Di Sini, Kisah Ujian Kesaktian Maha Patih Kebo Iwa yang Tak Terkalahkan
Kahyangan Jagat Pura Pengukuran-ukuran di Desa Pejeng Kelod, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar
Orang yang mencari kekuasaan sering melakukan persembahyangan di Pura Pengukuran-ukuran. Sementara itu praktisi spiritual memilih melakukan meditasi di Goa Garba.
GIANYAR, NusaBali
Pemprov Bali akan menggelar perayaan Tumpek Landep sebagai upaya membumikan rahina suci ini baik secara sekala maupun niskala. Secara niskala perayaan Tumpek Landep akan digelar dengan upacara Jana Kerthi dan untuk tingkat Provinsi Bali akan dipusatkan di Pura Pengukur-ukuran di Tampaksiring, Kabupaten Gianyar pada, Saniscara Kliwon Landep, Sabtu (9/4) mendatang. Bagaimana keberadaan dan sejarah pura ini, berikut penelusuran NusaBali.
Kahyangan Jagat Pura Pengukuran-ukuran terletak di Banjar Sawagunung, Desa Pejeng Kelod, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Pura ini diemong oleh 177 KK dari dua desa adat, yakni Desa Adat Sawagunung dan Gepokan. Bendesa Pura Pengukuran-ukuran, Dewa Gede Raka, 69, saat ditemui, Minggu (27/3) menjelaskan ada dua prasasti yang menerangkan tentang historis Pura.
Prasasti Ambang Pintu yang sekarang berada di Candi Agung di Utamaning Mandala Pura Pengukuran-ukuran dan Prasasti Kintamani. Disebut Prasasti Ambang Pintu karena kemungkinan dahulu terletak pada sebuah Pintu Gerbang (Pemedal) Pura Pengukur-ukuran. Prasasti itu tergolong singkat karena terdiri hanya 3 baris, namun mengandung suatu keunikan. Pada Prasasti Pengukur-ukuran dalam menyebutkan angka tahunnya dimulai dengan kalimat ‘Swasti Cri Caka Warsatitanagata wartama’ yang artinya ‘Selamat bahagia tahun caka yang lalu yang akan datang dan yang sedang berjalan’.
Berdasarkan penanggalan yang terdapat pada Prasasti Pengukur-ukuran, yaitu ‘Wraspati Wage Pujut, Penanggalan Ping Lima Sasih Kawulu, Tahun 1116 Caka atau sekitar 12 Februari 1194 Masehi’. Berdasarkan Prasasti, bahwasannya Pura ini sebelumnya bernama Pasraman Dharmma Hanyar. Hal ini dapat diketahui dalam kalimat ‘Mpungkwing
Dharmma Hanar’ yang artinya ‘Pendetaku di Dharmma Hanyar’ yang bergelar Maha Rsi Jiwaya. Pasraman yang dekat dengan aliran Tukad Pakerisan ini dijadikan tempat menempa keempuan. Kisahnya, pada jaman pemerintahan Prabu Sri Astasura Ratna Bumi Banten pada awal abad ke-14 ada keturunan dari Arya Karang Buncing yang bernama Kebo Iwa (Kebo Taruna). Kebo Iwa melamar menjadi patih di Kerajaan Bedahulu, namun tidak diterima begitu saja tanpa melalui ujian kesaktian terlebih dahulu. Nah, untuk mengukur kesaktiannya inilah, prajurit dan orang-orang yang dianggap sakti di kerajaan Bedahulu termasuk Perdana Menteri Ki Pasung Gerigis yang sangat terkenal kesaktiannya dipanggil ikut mengujinya.
Dalam ujian tersebut tidak ada yang mampu mengalahkan Kebo Iwa, bahkan banyak lawannya harus meregang nyawa. Saking banyaknya, jasad para korban sampai tertumpuk seperti gunung. "Cerita ini pula yang diyakini menjadi cikal bakal nama Banjar Sawagunung. Sawa artinya jasad, gunung ya menggunung karena saking banyaknya," jelas Dewa Gede Raka yang pensiunan BUMN ini.
Oleh karena tidak ada yang bisa menandingi, akhirnya Kebo Iwa
diterima menjadi Maha Patih Kerajaan Bedahulu. "Karena kesaktian Kebo Iwa diukur di Dharmma Hanar, maka dari itulah tempat tersebut sekarang bernama Pura Pengukur-Ukuran," jelasnya.
