Jokowi Singgung Pendanaan Iklim Global
Saat Buka Sidang Inter-Parliamentary Union (IPU) ke-144 di Nusa Dua
Presiden Jokowi menyebut jika pendanaan iklim tak dimobilisasi dalam beberapa tahun ke depan, dia pesimistis perubahan iklim bisa dicegah sama sekali.
JAKARTA, NusaBali
Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka sidang Inter-Parliamentary Union (IPU) ke-144 di Bali International Convention Centre (BICC) Nusa Dua, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, Minggu (20/3) malam. Dalam pidatonya Jokowi menyinggung tantangan yang akan dihadapi global hingga investasi pendanaan iklim.
"Tantangan yang dihadapi global ke depan tidak semakin mudah tetapi kelihatannya semakin sulit. Awal-awal kita selalu berbicara masalah disrupsi teknologi karena adanya revolusi industri 4.0. Kemudian regulasinya yang selalu terlambat mengikuti kecepatan perubahan teknologi. Satu masalah belum selesai, muncul masalah yang kedua, yaitu pandemi Covid-19 yang juga mendistrupsi semua hal yang sebelumnya tidak pernah kita kira, sekarang kita rasakan," kata Jokowi dalam siaran YouTube Sekretariat Presiden.
Jokowi kemudian mengungkit masalah langkanya energi hingga kenaikan harga pangan. Jokowi juga menyinggung kelangkaan kontainer dalam mengirim logistik.
"Langkanya energi, kenaikan harga pangan, kemudian kelangkaan kontainer dalam mengirim logistik yang ada dan terjadinya kenaikan inflasi hampir di semua negara sehingga rakyat kesulitan dalam menjangkau harga-harga yang naik," jelasnya. Terlepas dari masalah energi dan ekonomi itu, Jokowi mengingatkan ada hal yang perlu dihadapi ke depan. Hal itu adalah soal perubahan iklim.
"Tetapi juga jangan melupakan bahwa kita menghadapi sebuah hal yang mengerikan kalau kita tidak berani memobilisasi kebijakan-kebijakan baik itu di parlemen maupun pemerintah, yaitu adalah perubahan iklim," kata Jokowi. Jokowi menyebut masalah perubahan iklim ini sering dibicarakan dalam pertemuan global. Akan tetapi, kata dia, aksi di lapangan belum terlihat.
"Hal yang sering kita lakukan sering kita bicarakan, sering diputuskan di dalam pertemuan-pertemuan global tetapi aksi lapangannya belum kelihatan. Saya berikan contoh saja transisi dari energi fosil ke energi baru terbarukan. Dari energi batu bara masuk ke renewable energy. Kelihatannya mudah, tetapi dalam praktiknya itu ada sesuatu yang sangat sulit di lapangan utamanya bagi negara-negara berkembang," katanya.
Oleh sebab itu, kata Jokowi, yang perlu dibicarakan adalah masalah pendanaan iklim. Jokowi menyebut pendanaan iklim itu harus diselesaikan. "Sehingga yang perlu dibicarakan adalah dan dimobilisasi adalah pendanaan iklim, ini harus segera kita selesaikan. Yang kedua investasi dalam rangka renewable energy. Kemudian yang ketiga yang berkaitan dengan transfer teknologi," sebutnya.
"Kalau ini tidak riil dilakukan, sampai kapanpun saya pesimis bahwa yang namanya perubahan iklim ini betul-betul tidak bisa kita cegah," lanjutnya. Jokowi melanjutkan bahwa Indonesia memiliki banyak potensi untuk renewable energy atau energi terbarukan. Salah satunya adalah sumber energi dari air karena Indonesia memiliki 4.000 lebih sungai.
