MUTIARA WEDA : Antara Libido dan Vairagya
Berdiam di pura, di bawah pohon, tidur di areal terbuka, memakai pakaian kulit kambing, dan terlebih ingin melepaskan seluruh ide kepemilikan dan kehausan untuk menikmati, kepada siapa ketidakterikatan tersebut membawa kebahagiaan?
Suramandiratarumulanivāsah sayyā bhutalamajinam vāsah
Sarvaparigrahabhogatyāgah kasya sukham na karoti virāgah
(Bhaja Govindam, 18)
Dalam ranah seorang peneliti, istilah ‘ideal’ dan ‘kenyataan’ atau ‘apa yang seharusnya terjadi’ dan ‘realitanya terjadi’ adalah hal yang umum. Bahkan kualitas sebuah penelitian dapat ditentukan dari kemampuannya mengurai kesenjangan di antaranya. Namun, kedua istilah tersebut sebenarnya bukan secara eksklusif milik peneliti, melainkan ia merupakan bagian dari kehidupan. Manusia hidup telah memiliki realitanya sendiri atau mereka hidup dalam realitanya. Realitas kehidupan adalah sebuah kepastian. Apapun yang telah terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi merupakan realitas yang tidak bisa dihindari.
Tetapi, oleh karena manusia memiliki keinginan, dalam bahasa ‘kekinian’ disebut libido, realita tersebut menjadi sebuah rasa pahit. Kita setiap hari menjerit tidak mau menghadapi kenyataan yang ada. Kita menjadi sangat menderita oleh realita itu. Saat kita menyadari bahwa kita dilahirkan di tempat miskin, kita menjerit. Ketika kita dilahirkan tidak mujur, juga menangis. Saat merasa profesi menjadi seorang dokter lebih elit dibandingkan sebagai petani, kita pun mesti pontang panting meraihnya. Dalam segala hal kita ingin mengubur realita yang ada di depan dan berkehendak untuk meraih realita yang ada di dalam angan-angan. Atas dasar ini orang pun berlomba, bersaing untuk menggapai mimpi-mimpinya. Tidak ada kata lain yang disebut selain: ‘Semangat!’; ‘Kejar sampai dapat!’; ‘sing sukses sing mulih!’ dan yang lainnya.
Secara genetis kita telah mewarisi itu sejak berabad-abad, sehingga seolah-olah kita terlahir hanya untuk memenangkan pertandingan. Tidak ada yang lain dari itu. Orang berbisnis ingin mencapai puncak. Orang berpendidikan ingin sampai yang tertinggi. Orang masuk angkatan ingin pangkat tertinggi. Bahkan, orang yang menekuni spiritual pun ingin mencapai pembebasan tertinggi. Agar menjadi orang hebat guna meraih yang tertinggi itu, kita harus menjauhi sejauh mungkin realita dan menggantikannya dengan ide-ide. Semakin besar ide kita, maka semakin besar kemungkinan untuk menang. Itulah mengapa, sejak dilahirkan kita selalui diberikan ide-ide oleh orangtua, mulai dari cara makan, minum, berbicara, cara beribadah, berperilaku, dan lain sebagainya. Setelah tujuh tahun pertama, pemberian ide dilanjutkan oleh guru-guru di sekolah melalui mata pelajaran sekolah sampai perguruan tinggi. Sampai akhirnya mereka yang sukses menempuh pendidikan tertinggi, di kepalanya hanya ada ide-ide. Bisa dikatakan mereka berjalan di atas realita ide.
Teks di atas sepertinya mengindikasikan hal ini. Manusia pada prinsipnya tidak pernah menapakkan kakinya di pertiwi karena hidupnya berada di masa depan, di dalam dunia ide. Walaupun satu ide benar bisa terwujud oleh karena usaha, maka segera ide yang lebih besar pun kembali muncul. Bisa dikatakan ide yang telah sukses direalisasikan itu merupakan sumber inspirasi untuk memunculkan ide yang lebih besar. Mengapa demikian? Karena turbo yang menggerakkan agar ide itu bisa terwujud adalah libido. Jadi, kesenjangan yang ada sebenarnya terjadi antara libido dan realita. Libido inilah yang selalu kehausan ingin menggapai apa yang seharusnya terjadi.
