Lingkungan Kumuh dan Asap Rokok Ancam Balita Stunting
Lebih Dekat dengan Balita Stunting, Pengaruh Lingkungan dan Kebijakan Pemerintah di Buleleng
Kasus stunting yang muncul di masyarakat, beberapa terlambat terdeteksi karena tidak pernah hadir di posyandu, untuk puskesmas pembantu wajib memantau kesehatan masyarakat.
SINGARAJA, NusaBali
Bocah berusia 3,5 tahun itu mengintip di balik jendela. Panggilan ibunya pun diabaikan. Balita itu tampak malu-malu saat bidan desa mengunjungi rumahnya, awal Maret lalu. Anak ketiga dari pasangan produktif GR, 36, dan NR, 36, baru mau menampakkan batang hidungnya ketika dijemput NR, ibunya, ke dalam kamar.
Omang, demikian bocah itu biasa dipanggil. Dari pandangan kasat mata, balita berambut keriting dan berkulit sawo matang mampu bergerak lincah. Meski kepribadiannya sangat pemalu. Tatkala orang baru berkunjung ke rumahnya, Omang selalu malu-malu. Biasanya dia bersembunyi di balik jendela. Sembari berusaha mengintip tamu yang datang. Selang beberapa waktu, dia akan datang mendekati ibunya. Tapi siapa sangka bila Omang ternyata mengalami stunting. Indikasi tinggi tubuh dan berat badan jauh di bawah standar medis. Meski interaksinya terbilang tak ada gangguan.
Di usianya yang sudah menginjak empat tahun, berat badannya baru mencapai 10 kilogram. Sementara tinggi tubuhnya baru 80 centimeter. Mengacu standar World Health Organization (WHO), anak usia 3 tahun idealnya memiliki berat 14 kilogram dengan tinggi badan 82-95 centimeter.
NR baru tahu putrinya mengalami stunting 2 tahun lalu. Saat itu dia baru ikut posyandu di desa. Sebelum pandemi Covid-19, NR lebih banyak beraktivitas di Denpasar. NR bekerja sebagai karyawan di toko roti, sementara suaminya bekerja sebagai terapis spa. Selama merantau, keluarga ini memilih indekos. Demi menghemat pengeluaran. Pasangan suami istri ini juga memilih tetap bekerja.
NR bercerita, dia memutuskan tetap bekerja selama mengandung Omang. Tak disangka Omang terlahir prematur. Saat itu kandungannya baru berusia 8 bulan kalender. Tatkala lahir, berat badan Omang hanya 2,1 kilogram. Orangtuanya sempat gelisah. Khawatir bila Omang akan mengalami masalah tumbuh kembang. Terlebih dokter di rumah sakit bersalin sempat menyebut risiko yang dihadapi bayi-bayi yang terlahir prematur.
Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu. Peringatan dokter seolah angin lalu. Terlebih tak ada gangguan berarti. Omang pun seringkali ikut ke toko roti tempat ibunya bekerja. Sebab tidak ada yang mengasuh Omang jika ditinggalkan di kos-kosan. “Karena sibuk bekerja saya sering ajak ke toko. Di perantauan juga tidak pernah diajak ke Posyandu. Karena tidak tahu di mana dan kapan harus posyandu. Akhirnya timbang badan atau ukur tinggi itu tidak pernah terpantau,” tutur NR.
Pada Maret 2020, NR dan suaminya memilih pulang kampung. Mereka juga memboyong Omang dan anak sulungnya. Saat itu usianya baru 1,5 tahun. Karena tinggal di kampung, akses terhadap layanan kesehatan menjadi makin mudah. NR ingat betul. Tatkala Omang pertama kali ke Posyandu, berat badannya hanya 6,8 kilogram. Kader posyandu mengatakan, Omang berpotensi mengalami keterlambatan tumbuh kembang.