Lalu sebagai bentuk penghormatan terhadap Maha Rsi Jiwaya, dibangun Palinggih Ida Ratu Bujangga di Madya Mandala Pura Pengukuran-ukuran. "Pengemong pura nunas Tirta di sini. Karena menurut keyakinan Krama Sawagunung setiap upacara Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya dan Dewa Yadnya dipuput oleh Tirta yang ditunas di Palinggih Ratu Bujangga," jelas Dewa Gede Raka.
Pujawali di Pura ini dibedakan menjadi 3 tingkatan. Setiap 6 bulan sekali, jatuh pada rahina Budha Umanis Sasih Kaulu. Setiap satu tahun sekali jatuh pada Purnama Sasih Karo. "Setiap 5 tahun sekali digelar Karya Padudusan, Ida Bhatara Nyejer selama seminggu," jelasnya.
Saat Purnamaning Karo ada sekitar 8 sesuhunan yang Lunga (datang). Di antaranya Sesuhunan dari Kebon, Bangli, Sesuhunan dari Singapadu, Kecamatan Sukawati, Sesuhunan Barong dari Banjar Sembuwuk, Belusung, Pedapdapan, Patemon dan Desa Siangan. "Kenapa Lunga, karena ada beberapa barong yang ancangannya atau kayunya diambil dari pohon Pule di pesiraman Pura Pengukuran-ukuran. Ada yang ngerehin di Pura Pengukuran-ukuran. Ada juga pengemongnya bilang, barong yang disungsung merupakan duwe Pura Pengukuran-ukuran. Seperti Siangan dan Patemon, bahkan Patemon menurut cerita-cerita, dulu sudah pernah dihaturkan barongnya, ternyata kembali lagi ke tempat semula. Makanya ndak berani lagi dikembalikan, namun setiap pujawali selalu Lunga," jelas Dewa Gede Raka yang sudah ngayah sebagai Bendesa selama belasan tahun ini.
Luas area Pura Pengukur-ukuran mencapai 2 hektare 80 are. Mencakup situs cagar budaya Goa Garba. Untuk berkeliling tempat bersejarah ini diperlukan waktu minimal satu jam. Palinggih yang ada tidak jauh berbeda dengan Palinggih pada umunya di Bali. Namun, satu ciri khas yang hanya ada di Pura Pengukuran-ukuran adalah Candi Agung yang mirip candi Kerajaan di Jawa Timur.
Orang yang mencari kekuasaan sering melakukan persembahyangan di Pura Pengukuran-ukuran. Sementara itu praktisi spiritual memilih melakukan meditasi di Goa Garba. "Semasa Gubernur Bali Dewa Made Beratha, beliau cukup sering tangkil. Selain itu ada Gede Prama, AA Gde Puspayoga bersama istri Ibu Bintang (Bintang Puspayoga). Bu Bintang setiap kali wali, bisa beruntun datang 4 kali. Pasti ngayah," jelasnya.
Apalagi Gubernur Koster, kedatangannya sudah beberapa kali. Teranyar saat akan dilakukan penataan Kawasan Pura Besakih. "Pejabat daerah Bupati, DPRD sudah biasa. Yang banyak juga grup spiritual saat Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon pasti banyak penangkilan," terang Dewa Gede Raka. Seperti diketahui, Gubernur Bali Wayan Koster mengeluarkan Instruksi No 05 Tahun 2022 tentang Perayaan Tumpek Landep dengan Upacara Jana Kerthi.
Dalam instruksi yang ditetapkan pada, Anggara Paing Watugunung, Selasa (22/3) ini seluruh komponen masyarakat mulai dari pemerintah, desa adat hingga masyarakat agar menjalankan perayaan Tumpek Landep sebagai pelaksanaan tata titi kehidupan masyarakat Bali berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal Sad Kerthi, baik secara niskala maupun sekala.
Secara niskala perayaan Tumpek Landep digelar dengan upacara Jana Kerthi dan untuk tingkat Provinsi Bali akan dipusatkan di Pura Pangukur-ukuran, Desa Adat Pejeng Kelod, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar pada, Saniscara Kliwon Landep, Sabtu (9/4) mendatang.
