Dari Gamelan Katakson Hingga Penari 'Suci'
Kisah Legong Keraton di Banjar Pangkung, Pejaten
Krama Banjar Pangkung sepakat membeli gamelan tersebut. Maka sejak itu krama banjar ini dari mulanya tidak memiliki perangkat gamelan, jadi punya sebarung gamelan.
TABANAN, NusaBali
BANJAR Adat Pangkung, Desa Pejaten, Desa Adat Nyitdah, Kecamatan Kediri, Tabanan memiliki kesenian Tari Legong Keraton. Tarian ini tak sebagaimana Tari Legong Keraton umumnya. Legong Keraton ini beda karena unik. Tari Legong Keraton terkategori sasolahan duwe atau tarian lahir dari anugerah Ida Bhatara Sasuhunan setempat.
Status ini duwe ini, antara lain ditandai dari penarinya dari kalangan anak gadis yang masih ‘suci’ atau belum menstruasi.
Begitu sudah memasuki usia akil balik atau siklus menstruasi dimulai, maka penari wajib mapamit (berhenti jadi penari). Untuk seterusnya, prajuru banjar adat mencari lagi penari pengganti yang baru.
Asal muasal Tari Legong Keraton di Banjar Adat Pangkung, bertalian dengan dengan keberadaan gong duwe banjar adat setempat. “Ceritanya beberapa tahun pasca Kemerdekaan RI tahun 1945,” kata I Nyoman Mahardika, Kelian Adat Banjar Pangkung, Kamis (28/3). Dia menceritakan, ketika itu ada orang menawarkan menjual barungan (seperangkat) gamelan ke Banjar Pangkung Karung. Seperangkat gamelan itu duwe sebuah banjar di Bali. Tidak jelas, mengapa gamelan tersebut dijual.
Singkat kisah, krama Banjar Pangkung sepakat membeli gamelan tersebut. Maka sejak itu krama banjar ini dari mulanya tidak memiliki perangkat gamelan, jadi punya sebarung gamelan. “Akhirnya jadi meduwe gong,” lanjut Mahardika.
Sejak itulah krama Banjar Pangkung giat dan suntuk belajar magamel sehingga dengan cepat bisa menguasai gending-gending tetabuhan. Selain faktor semangat tinggi, faktor niskala atau ketakson (ketaksuan) diyakini berperan, dibalik kepiawaian krama Banjar Pangkung memainkan gamelan. “Kalau di tempat lain, belum bisa. Pangelingsir kami di sini sudah bisa memainkan tabuh dengan fasih,” ujar Mahardika, menirukan penuturan para pangelingsir.
Hal itu menjadikan Gong Banjar Pangkung menjadi kaloktah (terkenal) ke lain desa. Berita itu sampai ke Ida Cokorda di Puri Tabanan, yang kemudian datang ke Banjar Pangkung. Ida Cokorda memberi wejangan dan dukungan kepada krama agar nangiang (membuat) Tari Legong Keraton melengkapi gamelan yang ketakson.
Atas petunjuk Ida Cokorda bersama para pangelingsir dan krama, dirintislah Tari Legong Keraton di Banjar Pangkung. “Sejak itulah dimulainya keberadaan Legong Keraton di sini (Banjar Pangkung),” lanjut Mahardika.
Sekaa gong di Banjar Pangkung diberi nama Sekaa Gong Padma Kencana. Sekaa gong ini merupakan salah satu sekaa legendaris di Bali dengan tabuh-tabuh lelambatan klasik. “Tabuh-tabuhnya ini sudah lama direkam,” tambah Mahardika, sambil menyebut salah satu perusahaan rekaman casset tempo dulu.
Jelas dia, Tari Legong Keraton Banjar Pangkung, sebagai tari wali, pementasannya bertalian dengan prosesi upacara dan yadnya Hindu Bali. Diantaranya, pujawali dan upacara keagamaan yang lain. Terutama pada pujawali di Pura Ratu Made, Pura Dangin Bingin dan Pura Beji Taman Sari di Banjar Pangkung. “Kalau pujawali atau piodalan, tarian ini pasti masolah,” ungkap Mahardika, diiyakan Jro Mangku Istri Made, pemangku istri Pura Ratu Made. “Karena nunas (mohon) taksunya di dua pura itu,” tambah Jro Mangku Istri Made.
