Harga Ayam Naik, Peternak Tak Menikmati
JAKARTA, NusaBali
Peternak ayam mempertanyakan strategi Kementerian Pertanian (Kementan) dalam mengelola peternakan ayam baik pedaging maupun petelur di dalam negeri.
Akibatnya, meski harga daging dan telur ayam telur ayam mahal, tidak dinikmati oleh peternak. "Memang produksi daging ayam sudah mencapai 4 juta ton, sementara kebutuhan 3,2 juta ton. Selama ini kita surplus. Kok surplus malah tinggi harganya, ini barangkali perlu stabilisasi.
Dalam arti mungkin saja ada salah kelola atau salah pembinaan. Telur juga suplus sekitar 600 ton, produksi 5,9 juta ton kebutuhan 5,3 juta ton," kata Wakil Ketua Umum Wakil Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia Eddy Wahyudin saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisis IV DPR, seperti dilansir CNBCIndonesia.com, Senin (21/3).
Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional mencatat, harga daging ayam ras rata-rata nasional pada 21 Maret 2022 adalah Rp36.500 per kg dan telur ayam ras Rp25.200 per kg.
Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat, per 20 Maret 2022, harga daging ayam ras naik dibandingkan sehari sebelumnya. Dan, referensi harga telur di tingkat peternak naik dari Rp20.913 pada 19 Maret menjadi Rp21.230 per kg pada 20 Maret 2022.
Wakil Ketua Umum Pinsar Hidayatur Rahman menambahkan, akibat kebijakan pemerintah, sejak tahun 2009, peternak rakyat mandiri harus berhadapan langsung dengan perusahaan peternakan yang memiliki bisnis terintegrasi, mulai produksi pakan, pembibitan hingga budidaya ternak ayam, dan bersaing di pasar yang sama. Belum lagi, imbuh dia, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang semakin menghimpit peternak ayam.
"Satu sisi, kami harus beli jagung sesuai Permendag. Tapi, Permendag keluarkan harga jagung Rp4.500 per kg, tapi kami harus beli Rp5.600. Dan pemerintah selalu menggunakan cara-cara pemadam kebakaran. Ini sejak pemerintah nggak izinkan impor jagung. Kami sepakat, juga ingin petani hidup wajar. Tapi, kami juga berharap mendapatkan jagung dengan harga wajar," kata Hidayatur.
Sementara itu, lanjut dia, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) tentang harga telur. Dimana, lanjut dia, saat pemerintah mengontrol pergerakan harga telur, namun tidak dengan harga bahan baku untuk produksi peternak.
"Nah, berarti kami berada di tengah-tengah, di situ kami betul-betul dijepit. Kalau naik ada operasi pasar, harga bahan bakunya naik terus. Jagung terus naik. Dan, termasuk tadi disebutkan pimpinan, perang bikin ongkos pengapalan naik luar biasa. Kenaikan ini yang tidak diantisipasi," kata Hidayatur.
"Tidak pernah menanyakan ke kami, HPP kami ini berapa. Di Permendag ada angkanya, di Permentan (Peraturan Menteri Pertanian) harga jagungnya juga ada. Kalau jagung surplus, surplusnya di mana? Kami butuh jagung harga wajar, bukan murah. Kalau di Permendagnya bisa Rp4.500 ini akan menjadi luar biasa. Kenyataannya kami beli jagung Rp6.000," lanjutnya.
Karena itu, dia mengharapkan ada kebijakan yang menjamin kebutuhan jagung bagi peternak terpenuhi dengan harga wajar. Apalagi, imbuh dia, Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim jagung di dalam negeri dalam kondisi surplus. *
Komentar