Sementara di tingkat kabupaten/kota ditetapkan Kota Denpasar bertempat di Pura Pangerebongan, Kabupaten Buleleng di Pura Segara Penimbangan, Kabupaten Jembrana di Pura Jati, Kabupaten Tabanan di Pura Pusering Tasik, Kabupaten Badung di Pura Peti Tenget, Kabupaten Gianyar di Pura Pengukur-ukuran, Kabupaten Bangli di Pura Kehen, Kabupaten Klungkung di Pura Dasar Bhuwana dan Kabupaten Karangasem di Pura Andakasa. *nvi
Kahyangan Jagat Pura Pengukuran-ukuran terletak di Banjar Sawagunung, Desa Pejeng Kelod, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Pura ini diemong oleh 177 KK dari dua desa adat, yakni Desa Adat Sawagunung dan Gepokan. Bendesa Pura Pengukuran-ukuran, Dewa Gede Raka, 69, saat ditemui, Minggu (27/3) menjelaskan ada dua prasasti yang menerangkan tentang historis Pura.
Prasasti Ambang Pintu yang sekarang berada di Candi Agung di Utamaning Mandala Pura Pengukuran-ukuran dan Prasasti Kintamani. Disebut Prasasti Ambang Pintu karena kemungkinan dahulu terletak pada sebuah Pintu Gerbang (Pemedal) Pura Pengukur-ukuran. Prasasti itu tergolong singkat karena terdiri hanya 3 baris, namun mengandung suatu keunikan. Pada Prasasti Pengukur-ukuran dalam menyebutkan angka tahunnya dimulai dengan kalimat ‘Swasti Cri Caka Warsatitanagata wartama’ yang artinya ‘Selamat bahagia tahun caka yang lalu yang akan datang dan yang sedang berjalan’.
Berdasarkan penanggalan yang terdapat pada Prasasti Pengukur-ukuran, yaitu ‘Wraspati Wage Pujut, Penanggalan Ping Lima Sasih Kawulu, Tahun 1116 Caka atau sekitar 12 Februari 1194 Masehi’. Berdasarkan Prasasti, bahwasannya Pura ini sebelumnya bernama Pasraman Dharmma Hanyar. Hal ini dapat diketahui dalam kalimat ‘Mpungkwing
Dharmma Hanar’ yang artinya ‘Pendetaku di Dharmma Hanyar’ yang bergelar Maha Rsi Jiwaya. Pasraman yang dekat dengan aliran Tukad Pakerisan ini dijadikan tempat menempa keempuan. Kisahnya, pada jaman pemerintahan Prabu Sri Astasura Ratna Bumi Banten pada awal abad ke-14 ada keturunan dari Arya Karang Buncing yang bernama Kebo Iwa (Kebo Taruna). Kebo Iwa melamar menjadi patih di Kerajaan Bedahulu, namun tidak diterima begitu saja tanpa melalui ujian kesaktian terlebih dahulu. Nah, untuk mengukur kesaktiannya inilah, prajurit dan orang-orang yang dianggap sakti di kerajaan Bedahulu termasuk Perdana Menteri Ki Pasung Gerigis yang sangat terkenal kesaktiannya dipanggil ikut mengujinya.
Dalam ujian tersebut tidak ada yang mampu mengalahkan Kebo Iwa, bahkan banyak lawannya harus meregang nyawa. Saking banyaknya, jasad para korban sampai tertumpuk seperti gunung. "Cerita ini pula yang diyakini menjadi cikal bakal nama Banjar Sawagunung. Sawa artinya jasad, gunung ya menggunung karena saking banyaknya," jelas Dewa Gede Raka yang pensiunan BUMN ini.
Oleh karena tidak ada yang bisa menandingi, akhirnya Kebo Iwa
diterima menjadi Maha Patih Kerajaan Bedahulu. "Karena kesaktian Kebo Iwa diukur di Dharmma Hanar, maka dari itulah tempat tersebut sekarang bernama Pura Pengukur-Ukuran," jelasnya.
Lalu sebagai bentuk penghormatan terhadap Maha Rsi Jiwaya, dibangun Palinggih Ida Ratu Bujangga di Madya Mandala Pura Pengukuran-ukuran. "Pengemong pura nunas Tirta di sini. Karena menurut keyakinan Krama Sawagunung setiap upacara Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya dan Dewa Yadnya dipuput oleh Tirta yang ditunas di Palinggih Ratu Bujangga," jelas Dewa Gede Raka.