Namun, teks di atas mempertanyakan siapa yang dibahagiakan dari pemuasan terhadap libido tersebut? Kebahagiaan bagi teks itu akan hadir hanya ketika libido itu telah berakhir. “Ketika ide telah berakhir, maka kebahagiaan akan hadir dengan sendirinya, karena kebahagiaan ada di dalam realita, bukan di dalam ide.” Kondisi ini disebut dengan vairagya. Tetapi bahkan kata ‘vairagya’ ini pun kita masih persepsikan berada di dalam pertandingan. Seolah dia yang mampu memenangkan jalan spiritual akan mampu mencapai vairagya. Vairagya seolah-olah capaian. Namun teks di atas berkata lain dengan mengatakan: “dia yang tidak lagi ada di dalam capaian, maka dialah yang berada di dalam vairagya”. Tetapi, pernyataan ini pun bisa kita kelirukan, sebab yang kita pahami adalah ‘puncak capaian’. Kita selalu berpikir demikian. Tetapi dia yang mengerti pernyataan ini: “dia yang libidonya hanya sebuah ekspresi dan tidak lagi eksistensi”, maka ialah yang mengerti pernyataan teks tersebut.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
(Bhaja Govindam, 18)
Dalam ranah seorang peneliti, istilah ‘ideal’ dan ‘kenyataan’ atau ‘apa yang seharusnya terjadi’ dan ‘realitanya terjadi’ adalah hal yang umum. Bahkan kualitas sebuah penelitian dapat ditentukan dari kemampuannya mengurai kesenjangan di antaranya. Namun, kedua istilah tersebut sebenarnya bukan secara eksklusif milik peneliti, melainkan ia merupakan bagian dari kehidupan. Manusia hidup telah memiliki realitanya sendiri atau mereka hidup dalam realitanya. Realitas kehidupan adalah sebuah kepastian. Apapun yang telah terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi merupakan realitas yang tidak bisa dihindari.
Tetapi, oleh karena manusia memiliki keinginan, dalam bahasa ‘kekinian’ disebut libido, realita tersebut menjadi sebuah rasa pahit. Kita setiap hari menjerit tidak mau menghadapi kenyataan yang ada. Kita menjadi sangat menderita oleh realita itu. Saat kita menyadari bahwa kita dilahirkan di tempat miskin, kita menjerit. Ketika kita dilahirkan tidak mujur, juga menangis. Saat merasa profesi menjadi seorang dokter lebih elit dibandingkan sebagai petani, kita pun mesti pontang panting meraihnya. Dalam segala hal kita ingin mengubur realita yang ada di depan dan berkehendak untuk meraih realita yang ada di dalam angan-angan. Atas dasar ini orang pun berlomba, bersaing untuk menggapai mimpi-mimpinya. Tidak ada kata lain yang disebut selain: ‘Semangat!’; ‘Kejar sampai dapat!’; ‘sing sukses sing mulih!’ dan yang lainnya.
Secara genetis kita telah mewarisi itu sejak berabad-abad, sehingga seolah-olah kita terlahir hanya untuk memenangkan pertandingan. Tidak ada yang lain dari itu. Orang berbisnis ingin mencapai puncak. Orang berpendidikan ingin sampai yang tertinggi. Orang masuk angkatan ingin pangkat tertinggi. Bahkan, orang yang menekuni spiritual pun ingin mencapai pembebasan tertinggi. Agar menjadi orang hebat guna meraih yang tertinggi itu, kita harus menjauhi sejauh mungkin realita dan menggantikannya dengan ide-ide. Semakin besar ide kita, maka semakin besar kemungkinan untuk menang. Itulah mengapa, sejak dilahirkan kita selalui diberikan ide-ide oleh orangtua, mulai dari cara makan, minum, berbicara, cara beribadah, berperilaku, dan lain sebagainya. Setelah tujuh tahun pertama, pemberian ide dilanjutkan oleh guru-guru di sekolah melalui mata pelajaran sekolah sampai perguruan tinggi. Sampai akhirnya mereka yang sukses menempuh pendidikan tertinggi, di kepalanya hanya ada ide-ide. Bisa dikatakan mereka berjalan di atas realita ide.
Teks di atas sepertinya mengindikasikan hal ini. Manusia pada prinsipnya tidak pernah menapakkan kakinya di pertiwi karena hidupnya berada di masa depan, di dalam dunia ide. Walaupun satu ide benar bisa terwujud oleh karena usaha, maka segera ide yang lebih besar pun kembali muncul. Bisa dikatakan ide yang telah sukses direalisasikan itu merupakan sumber inspirasi untuk memunculkan ide yang lebih besar. Mengapa demikian? Karena turbo yang menggerakkan agar ide itu bisa terwujud adalah libido. Jadi, kesenjangan yang ada sebenarnya terjadi antara libido dan realita. Libido inilah yang selalu kehausan ingin menggapai apa yang seharusnya terjadi.
Namun, teks di atas mempertanyakan siapa yang dibahagiakan dari pemuasan terhadap libido tersebut? Kebahagiaan bagi teks itu akan hadir hanya ketika libido itu telah berakhir. “Ketika ide telah berakhir, maka kebahagiaan akan hadir dengan sendirinya, karena kebahagiaan ada di dalam realita, bukan di dalam ide.” Kondisi ini disebut dengan vairagya. Tetapi bahkan kata ‘vairagya’ ini pun kita masih persepsikan berada di dalam pertandingan. Seolah dia yang mampu memenangkan jalan spiritual akan mampu mencapai vairagya. Vairagya seolah-olah capaian. Namun teks di atas berkata lain dengan mengatakan: “dia yang tidak lagi ada di dalam capaian, maka dialah yang berada di dalam vairagya”. Tetapi, pernyataan ini pun bisa kita kelirukan, sebab yang kita pahami adalah ‘puncak capaian’. Kita selalu berpikir demikian. Tetapi dia yang mengerti pernyataan ini: “dia yang libidonya hanya sebuah ekspresi dan tidak lagi eksistensi”, maka ialah yang mengerti pernyataan teks tersebut.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
Komentar