tidak ngeh,” imbuhnya.
Terpisah Ketua Pusat Kajian Unggulan Pariwisata Unud Anak Agung Suryawan Wiranatha menyatakan problem pariwisata Bali bukan pada kehadiran ‘ Bali Baru’ atau DTW yang diciptakan dengan model Bali. “Problem pariwisata Bali adalah keseimbangan. Keseimbangan antara suplai dan demand,” ujar akademisi asal Desa Sesetan Denpasar Selatan.
Berdasarkan kajian, Bali sudah over suplai 50 ribu kamar hotel dari yang ada sekarang sekitar 140 ribu kamar lebih. Demikian juga fasilitas pariwisata lainnya. Akibatnya terjadi persaingan tidak sehat, saling banting harga, menyebabkan usaha mati sendiri. Akibat persaingan ini juga kata Gung Suryawan Wiranatha, sulit untuk mewujudkan pariwisata berkualitas.
“Bisa bisa mati sendiri karena terjadi saling banting harga,” ujarnya.
Karena itu kunci dari perbaikan pariwisata Bali adalah moratorium, baik hotel dan fasilitas pariwisata lainnya. Dengan kata lain menjaga keseimbangan antara suplai dan demand.
Apabila antara suplai dan demand sudah seimbang, faktor di luar diyakini Gung Suryawan Wiranatha tidak akan berpengaruh. “Mau dibuat berapa ‘Bali Baru’ , saya kira tidak akan banyak dampak,” ujar Gung Wiranatha. Malah lanjut Gung Suryawan Wiranatha ; kita bangga Bali bisa menjadi acuan sebagai leader.
Masalah moratorium ini sudah disampaikan kepada Pemerintah 10-15 tahun lalu. Namun saran tersebut tidak terlaksana. Alasannya karena kewenangan ada di kabupaten/kota. Pemprov hanya bisa memberi saran atau imbauan. Jika imbauan itu tidak dilaksanakan atau tidak diikuti kabupaten/kota, juga tidak ada sanksinya.
Di pihak lain Gung Suryawan Wiranatha mengiyakan mungkin ada Perda – perda yang mengatur. Namun implementasi dan kesungguhan pengawasannnya juga jadi tanda tanya. Karena kenyataannya fasilitas pariwisata Bali sampai over suplai. “Kita sepertinya tidak mau dalam satu kesatuan pariwisata,” ujar Gung Suryawan Wiranatha.
Karena itulah tegas Gung Suryawan Wiranatha, kunci persoalan pariwisata Bali saat ini adalah moratorium. Moratorium memungkinan mewujudkan pariwisata Bali berkualitas. Karena target 20 ribu wisatawan tidak akan menjadi beban sendiri bagi Bali,dengan berbagai implikasinya apakah kemacetan, maupun persoalan -persoalan lainnya. “Bukan ‘ Bali Baru’ yang jadi problem bagi pariwisata Bali, tetapi adalah keseimbangan suplai dan demand,” ujarnya. *k17
Hal itu untuk mengantisipasi ‘kepungan’ dari 10 ‘Bali Baru’ yang dicanangkan pemerintah untuk meningkatkan kunjungan wisman ke Indonesia. Selain itu yang tak kalah serius adalah kemunculan DTW adaptasi baru dengan nuansa dan rasa Bali di daerah lain.
“Karena itulah pariwisata Bali perlu di-rebranding,” ujar Mendra Astawa, Rabu (16/2). Mendra menunjuk beberapa DTW baru di luar Bali yang disebutkan dengan suasana dan nuansa mirip Bali. Diantaranya Kampung Sabin, Dukunpuntang Cirebon (Jabar). Masih di Jabar adalah DTW Karang Potong di Cianjur dengan sunset yang indah dan yang lainnya.