“Saya sempat syok, karena pertama kali ikut posyandu ternyata berat badan anak saya menurut bu bidan ada di garis merah. Tetapi saya tidak putus asa karena diberikan solusi dan bantuan makanan tambahan,” jelas ibu empat anak ini. Usaha untuk menaikkan berat badan anaknya pun memerlukan kerja keras. Awalnya Omang sangat pemilih dalam hal makanan. Dia juga menolak meminum susu sejak bayi. ASI yang idealnya diberikan hingga usia 2 tahun juga terpaksa terhenti. Sebab NR hamil anak keempat.
Namun berkat perjuangan dan dukungan pemerintah melalui bantuan makanan tambahan berat badan omang mulai naik perlahan, meski rata-rata per bulannya hanya 1 ons. Kini di usia 3,5 tahun berat badan Omang sudah mencapai 10 kilogram. Berbeda kasus dengan Omang. Balita lainnya, KI, 4, juga divonis mengalami stunting. Lingkungan tempat tinggal dan kurangnya asupan gizi, memengaruhi tumbuh kembang bocah itu.
KI terlahir dari keluarga broken home di wilayah pinggiran kota. Ayah dan ibunya bercerai di tengah himpitan kesulitan ekonomi. Sejak umur 1 bulan KI sudah ditinggalkan ibunya. Kini dia oleh neneknya yang berumur 65 tahun. Tempat tinggalnya berada di kawasan yang kumuh. Kebersihan lingkungan rumahnya terabaikan.
Kakek KI juga seorang perokok. Meski kakeknya perokok, KI tetap nyaman bermain di dekat pria berusia 68 tahun itu. KI kerap kali mendekati kakeknya, meski sang kakek tengah menyedot asap rokok. Sang kakek juga menghembuskan asap rokok seperti biasa. Kendati cucunya berada di dekapan.
Bocah empat tahun ini, kini memiliki tinggi dan berat badan di bawah standar anak seusianya. KI juga mengalami terlambat bicara. Komunikasi yang dipakai hanya menggunakan bahasa tubuh. Tak jarang KI tantrum saat keinginannya tak dipahami kakek dan neneknya. Kakek dan nenek bocah yang seharusnya sudah masuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ini, mengaku sudah pasrah dengan kondisi cucunya.
“Dapat bantuan susu sama jajan sama bu bidan. Saya sebelumnya tidak tahu cucu saya stunting, karena saya sudah tua tidak tahu apa-apa. Jarang juga ke posyandu karena rumah jauh, tidak ada yang antar juga,” katanya polos.
Omang dan KI merupakan balita penderita stunting di wilayah Buleleng. Keduanya kini dalam masa pendampingan perbaikan gizi. Mereka mendapatkan program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dari Puskesmas. PMT yang diberikan biasanya berupa susu, vitamin, hingga biskuit.
Salah satu bidan desa di Buleleng Luh Ari Wistari, 34, mengatakan kasus stunting yang ditemukan di desa atau kelurahan, biasanya ditetapkan oleh Dinas Kesehatan. Penetapan itu biasanya berasal dari data yang dikirim bidan desa tiap tahun. Dia pun tak memungkiri kasus stunting yang muncul di masyarakat, beberapa terlambat terdeteksi karena tidak pernah hadir di posyandu.
Menurut Wistari, puskesmas pembantu di masing-masing desa, wajib memantau kesehatan masyarakat. Bidan desa juga wajib melakukan kunjungan rumah sebulan sekali. Sekadar mengingatkan warga agar membawa balitanya ke posyandu. Saat melakukan kunjungan rumah, Wistari biasanya menggandeng kader Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dari desa. Kunjungan rumah selain untuk pendataan juga memberikan sosialisasi kepada warga berkaitan PHBS.
“Tetap kami beri pemahaman juga kepada warga untuk tetap menjaga kebersihan lingkungan, sanitasi, termasuk arahan bapak dari balita yang perokok. Hal yang kami tekankan agar mereka tidak merokok di dekat anak apalagi di dalam ruangan tertutup, karena ini juga salah satu penyebab gangguan tumbuh kembang anak,” kata Wistari.
