Ayah Perokok Aktif Punya Andil pada Kasus Stunting
Lebih Dekat dengan Balita Stunting, Pengaruh Lingkungan dan Kebijakan Pemerintah di Buleleng
Penelitian menyasar 45 responden yang memiliki balita stunting. Hasilnya, 28 orang ayah (62,3 persen) responden perokok aktif. Sedangkan 17 orang (37,7 persen) menyatakan diri tidak merokok.
SINGARAJA, NusaBali
Pengaruh rokok terhadap kasus stunting, tak bisa dianggap remeh. Mengacu hasil penelitian Centre for Public Health Indonesia (CPHI) Universitas Udayana, ayah perokok menjadi salah satu pemicu terjadinya kasus stunting pada anak bawah lima tahun (balita).
CPHI Universitas Udayana sempat melakukan penelitian pada 10 lokus stunting di Bali. Penelitian itu dilakukan pada tahun 2019 lalu. Penelitian menyasar 45 responden yang memiliki balita stunting. Hasilnya, 28 orang ayah atau 62,3 persen dari responden, merupakan perokok aktif. Sedangkan 17 orang atau 37,7 persen menyatakan diri tidak merokok.
Koordinator CPHI Universitas Udayana Prof Pande Putu Januraga mengungkapkan, asap rokok yang dihirup secara pasif sangat berbahaya. Terutama pada balita dan ibu hamil. Polutan asap rokok ini dapat meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan serta risiko stunting.
“Infeksi adalah faktor risiko utama stunting. Selain menimbulkan asap polutan, rokok juga memberikan beban konsumsi tambahan pada keluarga. Ada banyak studi yang menunjukkan bahwa biaya membeli rokok mengurangi porsi pembiayaan untuk makanan sehat. Termasuk akses ke layanan kesehatan yang berujung pada masalah gizi,” tutur Januraga.
Menurutnya kasus stunting rentan terjadi pada masa kehamilan dan 1.000 hari kelahiran. Masa itu dikenal sebagai periode emas pembentukan otak balita. Balita yang terpapar asap rokok, berpotensi mengalami gangguan tumbuh kembang yang lebih tinggi.
Januraga mengungkapkan, dampak stunting tak hanya terlihat saat balita. Tapi dapat berlanjut saat usia sekolah, remaja, bahkan hingga dewasa. Stunting juga dapat mendatangkan masalah rentetan lain. Seperti gangguan kognisi yang berdampak pada hasil pendidikan yang buruk, serta masalah kesehatan kronis terkait gizi saat dewasa. Seperti diabetes melitus dan sindrom metabolik.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Unud itu mengungkapkan, orangtua seringkali tidak paham bila anaknya mengalami stunting. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa anak mereka baik-baik saja.
“Saat tumbuh kembang anaknya terlambat, masyarakat hanya beranggapan bahwa anak mereka itu pendek. Padahal bisa jadi anak mereka itu sebenarnya stunting,” ungkapnya.
Hal itu bisa dipicu beberapa masalah. Di antaranya asupan energi dan protein yang minim, infeksi yang terjadi secara berulang, serta pengaruh polutan asap rokok.
Januraga menjelaskan, kasus stunting dapat dipengaruhi pemberian ASI eksklusif yang tidak optimal. Masalah ini biasanya dialami oleh anak yang hamil maupun ibu hamil yang mengalami anemia.
Di samping itu, faktor lingkungan turut memberi pengaruh besar. “Lingkungan yang kumuh, akses air bersih yang minim, sanitasi yang kurang, termasuk polusi asap rokok itu juga turut berpengaruh,” kata Januraga.
Bila mengacu data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), angka stunting di Bali menyentuh 10,9 persen. Angka itu merupakan prevalensi terendah di Indonesia. Bahkan lebih rendah dari angka prevalensi nasional yang mencapai 24,4 persen. Alhasil Bali dinyatakan sebagai provinsi yang melakukan penanganan stunting dengan metode yang baik.
