Perlu Perluas Ruang untuk Joged Bumbung Klasik
Dari Workshop Joged Bumbung yang Digelar Majelis Kebudayaan Bali dan Disbud Bali
DENPASAR, NusaBali
Joged Bumbung jaruh belakangan semakin wara wiri di dunia digital. Hal ini pun mengundang keprihatinan banyak pihak.
Pasalnya, Joged Bumbung sudah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Dunia. Budayawan Prof Dr I Wayan Dibia mengusulkan agar pemerintah daerah dapat memperluas ruang tampil bagi tari Joged Bumbung Klasik sebagai salah satu upaya untuk penyelamatan salah satu tari pergaulan Bali itu.
Usulan tersebut disampaikan saat menjadi narasumber dalam workshop Tari Joged Bumbung yang digelar oleh Majelis Kebudayaan Bali bersama Disbud Bali di Taman Budaya Provinsi Bali, di Denpasar, Jumat (18/3). Menurutnya, upaya penyelamatan sangat penting agar kemunculan Joged Bumbung jaruh (porno) jangan sampai mematikan tari Joged Bumbung itu sendiri. Kemunculan Joged Bumbung jaruh selama ini telah membangun citra negatif bukan saja terhadap tari Joged Bumbung, melainkan juga terhadap budaya pertunjukan Bali.
“Akankah tari Joged Bumbung jaruh seperti ini dibiarkan terus meracuni etika moral para generasi Bali? Apalagi Joged Bumbung telah mendapatkan pengakuan UNESCO,” ujar Prof Dibia.
Prof Dibia menambahkan, tari Joged Bumbung yang mengutamakan aksi-aksi seksual tentunya telah melanggar tiga landasan kesenian Bali, yakni, satyam (kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaram (keindahan). Apalagi menurut Prof Dibia, ‘virus’ joged jaruh telah masuk pada pertunjukan arja muani, prembon, bondres dan termasuk calonarang. Bahkan dalam bondres aksinya menjadi lebih vulgar karena merasa penarinya itu laki-laki.
“Gerak porno yang berlebihan dalam bondres walaupun mungkin bisa membuat penonton tertawa, secara tidak langsung telah melecehkan nilai-nilai kewanitaan,” jelasnya sembari menyebut dalam tradisi budaya Bali, gerak-gerak yang bersifat jaruh (cabul) yang dilakukan tidak pada tempatnya, juga dipandang sebagai sesuatu yang merusak kesucian dan tentu tidak patut dilakukan di depan umum.
Dalam upaya penyelamatan, Prof Dibia pun mengusulkan beberapa hal. Pertama, pemerintah daerah dapat memperluas ruang tampil bagi tari Joged Bumbung Klasik (joged yang sesuai pakem). Sebab selama ini ruang tampil tari Joged Bumbung Klasik masih relatif terbatas. “Jika masyarakat telah sering menyaksikan pertunjukan tari Joged Bumbung Klasik, maka masyarakat akan semakin tahu perbedaan tari joged yang pantas untuk di depan publik atau tidak,” ujar Prof Dibia.
Kedua, menciptakan tari Joged Bumbung inovasi dengan wajah dan teknik penampilan baru. Misalnya tari Joged Bumbung dengan 6-10 orang penari dan dengan pola koreografi yang apik dan menarik. “Sedangkan yang ketiga, mengadakan festival-festival Joged Bumbung secara berkala mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten, bahkan hingga provinsi, sehingga masyarakat memiliki lebih banyak kesempatan untuk menyaksikan tarian sesuai pakem,” imbuh Prof Dibia.
Dalam workshop yang diikuti oleh jajaran Majelis Kebudayaan Bali dan juga perwakilan penari dan sekaa Joged Bumbung dari kabupaten/kota di Bali, Prof Dibia yang juga saat itu bersama narasumber lainnya I Wayan Suweca, langsung mencontohkan beberapa gerakan tari Joged Bumbung beserta cara nyeledet (gerakan mata) bersama para penari Joged Bumbung.
Sementara itu, Kepala Bidang Kesenian Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Ni Wayan Sulastriani saat membuka kegiatan workshop mengharapkan kerja sama berbagai pihak untuk mengembalikan tari Joged Bumbung agar sesuai pakem. Terkait memperbanyak ruang untuk menampilkan Joged Bumbung Klasik, pihaknya mengatakan bahwa dalam Pesta Kesenian Bali tahun ini juga akan digelar Parade Joged Bumbung. “Sejatinya pembinaan-pembinaan telah kami lakukan dengan menggandeng berbagai pihak, namun ke depannya tentu diperlukan berbagai langkah strategis,” tutur Sulastriani. *ind
Komentar