Sementara itu data Dinas Kesehatan Kabupaten Buleleng, kasus stunting per Agustus 2021, sebesar 3,6 persen atau 1.004 orang dari total jumlah balita 28.065 orang. Jumlah tersebut tersebar di sembilan kecamatan di Buleleng.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buleleng, dr Sucipto mengatakan pemerintah sejak tiga tahun terakhir memang gencar menangani stunting. Sucipto mengklaim angka stunting di Buleleng telah turun drastis. Pada 2018, angka stunting mencapai 32 persen dari total balita di Buleleng. “Fokus penanganan stunting sudah dilakukan 3 tahun terakhir. Angkanya juga sudah turun. Tahun 2019 angka sudah turun ke 20 persen, kemudian tahun 2020 turun lagi ke 5,89 persen dan di tahun 2021 kemarin sudah di angka 3,6 persen,” jelas dia.
Mantan Wadir SDM RSUD Buleleng ini mengatakan tahun 2022, Pemkab Buleleng menetapkan 21 desa menjadi lokus penanganan stunting pada balita. Upaya direalisasikan dalam program intervensi spesifik yang langsung ditujukan kepada balita stunting. Seperti pemberian stimulan pemulihan, makanan tambahan, tablet penambah darah.
Sedangkan upaya lain dilakukan dengan intervensi sensitif yang lebih mengacu ke faktor eksternal. Seperti masalah jamban keluarga, ketahanan pangan, pendidikan, hingga lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Upaya intervensi sensitif ini akan diupayakan oleh sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait. “Sejauh ini dari pengalaman tiga tahun terakhir, yang paling berpengaruh dalam penanganan stunting ternyata intervensi sensitifnya sebanyak 70 persen. Sedangkan intervensi spesifik yang kami lakukan di Dinas Kesehatan hanya 30 persen saja,” imbuh Sucipto.
Menurutnya penyebab stunting pada balita dipengaruhi oleh banyak faktor. Mulai dari kurangnya asupan gizi pada masa kehamilan maupun setelah dilahirkan. Kekurangan asupan ASI, sanitasi, air bersih hingga pengaruh polutan asap rokok. “Asap rokok cukup berpengaruh memunculkan kasus stunting pada balita. Makanya kita sangat menganjurkan ibu hamil dan orang tua yang membawa balita menjauhi asap rokok. Karena pengaruhnya luar biasa pada masa kehamilan dan seribu hari pertama kelahiran yang menjadi periode emas pertumbuhan otak balita,” katanya. *k23
Omang, demikian bocah itu biasa dipanggil. Dari pandangan kasat mata, balita berambut keriting dan berkulit sawo matang mampu bergerak lincah. Meski kepribadiannya sangat pemalu. Tatkala orang baru berkunjung ke rumahnya, Omang selalu malu-malu. Biasanya dia bersembunyi di balik jendela. Sembari berusaha mengintip tamu yang datang. Selang beberapa waktu, dia akan datang mendekati ibunya. Tapi siapa sangka bila Omang ternyata mengalami stunting. Indikasi tinggi tubuh dan berat badan jauh di bawah standar medis. Meski interaksinya terbilang tak ada gangguan.
Di usianya yang sudah menginjak empat tahun, berat badannya baru mencapai 10 kilogram. Sementara tinggi tubuhnya baru 80 centimeter. Mengacu standar World Health Organization (WHO), anak usia 3 tahun idealnya memiliki berat 14 kilogram dengan tinggi badan 82-95 centimeter.
NR baru tahu putrinya mengalami stunting 2 tahun lalu. Saat itu dia baru ikut posyandu di desa. Sebelum pandemi Covid-19, NR lebih banyak beraktivitas di Denpasar. NR bekerja sebagai karyawan di toko roti, sementara suaminya bekerja sebagai terapis spa. Selama merantau, keluarga ini memilih indekos. Demi menghemat pengeluaran. Pasangan suami istri ini juga memilih tetap bekerja.