"Di Indonesia misalnya, kita memiliki potensi untuk renewable energy ini banyak sekali. Dari yang namanya hydropower yang Indonesia memiliki 4.400 sungai, potensinya besar. Kita memiliki geotermal dengan potensi 29.000 megawatt. Angin sangat banyak. Arus bawah laut sangat banyak. Energi matahari, sangat melimpah. Tetapi perlu sebuah investasi yang besar," sebutnya. Jokowi menambahkan pendanaan iklim global perlu dukungan serius dari komunitas internasional. Jokowi menyebut jika pendanaan iklim tak dimobilisasi beberapa tahun ke depan, dia pesimistis perubahan iklim bisa dicegah sama sekali.
"Perlu sebuah transfer teknologi. Perlu pendanaan iklim global yang betul-betul serius didukung oleh internasional. Kalau itu hanya kita bicarakan dari tahun ke tahun dan tidak ada mobilisasi tidak ada keputusan, saya pesimis bahwa yang namanya perubahan iklim ini betul-betul tidak bisa kita cegah sama sekali," imbuhnya.
"Saya sangat menghargai apabila seluruh parlemen yang ada di negara-negara anggota IPU bisa memobilisasi bersama-sama dengan pemerintah sehingga muncul sebuah keputusan, muncul sebuah aksi yang betul-betul nyata dan konkret sehingga bisa dilaksanakan di lapangan," tambahnya.
Sidang Ke-144 Inter-Parliamentary Union (IPU) di Bali International Convention Centre (BICC) Nusa Dua berlangsung selama 4 hari, mulai 20 hingga 24 Maret. Presiden Jokowi bersama Ketua DPR RI Puan Maharani menemui langsung sekitar 1.000 delegasi dari 115 negara saat seremoni pembukaan, Minggu kemarin pukul 19.30 Wita. Dalam acara pembukaan ini, Presiden Jokowi menandainya dengan menekan tombol tanda Sidang Ke-144 IPU resmi dimulai. Tidak hanya Presiden RI, upacara pembukaan Sidang ke-144 IPU turut dihadiri oleh sejumlah pejabat negara, di antaranya Ketua Mahkamah Konstitusi RI Anwar Usman dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Indonesia untuk pertama kalinya menjadi tuan rumah sidang tahunan IPU. IPU merupakan kerja sama antarparlemen lintas negara yang menjadi forum demokrasi terbesar kedua di dunia setelah PBB. Pada tahun ini, sidang IPU menyoroti masalah iklim, kesetaraan gender, anak muda dalam politik, serta konflik Rusia dan Ukraina. *ant
"Tantangan yang dihadapi global ke depan tidak semakin mudah tetapi kelihatannya semakin sulit. Awal-awal kita selalu berbicara masalah disrupsi teknologi karena adanya revolusi industri 4.0. Kemudian regulasinya yang selalu terlambat mengikuti kecepatan perubahan teknologi. Satu masalah belum selesai, muncul masalah yang kedua, yaitu pandemi Covid-19 yang juga mendistrupsi semua hal yang sebelumnya tidak pernah kita kira, sekarang kita rasakan," kata Jokowi dalam siaran YouTube Sekretariat Presiden.
Jokowi kemudian mengungkit masalah langkanya energi hingga kenaikan harga pangan. Jokowi juga menyinggung kelangkaan kontainer dalam mengirim logistik.
"Langkanya energi, kenaikan harga pangan, kemudian kelangkaan kontainer dalam mengirim logistik yang ada dan terjadinya kenaikan inflasi hampir di semua negara sehingga rakyat kesulitan dalam menjangkau harga-harga yang naik," jelasnya. Terlepas dari masalah energi dan ekonomi itu, Jokowi mengingatkan ada hal yang perlu dihadapi ke depan. Hal itu adalah soal perubahan iklim.
"Tetapi juga jangan melupakan bahwa kita menghadapi sebuah hal yang mengerikan kalau kita tidak berani memobilisasi kebijakan-kebijakan baik itu di parlemen maupun pemerintah, yaitu adalah perubahan iklim," kata Jokowi. Jokowi menyebut masalah perubahan iklim ini sering dibicarakan dalam pertemuan global. Akan tetapi, kata dia, aksi di lapangan belum terlihat.
