Perajin Garam di Banjar Amed Terdesak Pembangunan Hotel
Para petani garam tradisional di Banjar Amed, Desa Purwekerti, Kecamatan Abang, Karangasem, kian kesulitan lahan.
AMLAPURA, NusaBali
Sebab lahan untuk membuat garam belakangan mulai berkurang, terdesak oleh pembangunan vila atau hotel. Akibatnya, garam tradisional semakin langka, apalagi belakangan didera cuaca ekstrem sehingga petani kesulitan berproduksi.
Pantauan di lapangan, hanya seorang warga yang menjajakan garam tradisional. Garam yang dipasarkan itu merupakan sisa panen tahun lalu. Walau harganya mulai naik, dari Rp 1.500 per kilogram menjadi Rp 3.000. Penjual garam tradisional Ni Wayan Raka mengakui kesulitan mendapatkan garam selama setahun terakhir.
“Saya punya garam hanya sekitar lima kilogram. Ini pun hasil panen tahun lalu, selama Juli-Agustus. Memang semakin sulit dapat garam tradisional,” kata Ni Wayan Raka, Minggu (5/3).
Menurutnya, lahan membuat garam semakin berkurang, telah diisi bangunan penunjang industri pariwisata. Padahal selama ini aktivitas membuat garam tradisional juga menjadi daya tarik wisatawan di Objek Wisata Pantai Amed dan sekitarnya.
Perbekel Purwekerti I Nengah Karyawan mengakui, lahan membuat garam yang berlokasi di sekitar Objek Taman Tirta Banjar Amed, mulai berkurang. Di samping itu fasilitas membuat garam tradisional kurang terurus, dibiarkan terbengkalai sejak setahun terakhir. Sebab, kondisi cuaca tidak memungkinkan membuat garam tradisional.
Karyawan berjanji membuat terobosan bekerjasama dengan investor, sehubungan ada lahan beberapa petak. Tugas petani garam melakukan aktivitas penggaraman di dekat-dekat bangunan vila atau hotel, sehingga selain aktivitasnya jadi objek wisata dengan mendapatkan imbalan, juga menghasilkan garam.
Perajin saat tidak membuat garam karena cuaca, memilih bekerja sebagai nelayan atau bertani. “Bekerja sebagai petani garam hanyalah sambilan, merupakan warisan dari orangtuanya sebelumnya,” kata Karyawan.
Di bagian lain Kadis Perindustrian dan Perdagangan Karangasem I Gusti Ngurah Suarta mengakui lahan tempat membuat garam berkurang. Dampaknya produksi garam tiap tahun cenderung menurun. Catatan terakhir di tahun 2015 produksinya 570 ton, di tahun 2016 menjadi 330 ton. Tercatat mulanya 207 perajin, tetapi yang masih aktif belum terdata kembali. “Guna memenuhi kebutuhan garam tradisional, didatangkan dari Buleleng atau Banyuwangi,” katanya. * k16
Pantauan di lapangan, hanya seorang warga yang menjajakan garam tradisional. Garam yang dipasarkan itu merupakan sisa panen tahun lalu. Walau harganya mulai naik, dari Rp 1.500 per kilogram menjadi Rp 3.000. Penjual garam tradisional Ni Wayan Raka mengakui kesulitan mendapatkan garam selama setahun terakhir.
“Saya punya garam hanya sekitar lima kilogram. Ini pun hasil panen tahun lalu, selama Juli-Agustus. Memang semakin sulit dapat garam tradisional,” kata Ni Wayan Raka, Minggu (5/3).
Menurutnya, lahan membuat garam semakin berkurang, telah diisi bangunan penunjang industri pariwisata. Padahal selama ini aktivitas membuat garam tradisional juga menjadi daya tarik wisatawan di Objek Wisata Pantai Amed dan sekitarnya.
Perbekel Purwekerti I Nengah Karyawan mengakui, lahan membuat garam yang berlokasi di sekitar Objek Taman Tirta Banjar Amed, mulai berkurang. Di samping itu fasilitas membuat garam tradisional kurang terurus, dibiarkan terbengkalai sejak setahun terakhir. Sebab, kondisi cuaca tidak memungkinkan membuat garam tradisional.
Karyawan berjanji membuat terobosan bekerjasama dengan investor, sehubungan ada lahan beberapa petak. Tugas petani garam melakukan aktivitas penggaraman di dekat-dekat bangunan vila atau hotel, sehingga selain aktivitasnya jadi objek wisata dengan mendapatkan imbalan, juga menghasilkan garam.
Perajin saat tidak membuat garam karena cuaca, memilih bekerja sebagai nelayan atau bertani. “Bekerja sebagai petani garam hanyalah sambilan, merupakan warisan dari orangtuanya sebelumnya,” kata Karyawan.
Di bagian lain Kadis Perindustrian dan Perdagangan Karangasem I Gusti Ngurah Suarta mengakui lahan tempat membuat garam berkurang. Dampaknya produksi garam tiap tahun cenderung menurun. Catatan terakhir di tahun 2015 produksinya 570 ton, di tahun 2016 menjadi 330 ton. Tercatat mulanya 207 perajin, tetapi yang masih aktif belum terdata kembali. “Guna memenuhi kebutuhan garam tradisional, didatangkan dari Buleleng atau Banyuwangi,” katanya. * k16
1
Komentar