Selain dipentaskan untuk mengiringi pujawali, Tari Legong Keraton Banjar Pangkung, juga kerap katuran (ditanggap) untuk naur sesangi (membayar kaul) dalam kegiatan mayadnya (upacara). Diantaranya, upacara Telu Bulanan, perkawinan, dan lainnya.
Penari Legong Keraton Banjar Pangkung terdari 3 orang. Dari tiga itu, 2 orang sebagai penari wadon dan seorang penari lanang. Mereka diawali latihan – latihan agem dasar. Pelatihnya adalah para senior atau penari sebelumnya yang sudah mapamit. Bila dinilai sudah paham agem-agem dasar, barulah nanti dicarikan penguruk. “Biasanya dari kalangan sarjana seni tari lulusan ISI Denpasar,” ungkap Mahardika dibenarkan Jro Mangku Istri Made.
Kebetulan sekarang ini di Banjar Pangkung, ada mantan penari yang sebelumnya melanjutkan sekolah ke STSI (eks ISI Denpasar). Yang bersangkutan, melatih penari-penari penggantinya.
Sebagai tari wali, Tari Legong Keraton sekaligus merupakan tari maskot Banjar Pangkung. Karena itulah krama Banjar Pangkung menjaga tari ini berkesinambungan. “Ini sudah menjadi tari maskot Banjar Pangkung,” kata Mahardika.
Tidak saja dalam konteks pelestarian sakala atau nyata sebagai karya seni, kesinambungan juga berkait sisi niskala yakni keberadaan taksu dari Tari Legong Keraton Banjar Pangkung. “Karena pernah ada petunjuk niskala untuk pelestarian seperti itu,” ucap Mahardika. Dalam beberapa persoalan yang muncul di banjar adat sampai muncul pawisik, yang intinya agar Tari Legong Keraton Banjar Pangkung ketangiang (dipentaskan).
Oleh karena itu pula, pada Hari Pagerwesi, Buda Kliwon Sinta, Rabu (30/3), krama Banjar Pangkung menggelar upacara Nangiang dan Melaspas Tari Legong Keraton. Upacara ini dihadiri Bupati Tabanan I Komang Gede Sanjaya. *nata
Status ini duwe ini, antara lain ditandai dari penarinya dari kalangan anak gadis yang masih ‘suci’ atau belum menstruasi.
Begitu sudah memasuki usia akil balik atau siklus menstruasi dimulai, maka penari wajib mapamit (berhenti jadi penari). Untuk seterusnya, prajuru banjar adat mencari lagi penari pengganti yang baru.
Asal muasal Tari Legong Keraton di Banjar Adat Pangkung, bertalian dengan dengan keberadaan gong duwe banjar adat setempat. “Ceritanya beberapa tahun pasca Kemerdekaan RI tahun 1945,” kata I Nyoman Mahardika, Kelian Adat Banjar Pangkung, Kamis (28/3). Dia menceritakan, ketika itu ada orang menawarkan menjual barungan (seperangkat) gamelan ke Banjar Pangkung Karung. Seperangkat gamelan itu duwe sebuah banjar di Bali. Tidak jelas, mengapa gamelan tersebut dijual.
Singkat kisah, krama Banjar Pangkung sepakat membeli gamelan tersebut. Maka sejak itu krama banjar ini dari mulanya tidak memiliki perangkat gamelan, jadi punya sebarung gamelan. “Akhirnya jadi meduwe gong,” lanjut Mahardika.
Sejak itulah krama Banjar Pangkung giat dan suntuk belajar magamel sehingga dengan cepat bisa menguasai gending-gending tetabuhan. Selain faktor semangat tinggi, faktor niskala atau ketakson (ketaksuan) diyakini berperan, dibalik kepiawaian krama Banjar Pangkung memainkan gamelan. “Kalau di tempat lain, belum bisa. Pangelingsir kami di sini sudah bisa memainkan tabuh dengan fasih,” ujar Mahardika, menirukan penuturan para pangelingsir.
