Berbasis Seni Patung dan Tato ke Bonsai Surealis
Wayan Dona, Kreator Bonsai dari Desa Kemenuh, Gianyar
Pada Bonsai berbahan Waru ini, Wayan Dona tak sekadar membentuk, tapi mencipta personal-stream (pengayaan pribadi) yang lebih evolutif dan independen.
GIANYAR, NusaBali
Wayan Dona,41, seniman patung dan tato dari Banjar Medahan, Desa Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Berbasis seni itu, petualangan artistiknya kian meluas. Kini dia dikenal sebagai kreator Bonsai yang disegani para penghobi, penikmat hingga kolektor. Nafas karya-karyanya pun keluar dari ‘jebakan’ seni Bonsai umum yang masih mapan, konvensional, bahkan ortodok. Maka aliran surealis atau postmodern kini jadi kekuatan kreasinya.
Jika menyimak deretan karya-karya Bonsai di rumahnya, Wayan Dona menampakkan kematangan dalam proses maupun kreasi Bonsainya. Tak sebagaimana Bonsai komersil umumnya, karya-karya Wayan Dona makin keluar dari ‘permainan’ gaya-gaya natural/alamiah atau aliran ekspresionis yang lebih bertumpu pada personal kreator. Karya-karya Wayan Dona cenderung bebas dan sarat nafas aliran surealis atau postmodern. Dalam aliran ini, pohon ditumbuhkan pada media tak wajar, dijungkir, instalatif, namun tetap tumbuh subur, estetik, dan futuristik (bermasa depan). Aliran ini makin kuat tatkala mampu memantik multi makna di benak audiens.
Bonsai ‘Cedik’, misalnya, karya terbaru Wayan Dona merepresentasikan diri seakan-akan ingin lepas dari Bonsai mainstream yang kaku bahkan cenderung hegemonik. Pada Bonsai berbahan Waru ini, Wayan Dona tak sekadar membentuk, tapi mencipta personal-stream (pengayaan pribadi) yang lebih evolutif dan independen. Aliran ini memberi ruang lebih bebas untuk merespon pelbagai kemungkinan ekspresi rupa Bonsai masa depan.
Wayan Dona kesemsem dengan dunia Bonsai sejak tahun 1998, saat masih kelas 2 di SMA PGRI Blahbatuh, Desa/Kecamatan Blahbatuh Gianyar. Hobinya itu membimbing dia berkenalan dengan Mohamad Tawi (almarhum tahun 2000), Ketua PPBI (Perhimpunan Penggemar Bonsai Indonesia) Cabang Bali di Denpasar kala itu. Pakar Bonsai mudah dikenali karena punya stand Bonsai.
Dia rajin menyimak ilmu tuturan dari Mohamad Tawi, lanjut praktik secara intens, terutama dalam hal bentuk dan gaya otentik sebuah Bonsai. Biasanya ‘kuliah’ perbonsaian dilakoni sepulang sekolah, berlanjut saat kuliah di Jurusan Perhotelan, Akademi Pariwisata (Akpar) Mapindo, Denpasar. ‘Jiwa’ pohon kerdil nan indah itu pun makin didalami. ‘’Ada sekitar 50 persen ilmu Bonsai, sumbangan Pak Tawi untuk saya. Meski semua itu baru basis tentang anatomi dan olah seni Bonsai,’’ kenang mantan pekerja kapal pesiar 2000 - 2011 ini, Rabu (6/4) lalu.
Wayan Dona menemukan tiga basis pendorong dirinya untuk selalu belajar perbonsaian yakni ‘tak tahu’, pengalaman, dan salah. Karena semua orang belajar berawal dari tak tahu, lanjut mendalami pengalaman, dan berproses hingga mampu memperbaiki setiap kesalahan.
Setelah lulus Akpar, dia bekerja ke luar negeri 11 tahun di kapal pesiar. Akibatnya, banyak Bonsainya mati karena tak terurus.
Sekitar tahun 2015 dia kembali menekuni hobi Bonsai. Seorang kreator bonsai seperti Wayan Dona tentu tak cukup bermodal hobi. Dia kerap holic, semacam ‘kemabukan’ sebagai efek psikis atas kesuntukan kreatif yang tak jarang berbuah lupa diri.
Karena semua serpihan pikirannya berdialog hingga larut pada titik estetik dan anatomi pohon. Kondisi ini biasanya ditandai, antara lain, sering lambat makan dan ngulik Bonsai hingga malam. Lebih parah lagi kelupaan pada diri menjadi-jadi, tatkala Bonsai yang dikreasi makin menunjukkan proporsi ideal. Semisal, subur, estetik, mengagumkan, dan bernilai kebaruan.