Namun di balik keberhasilan itu, masih ada 3 kabupaten yang memiliki angka prevalensi di atas angka kasus provinsi. Di antaranya Kabupaten Karangasem sebanyak 22,9 persen, Kabupaten Klungkung sebanyak 19,4 persen, dan Kabupaten Jembrana sebanyak 14,3 persen.
Januraga pun khawatir bila angka itu bakal meningkat. Sebab pada tahun 2020 dan 2021, ekonomi Bali sangat terdampak oleh pandemi Covid-19. Masyarakat mengalami kesulitan finansial. Dampaknya masyarakat membatasi konsumsi. Pada beberapa kelompok masyarakat, konsumsi makanan sehat juga turut dikurangi.
“Sementara angka pernikahan dan kelahiran tidak turun. Malah ada tren peningkatan. Ini bisa jadi ancaman prevalensi stunting meningkat dalam beberapa tahun ke depan,” ungkap pria yang juga pakar kesehatan masyarakat itu.
Januraga mengatakan saat ini pemerintah telah menguatkan intervensi terhadap kasus stunting. Namun hal itu belum cukup. Sebab instansi pemerintahan juga mengalami kendala pendanaan. Sehingga upaya intervensi kasus stunting pun terancam tidak optimal.
Menurutnya pemerintah harus melakukan identifikasi permasalahan. Sehingga dapat melakukan langkah intervensi yang sesuai dengan faktor risiko. Mengingat tiap wilayah memiliki permasalahan yang berbeda.
“Misalnya di Karangasem masalah utama adalah infeksi akibat air bersih dan sanitasi yang kurang baik. Sementara di perkotaan bisa saja karena capaian ASI eksklusif yang buruk. Bisa jadi polutan asap rokok yang tinggi. Karakteristik masalah yang dihadapi daerah sangat unik,” imbuhnya.
Khusus terkait polutan asap rokok, Januraga memandang pemerintah harus bersikap tegas terhadap Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Apalagi daerah-daerah di Bali telah memiliki perda tersebut. Sayangnya pengawasan dan penegakan perda masih lemah.
“Perlu ada ruang khusus untuk perokok aktif. Baik itu di lingkungan masyarakat maupun keluarga. Sehingga paparan asap polutan, baik itu pada balita maupun ibu hamil, bisa ditekan lebih optimal,” tandas Januraga. *k23
CPHI Universitas Udayana sempat melakukan penelitian pada 10 lokus stunting di Bali. Penelitian itu dilakukan pada tahun 2019 lalu. Penelitian menyasar 45 responden yang memiliki balita stunting. Hasilnya, 28 orang ayah atau 62,3 persen dari responden, merupakan perokok aktif. Sedangkan 17 orang atau 37,7 persen menyatakan diri tidak merokok.
Koordinator CPHI Universitas Udayana Prof Pande Putu Januraga mengungkapkan, asap rokok yang dihirup secara pasif sangat berbahaya. Terutama pada balita dan ibu hamil. Polutan asap rokok ini dapat meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan serta risiko stunting.
“Infeksi adalah faktor risiko utama stunting. Selain menimbulkan asap polutan, rokok juga memberikan beban konsumsi tambahan pada keluarga. Ada banyak studi yang menunjukkan bahwa biaya membeli rokok mengurangi porsi pembiayaan untuk makanan sehat. Termasuk akses ke layanan kesehatan yang berujung pada masalah gizi,” tutur Januraga.
Menurutnya kasus stunting rentan terjadi pada masa kehamilan dan 1.000 hari kelahiran. Masa itu dikenal sebagai periode emas pembentukan otak balita. Balita yang terpapar asap rokok, berpotensi mengalami gangguan tumbuh kembang yang lebih tinggi.