Hal itu menjadikan Gong Banjar Pangkung menjadi kaloktah (terkenal) ke lain desa. Berita itu sampai ke Ida Cokorda di Puri Tabanan, yang kemudian datang ke Banjar Pangkung. Ida Cokorda memberi wejangan dan dukungan kepada krama agar nangiang (membuat) Tari Legong Keraton melengkapi gamelan yang ketakson.
Atas petunjuk Ida Cokorda bersama para pangelingsir dan krama, dirintislah Tari Legong Keraton di Banjar Pangkung. “Sejak itulah dimulainya keberadaan Legong Keraton di sini (Banjar Pangkung),” lanjut Mahardika.
Sekaa gong di Banjar Pangkung diberi nama Sekaa Gong Padma Kencana. Sekaa gong ini merupakan salah satu sekaa legendaris di Bali dengan tabuh-tabuh lelambatan klasik. “Tabuh-tabuhnya ini sudah lama direkam,” tambah Mahardika, sambil menyebut salah satu perusahaan rekaman casset tempo dulu.
Jelas dia, Tari Legong Keraton Banjar Pangkung, sebagai tari wali, pementasannya bertalian dengan prosesi upacara dan yadnya Hindu Bali. Diantaranya, pujawali dan upacara keagamaan yang lain. Terutama pada pujawali di Pura Ratu Made, Pura Dangin Bingin dan Pura Beji Taman Sari di Banjar Pangkung. “Kalau pujawali atau piodalan, tarian ini pasti masolah,” ungkap Mahardika, diiyakan Jro Mangku Istri Made, pemangku istri Pura Ratu Made. “Karena nunas (mohon) taksunya di dua pura itu,” tambah Jro Mangku Istri Made.
Selain dipentaskan untuk mengiringi pujawali, Tari Legong Keraton Banjar Pangkung, juga kerap katuran (ditanggap) untuk naur sesangi (membayar kaul) dalam kegiatan mayadnya (upacara). Diantaranya, upacara Telu Bulanan, perkawinan, dan lainnya.
Penari Legong Keraton Banjar Pangkung terdari 3 orang. Dari tiga itu, 2 orang sebagai penari wadon dan seorang penari lanang. Mereka diawali latihan – latihan agem dasar. Pelatihnya adalah para senior atau penari sebelumnya yang sudah mapamit. Bila dinilai sudah paham agem-agem dasar, barulah nanti dicarikan penguruk. “Biasanya dari kalangan sarjana seni tari lulusan ISI Denpasar,” ungkap Mahardika dibenarkan Jro Mangku Istri Made.
Kebetulan sekarang ini di Banjar Pangkung, ada mantan penari yang sebelumnya melanjutkan sekolah ke STSI (eks ISI Denpasar). Yang bersangkutan, melatih penari-penari penggantinya.
Sebagai tari wali, Tari Legong Keraton sekaligus merupakan tari maskot Banjar Pangkung. Karena itulah krama Banjar Pangkung menjaga tari ini berkesinambungan. “Ini sudah menjadi tari maskot Banjar Pangkung,” kata Mahardika.
Tidak saja dalam konteks pelestarian sakala atau nyata sebagai karya seni, kesinambungan juga berkait sisi niskala yakni keberadaan taksu dari Tari Legong Keraton Banjar Pangkung. “Karena pernah ada petunjuk niskala untuk pelestarian seperti itu,” ucap Mahardika. Dalam beberapa persoalan yang muncul di banjar adat sampai muncul pawisik, yang intinya agar Tari Legong Keraton Banjar Pangkung ketangiang (dipentaskan).
Oleh karena itu pula, pada Hari Pagerwesi, Buda Kliwon Sinta, Rabu (30/3), krama Banjar Pangkung menggelar upacara Nangiang dan Melaspas Tari Legong Keraton. Upacara ini dihadiri Bupati Tabanan I Komang Gede Sanjaya. *nata
Komentar