"Hal yang sering kita lakukan sering kita bicarakan, sering diputuskan di dalam pertemuan-pertemuan global tetapi aksi lapangannya belum kelihatan. Saya berikan contoh saja transisi dari energi fosil ke energi baru terbarukan. Dari energi batu bara masuk ke renewable energy. Kelihatannya mudah, tetapi dalam praktiknya itu ada sesuatu yang sangat sulit di lapangan utamanya bagi negara-negara berkembang," katanya.
Oleh sebab itu, kata Jokowi, yang perlu dibicarakan adalah masalah pendanaan iklim. Jokowi menyebut pendanaan iklim itu harus diselesaikan. "Sehingga yang perlu dibicarakan adalah dan dimobilisasi adalah pendanaan iklim, ini harus segera kita selesaikan. Yang kedua investasi dalam rangka renewable energy. Kemudian yang ketiga yang berkaitan dengan transfer teknologi," sebutnya.
"Kalau ini tidak riil dilakukan, sampai kapanpun saya pesimis bahwa yang namanya perubahan iklim ini betul-betul tidak bisa kita cegah," lanjutnya. Jokowi melanjutkan bahwa Indonesia memiliki banyak potensi untuk renewable energy atau energi terbarukan. Salah satunya adalah sumber energi dari air karena Indonesia memiliki 4.000 lebih sungai.
"Di Indonesia misalnya, kita memiliki potensi untuk renewable energy ini banyak sekali. Dari yang namanya hydropower yang Indonesia memiliki 4.400 sungai, potensinya besar. Kita memiliki geotermal dengan potensi 29.000 megawatt. Angin sangat banyak. Arus bawah laut sangat banyak. Energi matahari, sangat melimpah. Tetapi perlu sebuah investasi yang besar," sebutnya. Jokowi menambahkan pendanaan iklim global perlu dukungan serius dari komunitas internasional. Jokowi menyebut jika pendanaan iklim tak dimobilisasi beberapa tahun ke depan, dia pesimistis perubahan iklim bisa dicegah sama sekali.
"Perlu sebuah transfer teknologi. Perlu pendanaan iklim global yang betul-betul serius didukung oleh internasional. Kalau itu hanya kita bicarakan dari tahun ke tahun dan tidak ada mobilisasi tidak ada keputusan, saya pesimis bahwa yang namanya perubahan iklim ini betul-betul tidak bisa kita cegah sama sekali," imbuhnya.
"Saya sangat menghargai apabila seluruh parlemen yang ada di negara-negara anggota IPU bisa memobilisasi bersama-sama dengan pemerintah sehingga muncul sebuah keputusan, muncul sebuah aksi yang betul-betul nyata dan konkret sehingga bisa dilaksanakan di lapangan," tambahnya.
Sidang Ke-144 Inter-Parliamentary Union (IPU) di Bali International Convention Centre (BICC) Nusa Dua berlangsung selama 4 hari, mulai 20 hingga 24 Maret. Presiden Jokowi bersama Ketua DPR RI Puan Maharani menemui langsung sekitar 1.000 delegasi dari 115 negara saat seremoni pembukaan, Minggu kemarin pukul 19.30 Wita. Dalam acara pembukaan ini, Presiden Jokowi menandainya dengan menekan tombol tanda Sidang Ke-144 IPU resmi dimulai. Tidak hanya Presiden RI, upacara pembukaan Sidang ke-144 IPU turut dihadiri oleh sejumlah pejabat negara, di antaranya Ketua Mahkamah Konstitusi RI Anwar Usman dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Indonesia untuk pertama kalinya menjadi tuan rumah sidang tahunan IPU. IPU merupakan kerja sama antarparlemen lintas negara yang menjadi forum demokrasi terbesar kedua di dunia setelah PBB. Pada tahun ini, sidang IPU menyoroti masalah iklim, kesetaraan gender, anak muda dalam politik, serta konflik Rusia dan Ukraina. *ant
Komentar