Digelar Usai Pengrupukan Nyepi, Simbolik Meredam Amarah
Tradisi Meamuk-amukan Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Buleleng
Dalam tradisi ritual Meamuk-amukan di Desa Adat Padangbulia tidak mengenal menang dan kalah. Perang prakpak otomatis akan terhenti ketika danyuh yang dipakai saling serang habis dilalap api
SINGARAJA, NusaBali
Krama Desa Adat Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Buleleng kembali menggelar tradisi ritual ‘Meauk-amukan’ saat Pangrupukan Nyepi Tahun Baru Saka tepat Tilem Kasanga pada Buda Paing Wayang, Rabu (2/3). Ritual saling serang menggunakan api ini dilaksanakan tepat ketika sandikala atau pergantian dari sore ke petang, sesaat setelah upacara pangerupukan, sebagai simbolik meredam amarah.
Begitu memasuki sandikala, krama Desa Adat Padangbulia langsung berkumpul di depan rumah masing-masing. Pada saat bersamaan, sejumlah yowana (pemuda) telah siap dengan danyuh (dauh kepala kering) di sepanjang jalan desa.
Tak berselang lama, danyuh yang dibawa pemuda disulut api secara bersamaan. Begitu api berkobar, pemuda saling berhadapan dan langsung saling serang satu lawan satu menggunakan prakpak (danyuh terbakar). Meski saling memukul dengan api, tidak ada satu pun pemuda yang mengalami luka bakar. Seluruh rangkaian tradisi ‘Meamuk-amukan’ ini dilaksanakan dengan penuh sukacita.
Oleh krama Desa Adat Padangbuli, aksi akrobatik dan saling serang menggunakan prakpak ini dikenal dengan tradisi ‘Meamuk-amukan’ atau Mrukpuk. Tradisi ini diwarisi secara truun temurun dan dilaksabakan Desa Adat Padangbulia setahun sekali saat Pangrupukan Nyepi Tahun Baru Saka. Menurut Perbekel Padangbuli, I Gusti Nyoman Suparwata, tradisi ritual Meamuk-amukan ini merupakan simbolik penghapusan amarah dan dendam.
IGN Suparwata menyebutkan, tradisi ritual ‘Meamuk-amukan’ ini dilakukan secara turun-temurun, tidak diketahui secara pasti sejak kapan dimulai oleh leluhurnya. Yang jelas, tradisi ini tetap dilestarikan krama Desa Adat Padangbulia, karena diyakini memiliki makna dan ajaran kehidupan yang bermakna.
“Tradisi ritual Meamuk-amukan ini kami lakukan setiap tahun, setelah nyomia bhutakala melalui pecaruan. Kemudian, krama memadamkan amarah dan dendam dalam diri melalui Meamuk-amukan ini. Tidak ada ritual khusus yang dilakukan sebelum dua pemuda saling mengadu api, tetapi kami memastikan dalam tradisi ini krama tidak memiliki sentimen pribadi,” jelas Suparwata kepada NusaBali.
Suparwata mengatakan, makna pelaksanaan tradisi ritual Meamuk-amukan ini diharapkan dapat menginspirasi krama setempat. Penggunaan sarana api yang membakar danyuh, kata Suparwata, dimaknai sebagai amarah dan dendam dalam diri yang berkobar-kobar. Sifat negatif dalam diri manusia itu pun diharapkan cepat padam, seperti layaknya danyuh yang cepat habis dan memadamkan api. “Amarah dan dendam lama yang tersimpan dalam diri diharapkan seperti api yang membakar danyuh, cepat habis dan hilang,” papar Suparwata.
Dalam tradisi Meamuk-amukan ini, juga tidak mengenal menang dan kalah. Permainan otomatis akan terhenti ketika danyuh yang dipakai saling serang habis dilalap api. Selain itu, danyuh yang dibakar ini juga dipercaya sebagai cerminan simbol Dewa Agni. Krama Desa Adat Padangbulia percaya bahwa dengan melakukan tradisi Meamuk-amukan ini, akan dapat mengusir kekuatan negatif saat perayaan Nyepi Tahun Baru Saka sehari berikutnya.
Sementara itu, Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng mengusulkan tradisi ritual Meamuk-amukan di Desa Adat Padangbulia ini untuk ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional tahun 2022. Tradisi Meamuk-amukan diusulkan jadi WBTB Nasional bersama 4 objek tradisi budaya lainnya dari Kabupaten Buleleng.
Menurut Kepala Bidang Sejarah dan Cagar Budaya Dinas Kebudayaan Buleleng, Gede Angga Prasaja, pengajuan tradisi Meamuk-amukan di Desa Adat Padangbulia sebagai WBTB Nasional tahun 2022 ini sedang berproses. “Berkas pengajuannya sudah kami ajukan ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) melalui Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Kami masih menunggu hasil pengkajian sebelum tahap berikutnya,” papar Gede Angga Prasaja saat dikonfirmasi NusaBali di Singaraja, Jumat (4/3).
Selain tradisi ritual Meamuk-amukan di Desa Adat Padangbulia, empat objek tradisi budaya dari Buleleng yang diusulkan menjadi WBTB Nasional tahun 2022, masing-masing atraksi Sampi Gerumbungan Buleleng, Gula Pedawa di Desa Pedawa (Kecamatan Banjar), Mengarak Sokok di Desa Pegayaman (Kecamatan Sukasada), dan Mejaran-jaranan di Desa Adat Banyuning (Kelurahan Banyuning, Kecamatan Buleleng). *k23
1
Komentar