Menurut Mendra, ‘Bali Baru’ diantaranya Labuan Bajo dan Pulau Komodo, (NTT), Danau Toba Global Geopark,Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), Kepulauan Seribu (DKI), Candi Borobudur (Jateng) , Bromo Tengger Semeru, hingga Mandalika, jelas menjadi ‘pesaing’ Bali ke depan. “Termasuk DTW-DTW yang mengadaptasi suasana dan rasa Bali,” ujar Mendra.
Karena itulah kata dia, harus ada penguatan pencitraan Bali sebagai daerah tujuan utama wisata. Artinya orang baru merasa berwisata kalau sudah berkunjung ke Bali.
“Apalagi nanti dalam waktu dekat ini ada libur Lebaran, berlanjut musim kunjungan wisatawan pada Juni , Juli hingga Agustus dan September,” ujar Mendra.
“Jangan sampai moment untuk mendapatkan wisatawan khususnya wisatawan domestik ‘berlalu’. Gara-gara kita tidak ngeh,” imbuhnya.
Terpisah Ketua Pusat Kajian Unggulan Pariwisata Unud Anak Agung Suryawan Wiranatha menyatakan problem pariwisata Bali bukan pada kehadiran ‘ Bali Baru’ atau DTW yang diciptakan dengan model Bali. “Problem pariwisata Bali adalah keseimbangan. Keseimbangan antara suplai dan demand,” ujar akademisi asal Desa Sesetan Denpasar Selatan.
Berdasarkan kajian, Bali sudah over suplai 50 ribu kamar hotel dari yang ada sekarang sekitar 140 ribu kamar lebih. Demikian juga fasilitas pariwisata lainnya. Akibatnya terjadi persaingan tidak sehat, saling banting harga, menyebabkan usaha mati sendiri. Akibat persaingan ini juga kata Gung Suryawan Wiranatha, sulit untuk mewujudkan pariwisata berkualitas.
“Bisa bisa mati sendiri karena terjadi saling banting harga,” ujarnya.
Karena itu kunci dari perbaikan pariwisata Bali adalah moratorium, baik hotel dan fasilitas pariwisata lainnya. Dengan kata lain menjaga keseimbangan antara suplai dan demand.
Apabila antara suplai dan demand sudah seimbang, faktor di luar diyakini Gung Suryawan Wiranatha tidak akan berpengaruh. “Mau dibuat berapa ‘Bali Baru’ , saya kira tidak akan banyak dampak,” ujar Gung Wiranatha. Malah lanjut Gung Suryawan Wiranatha ; kita bangga Bali bisa menjadi acuan sebagai leader.
Masalah moratorium ini sudah disampaikan kepada Pemerintah 10-15 tahun lalu. Namun saran tersebut tidak terlaksana. Alasannya karena kewenangan ada di kabupaten/kota. Pemprov hanya bisa memberi saran atau imbauan. Jika imbauan itu tidak dilaksanakan atau tidak diikuti kabupaten/kota, juga tidak ada sanksinya.
Di pihak lain Gung Suryawan Wiranatha mengiyakan mungkin ada Perda – perda yang mengatur. Namun implementasi dan kesungguhan pengawasannnya juga jadi tanda tanya. Karena kenyataannya fasilitas pariwisata Bali sampai over suplai. “Kita sepertinya tidak mau dalam satu kesatuan pariwisata,” ujar Gung Suryawan Wiranatha.
Karena itulah tegas Gung Suryawan Wiranatha, kunci persoalan pariwisata Bali saat ini adalah moratorium. Moratorium memungkinan mewujudkan pariwisata Bali berkualitas. Karena target 20 ribu wisatawan tidak akan menjadi beban sendiri bagi Bali,dengan berbagai implikasinya apakah kemacetan, maupun persoalan -persoalan lainnya. “Bukan ‘ Bali Baru’ yang jadi problem bagi pariwisata Bali, tetapi adalah keseimbangan suplai dan demand,” ujarnya. *k17
Komentar