NR bercerita, dia memutuskan tetap bekerja selama mengandung Omang. Tak disangka Omang terlahir prematur. Saat itu kandungannya baru berusia 8 bulan kalender. Tatkala lahir, berat badan Omang hanya 2,1 kilogram. Orangtuanya sempat gelisah. Khawatir bila Omang akan mengalami masalah tumbuh kembang. Terlebih dokter di rumah sakit bersalin sempat menyebut risiko yang dihadapi bayi-bayi yang terlahir prematur.
Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu. Peringatan dokter seolah angin lalu. Terlebih tak ada gangguan berarti. Omang pun seringkali ikut ke toko roti tempat ibunya bekerja. Sebab tidak ada yang mengasuh Omang jika ditinggalkan di kos-kosan. “Karena sibuk bekerja saya sering ajak ke toko. Di perantauan juga tidak pernah diajak ke Posyandu. Karena tidak tahu di mana dan kapan harus posyandu. Akhirnya timbang badan atau ukur tinggi itu tidak pernah terpantau,” tutur NR.
Pada Maret 2020, NR dan suaminya memilih pulang kampung. Mereka juga memboyong Omang dan anak sulungnya. Saat itu usianya baru 1,5 tahun. Karena tinggal di kampung, akses terhadap layanan kesehatan menjadi makin mudah. NR ingat betul. Tatkala Omang pertama kali ke Posyandu, berat badannya hanya 6,8 kilogram. Kader posyandu mengatakan, Omang berpotensi mengalami keterlambatan tumbuh kembang.
“Saya sempat syok, karena pertama kali ikut posyandu ternyata berat badan anak saya menurut bu bidan ada di garis merah. Tetapi saya tidak putus asa karena diberikan solusi dan bantuan makanan tambahan,” jelas ibu empat anak ini. Usaha untuk menaikkan berat badan anaknya pun memerlukan kerja keras. Awalnya Omang sangat pemilih dalam hal makanan. Dia juga menolak meminum susu sejak bayi. ASI yang idealnya diberikan hingga usia 2 tahun juga terpaksa terhenti. Sebab NR hamil anak keempat.
Namun berkat perjuangan dan dukungan pemerintah melalui bantuan makanan tambahan berat badan omang mulai naik perlahan, meski rata-rata per bulannya hanya 1 ons. Kini di usia 3,5 tahun berat badan Omang sudah mencapai 10 kilogram. Berbeda kasus dengan Omang. Balita lainnya, KI, 4, juga divonis mengalami stunting. Lingkungan tempat tinggal dan kurangnya asupan gizi, memengaruhi tumbuh kembang bocah itu.
KI terlahir dari keluarga broken home di wilayah pinggiran kota. Ayah dan ibunya bercerai di tengah himpitan kesulitan ekonomi. Sejak umur 1 bulan KI sudah ditinggalkan ibunya. Kini dia oleh neneknya yang berumur 65 tahun. Tempat tinggalnya berada di kawasan yang kumuh. Kebersihan lingkungan rumahnya terabaikan.
Kakek KI juga seorang perokok. Meski kakeknya perokok, KI tetap nyaman bermain di dekat pria berusia 68 tahun itu. KI kerap kali mendekati kakeknya, meski sang kakek tengah menyedot asap rokok. Sang kakek juga menghembuskan asap rokok seperti biasa. Kendati cucunya berada di dekapan.
Bocah empat tahun ini, kini memiliki tinggi dan berat badan di bawah standar anak seusianya. KI juga mengalami terlambat bicara. Komunikasi yang dipakai hanya menggunakan bahasa tubuh. Tak jarang KI tantrum saat keinginannya tak dipahami kakek dan neneknya. Kakek dan nenek bocah yang seharusnya sudah masuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ini, mengaku sudah pasrah dengan kondisi cucunya.
“Dapat bantuan susu sama jajan sama bu bidan. Saya sebelumnya tidak tahu cucu saya stunting, karena saya sudah tua tidak tahu apa-apa. Jarang juga ke posyandu karena rumah jauh, tidak ada yang antar juga,” katanya polos.