Januraga mengungkapkan, dampak stunting tak hanya terlihat saat balita. Tapi dapat berlanjut saat usia sekolah, remaja, bahkan hingga dewasa. Stunting juga dapat mendatangkan masalah rentetan lain. Seperti gangguan kognisi yang berdampak pada hasil pendidikan yang buruk, serta masalah kesehatan kronis terkait gizi saat dewasa. Seperti diabetes melitus dan sindrom metabolik.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Unud itu mengungkapkan, orangtua seringkali tidak paham bila anaknya mengalami stunting. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa anak mereka baik-baik saja.
“Saat tumbuh kembang anaknya terlambat, masyarakat hanya beranggapan bahwa anak mereka itu pendek. Padahal bisa jadi anak mereka itu sebenarnya stunting,” ungkapnya.
Hal itu bisa dipicu beberapa masalah. Di antaranya asupan energi dan protein yang minim, infeksi yang terjadi secara berulang, serta pengaruh polutan asap rokok.
Januraga menjelaskan, kasus stunting dapat dipengaruhi pemberian ASI eksklusif yang tidak optimal. Masalah ini biasanya dialami oleh anak yang hamil maupun ibu hamil yang mengalami anemia.
Di samping itu, faktor lingkungan turut memberi pengaruh besar. “Lingkungan yang kumuh, akses air bersih yang minim, sanitasi yang kurang, termasuk polusi asap rokok itu juga turut berpengaruh,” kata Januraga.
Bila mengacu data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), angka stunting di Bali menyentuh 10,9 persen. Angka itu merupakan prevalensi terendah di Indonesia. Bahkan lebih rendah dari angka prevalensi nasional yang mencapai 24,4 persen. Alhasil Bali dinyatakan sebagai provinsi yang melakukan penanganan stunting dengan metode yang baik.
Namun di balik keberhasilan itu, masih ada 3 kabupaten yang memiliki angka prevalensi di atas angka kasus provinsi. Di antaranya Kabupaten Karangasem sebanyak 22,9 persen, Kabupaten Klungkung sebanyak 19,4 persen, dan Kabupaten Jembrana sebanyak 14,3 persen.
Januraga pun khawatir bila angka itu bakal meningkat. Sebab pada tahun 2020 dan 2021, ekonomi Bali sangat terdampak oleh pandemi Covid-19. Masyarakat mengalami kesulitan finansial. Dampaknya masyarakat membatasi konsumsi. Pada beberapa kelompok masyarakat, konsumsi makanan sehat juga turut dikurangi.
“Sementara angka pernikahan dan kelahiran tidak turun. Malah ada tren peningkatan. Ini bisa jadi ancaman prevalensi stunting meningkat dalam beberapa tahun ke depan,” ungkap pria yang juga pakar kesehatan masyarakat itu.
Januraga mengatakan saat ini pemerintah telah menguatkan intervensi terhadap kasus stunting. Namun hal itu belum cukup. Sebab instansi pemerintahan juga mengalami kendala pendanaan. Sehingga upaya intervensi kasus stunting pun terancam tidak optimal.
Menurutnya pemerintah harus melakukan identifikasi permasalahan. Sehingga dapat melakukan langkah intervensi yang sesuai dengan faktor risiko. Mengingat tiap wilayah memiliki permasalahan yang berbeda.
“Misalnya di Karangasem masalah utama adalah infeksi akibat air bersih dan sanitasi yang kurang baik. Sementara di perkotaan bisa saja karena capaian ASI eksklusif yang buruk. Bisa jadi polutan asap rokok yang tinggi. Karakteristik masalah yang dihadapi daerah sangat unik,” imbuhnya.
Khusus terkait polutan asap rokok, Januraga memandang pemerintah harus bersikap tegas terhadap Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Apalagi daerah-daerah di Bali telah memiliki perda tersebut. Sayangnya pengawasan dan penegakan perda masih lemah.
“Perlu ada ruang khusus untuk perokok aktif. Baik itu di lingkungan masyarakat maupun keluarga. Sehingga paparan asap polutan, baik itu pada balita maupun ibu hamil, bisa ditekan lebih optimal,” tandas Januraga. *k23
1
Komentar