Pujawali di Pura ini dibedakan menjadi 3 tingkatan. Setiap 6 bulan sekali, jatuh pada rahina Budha Umanis Sasih Kaulu. Setiap satu tahun sekali jatuh pada Purnama Sasih Karo. "Setiap 5 tahun sekali digelar Karya Padudusan, Ida Bhatara Nyejer selama seminggu," jelasnya.
Saat Purnamaning Karo ada sekitar 8 sesuhunan yang Lunga (datang). Di antaranya Sesuhunan dari Kebon, Bangli, Sesuhunan dari Singapadu, Kecamatan Sukawati, Sesuhunan Barong dari Banjar Sembuwuk, Belusung, Pedapdapan, Patemon dan Desa Siangan. "Kenapa Lunga, karena ada beberapa barong yang ancangannya atau kayunya diambil dari pohon Pule di pesiraman Pura Pengukuran-ukuran. Ada yang ngerehin di Pura Pengukuran-ukuran. Ada juga pengemongnya bilang, barong yang disungsung merupakan duwe Pura Pengukuran-ukuran. Seperti Siangan dan Patemon, bahkan Patemon menurut cerita-cerita, dulu sudah pernah dihaturkan barongnya, ternyata kembali lagi ke tempat semula. Makanya ndak berani lagi dikembalikan, namun setiap pujawali selalu Lunga," jelas Dewa Gede Raka yang sudah ngayah sebagai Bendesa selama belasan tahun ini.
Luas area Pura Pengukur-ukuran mencapai 2 hektare 80 are. Mencakup situs cagar budaya Goa Garba. Untuk berkeliling tempat bersejarah ini diperlukan waktu minimal satu jam. Palinggih yang ada tidak jauh berbeda dengan Palinggih pada umunya di Bali. Namun, satu ciri khas yang hanya ada di Pura Pengukuran-ukuran adalah Candi Agung yang mirip candi Kerajaan di Jawa Timur.
Orang yang mencari kekuasaan sering melakukan persembahyangan di Pura Pengukuran-ukuran. Sementara itu praktisi spiritual memilih melakukan meditasi di Goa Garba. "Semasa Gubernur Bali Dewa Made Beratha, beliau cukup sering tangkil. Selain itu ada Gede Prama, AA Gde Puspayoga bersama istri Ibu Bintang (Bintang Puspayoga). Bu Bintang setiap kali wali, bisa beruntun datang 4 kali. Pasti ngayah," jelasnya.
Apalagi Gubernur Koster, kedatangannya sudah beberapa kali. Teranyar saat akan dilakukan penataan Kawasan Pura Besakih. "Pejabat daerah Bupati, DPRD sudah biasa. Yang banyak juga grup spiritual saat Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon pasti banyak penangkilan," terang Dewa Gede Raka. Seperti diketahui, Gubernur Bali Wayan Koster mengeluarkan Instruksi No 05 Tahun 2022 tentang Perayaan Tumpek Landep dengan Upacara Jana Kerthi.
Dalam instruksi yang ditetapkan pada, Anggara Paing Watugunung, Selasa (22/3) ini seluruh komponen masyarakat mulai dari pemerintah, desa adat hingga masyarakat agar menjalankan perayaan Tumpek Landep sebagai pelaksanaan tata titi kehidupan masyarakat Bali berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal Sad Kerthi, baik secara niskala maupun sekala.
Secara niskala perayaan Tumpek Landep digelar dengan upacara Jana Kerthi dan untuk tingkat Provinsi Bali akan dipusatkan di Pura Pangukur-ukuran, Desa Adat Pejeng Kelod, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar pada, Saniscara Kliwon Landep, Sabtu (9/4) mendatang.
Sementara di tingkat kabupaten/kota ditetapkan Kota Denpasar bertempat di Pura Pangerebongan, Kabupaten Buleleng di Pura Segara Penimbangan, Kabupaten Jembrana di Pura Jati, Kabupaten Tabanan di Pura Pusering Tasik, Kabupaten Badung di Pura Peti Tenget, Kabupaten Gianyar di Pura Pengukur-ukuran, Kabupaten Bangli di Pura Kehen, Kabupaten Klungkung di Pura Dasar Bhuwana dan Kabupaten Karangasem di Pura Andakasa. *nvi
1
Komentar