Omang dan KI merupakan balita penderita stunting di wilayah Buleleng. Keduanya kini dalam masa pendampingan perbaikan gizi. Mereka mendapatkan program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dari Puskesmas. PMT yang diberikan biasanya berupa susu, vitamin, hingga biskuit.
Salah satu bidan desa di Buleleng Luh Ari Wistari, 34, mengatakan kasus stunting yang ditemukan di desa atau kelurahan, biasanya ditetapkan oleh Dinas Kesehatan. Penetapan itu biasanya berasal dari data yang dikirim bidan desa tiap tahun. Dia pun tak memungkiri kasus stunting yang muncul di masyarakat, beberapa terlambat terdeteksi karena tidak pernah hadir di posyandu.
Menurut Wistari, puskesmas pembantu di masing-masing desa, wajib memantau kesehatan masyarakat. Bidan desa juga wajib melakukan kunjungan rumah sebulan sekali. Sekadar mengingatkan warga agar membawa balitanya ke posyandu. Saat melakukan kunjungan rumah, Wistari biasanya menggandeng kader Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dari desa. Kunjungan rumah selain untuk pendataan juga memberikan sosialisasi kepada warga berkaitan PHBS.
“Tetap kami beri pemahaman juga kepada warga untuk tetap menjaga kebersihan lingkungan, sanitasi, termasuk arahan bapak dari balita yang perokok. Hal yang kami tekankan agar mereka tidak merokok di dekat anak apalagi di dalam ruangan tertutup, karena ini juga salah satu penyebab gangguan tumbuh kembang anak,” kata Wistari.
Sementara itu data Dinas Kesehatan Kabupaten Buleleng, kasus stunting per Agustus 2021, sebesar 3,6 persen atau 1.004 orang dari total jumlah balita 28.065 orang. Jumlah tersebut tersebar di sembilan kecamatan di Buleleng.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buleleng, dr Sucipto mengatakan pemerintah sejak tiga tahun terakhir memang gencar menangani stunting. Sucipto mengklaim angka stunting di Buleleng telah turun drastis. Pada 2018, angka stunting mencapai 32 persen dari total balita di Buleleng. “Fokus penanganan stunting sudah dilakukan 3 tahun terakhir. Angkanya juga sudah turun. Tahun 2019 angka sudah turun ke 20 persen, kemudian tahun 2020 turun lagi ke 5,89 persen dan di tahun 2021 kemarin sudah di angka 3,6 persen,” jelas dia.
Mantan Wadir SDM RSUD Buleleng ini mengatakan tahun 2022, Pemkab Buleleng menetapkan 21 desa menjadi lokus penanganan stunting pada balita. Upaya direalisasikan dalam program intervensi spesifik yang langsung ditujukan kepada balita stunting. Seperti pemberian stimulan pemulihan, makanan tambahan, tablet penambah darah.
Sedangkan upaya lain dilakukan dengan intervensi sensitif yang lebih mengacu ke faktor eksternal. Seperti masalah jamban keluarga, ketahanan pangan, pendidikan, hingga lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Upaya intervensi sensitif ini akan diupayakan oleh sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait. “Sejauh ini dari pengalaman tiga tahun terakhir, yang paling berpengaruh dalam penanganan stunting ternyata intervensi sensitifnya sebanyak 70 persen. Sedangkan intervensi spesifik yang kami lakukan di Dinas Kesehatan hanya 30 persen saja,” imbuh Sucipto.
Menurutnya penyebab stunting pada balita dipengaruhi oleh banyak faktor. Mulai dari kurangnya asupan gizi pada masa kehamilan maupun setelah dilahirkan. Kekurangan asupan ASI, sanitasi, air bersih hingga pengaruh polutan asap rokok. “Asap rokok cukup berpengaruh memunculkan kasus stunting pada balita. Makanya kita sangat menganjurkan ibu hamil dan orang tua yang membawa balita menjauhi asap rokok. Karena pengaruhnya luar biasa pada masa kehamilan dan seribu hari pertama kelahiran yang menjadi periode emas pertumbuhan otak balita,” katanya. *k23
Komentar