Sudirta: Putusan yang Diapresiasi, Namun Tak Mudah Dimengerti
Dari Webinar Putusan MK Soal UU Cipta
JAKARTA,NusaBali
Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait UU Cipta Kerja membuka babak baru dan pekerjaan rumah bagi DPR dan pemerintah, karena harus memperbaiki pembentukan UU Cipta Kerja.
Bagaimana memperbaiki pembentukan Undang-undang yang sudah jadi, sementara UU Cipta Kerja masih berlaku? Hal itu menjadi pembahasan alot dalam Webinar Diskusi Hukum ‘Putusan MK Nomor 91 PUU-XVIII/2020 dan Masa Depan UU Cipta Kerja’ yang digelar Program Doktor Universitas Kristen Indonesia, Sabtu (19/2) siang.
Ketua Himpunan Mahasiswa Program Doktor (HIMA PDH) Universitas Kristen Indonesia, Wayan Sudirta saat membuka Webinar tersebut mengatakan putusan MK diapresiasi, namun tak mudah dimengerti. "Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terhadap UU Cipta Kerja dari sudut positif dapat diapresiasi. Namun putusan MK dari sisi kepastian hukum tidak mudah dimengerti," ujar advokat senior ini.
Sudirta yang juga Anggota Komisi III DPR RI membidangi hukum dan hak asasi manusia ini mengatakan MK membuka lebar pintu partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Partisipasi masyarakat harus dilakukan secara bermakna, meaningfull participation. "Dari sudut pandang ini, masyarakat sebagai pemilik kedaulatan diberikan angin segar untuk berperan aktif dalam law making process," ujar politisi senior PDIP asal Desa Pidpid, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem ini.
Sudirta menyampaikan catatan kritis terhadap putusan MK. Pertama, Sudirta mengatakan putusan MK tidak memberikan kepastian hukum secara mutlak. Kedua putusan tersebut juga dinilai sebagai bentuk intervensi kekuasaan kehakiman terhadap eksekutif. Sudirta mengutip Ron Fuller dalam buku Internal Morality of Law yang menyatakan salah satu parameter kepastian hukum adalah putusan yang mudah dimengerti.
“Putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru masuk dalam kategori putusan yang ambigu dalam konsepsi Fuller," ujar mantan Ketua Panitia Perancang Undang-undang (PPUU) DPD RI 2004-2009 dan 2009-2014 ini.
Dalam sambutan penutupnya, Sudirta berharap dan mendorong agar kegiatan diskusi sering dilakukan, sehingga kedepan tercipta forum mahasiswa program doktor hukum se-Indonesia sebagai wadah sumbangan pemikiran akademisi bagi negara tercinta. “Nilai-nilai Pancasila harus dirumuskan secara sistematis dan holistik sebagai sebuah peraturan perundang-undangan. Hasil dari Webinar ini akan kami bukukan dalam bentuk prosiding yang akan disampaikan kepada Presiden dan DPR RI," ujar Sudirta.
Sementara Kaprodi Program Doktor Hukum (PDH) UKI, John Pieris dalam sambutannya mengatakan bahwa putusan MK cukup mengejutkan banyak pihak dengan diksi yang sedikit susah dimengerti, bahkan oleh pemerhati ilmu hukum sekalipun. "Tapi yang jelas putusan MK memerintahkan perubahan terhadap 2 UU yaitu UU Cipta Kerja sendiri dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebaiknya ajukan judicial review," ujar John Pieris. *nat
1
Komentar