Versi Wayan Dona, problem terberat dalam berkreasi seni Bonsai yakni sifat makhluk hidup yang bisa mati. Oleh karena itu, dirinya telah menjadikan karya-karya Bonsainya bagian dari khasanah kehidupan keluarga. Ia (bonsai) membutuhkan perhatian dengan keikhlasan sempurna. Tatkala ada perilaku salah asuh, maka Bonsai tak bisa protes. Ia hanya menunjukkan tanda-tanda sebagaimana di alam, misal sakit dengan layuh dan daun menguning. Apalagi, sebuah Bonsai yang ideal mesti dirawat secara baik dan benar, minimal 10 tahun. ‘’Bonsai itu benda hidup yang tak bergerak dan tak bisa bicara, itu lah letak sulitnya merawat Bonsai,’’ jelas laki-laki bertato ini.
Tak cukup itu, menurut Wayan Dona, ada banyak hal tak kalah sulit dalam dunia perbonsaian. Dari sisi subjek atau pelaku, ‘pengakuan jati diri’ adalah sebuah keniscayaan yang ingin dicapai para kreator hingga kolektor Bonsai. Namun hal itu tak mudah untuk diraih. Oleh karena itu, apa pun predikat orang dalam dunia Bonsai, baik kreator, trainer, penghobi, dan istilah lainnya, mesti rajin sharing ilmu demi kematangan diri dan Bonsainya.
Wayan Dona meyakini Bonsai adalah sebuah produk budaya masyarakat yang dapat meraih ruang lebar di hati orang Bali. Terbukti, penggemar, kreator, penikmat, penghobi, hingga kolektor Bonsai makin banyak di Bali. Kondisi ini menandakan orang Bali amat menghargai seni. Dia pun mengasosiasikan praktik kehidupan orang Bali adalah seni. Seperti memasak, mengasuh anak, ngayah, majejahitan, matanding banten, dan lain-lain. Karena itu pula, Bonsai menjadi salah satu bagian terunik dari kehidupan.
Menurut Wayan Dona, semakin banyak orang menghargai karya seni dan berjiwa seni, maka harga Bonsai makin fantastis. Tak salah, Bonsai menjadi representasi budaya dari pergulatan paduan seni, hobi, investasi, hingga gaya hidup. Dia merasakan sisi investasi Bonsai di Bali menguat sejak enam tahun lalu. Semua itu ditopang dengan seringnya ada kontes, pameran, lengkap dengan bursa Bonsai di Bali. Di setiap kabupaten/kota di Bali ada cabang-cabang PPBI, maka ‘pemain’ Bonsai makin banyak. Stand Bonsai baik langsung dan virtual menjamur.
Dia berharap Bali, khususnya Gianyar, punya museum bonsai.
Karena meseum sangat bermanfaat sebagai wahana mengedukasi masyarakat tentang banyak hal. Mulai dari keragaman hayati bidang tetumbuhan, seni tentang sifat dan khazanah alam, wisata sumber daya hayati, dan lainnya. Museum ini juga belum ada di Indonesia. Terlepas siapa yang mampu mewujudkan, dia menyadari cita-cita itu terlalu ‘besar’. Karena perlu biaya besar, harus mencari koleksi atau memuseumkan Bonsai yang menyandang nama dan reputasi besar. Harga bonsai kategori lolos dimuseumkan juga pasti besar, ditambah biaya merawat juga besar.
Oleh karena itu, dia merasa lebih lapang untuk berharap sebatas gallery Bonsai, garden Bonsai, atau semacam konservatori hayati. ‘’Jujur saja, saya belum berangan-angan atau harapan yang terlalu tinggi seperti pada museum Bonsai itu,’’ jelas laki-laki kelahiran 12 Juni 1981 ini sembari tersenyum.
Dia mengaku telah sampai pada obsesi sederhana yang bermanfaat untuk orang banyak. Bentuknya, intens berbagi ilmu dan pengalaman tentang perbonsaian melalui channel youtube ‘Bonsai Element’ miliknya. Channel ini membahas tuntas tentang kegairahan diri dan publishing tentang kemahiran para senior Bonsai di Bali.
Menurut dia, bonsai merupakan salah satu budaya adopsi dari luar negeri, yakni China dan lanjut ngepop di Jepang. Namun demikian, Bonsai juga harus dikembangkan dengan gaya Indonesia yang berkarakter alam tropis. Dia bangga tatkala jika pohon luar negeri, yang menurut mindset umum ‘pasti mati ditanam di Indonesia’, bisa hidup subur dan jadi bonsai menarik. Misalkan, Cemara Jepang dianggap tabu di Indonesia karena habitatnya sejuk seperti di Jepang dan China. Dia coba menanam berkali-kali, dan mati. Namun seiring kesabaran dan ketelatenan merawat, kini dia punya ratusan bahan Bonsai Cemara Jepang, setengahnya layak jadi Bonsai. Rahasianya, kata dia, hanya ubah media tanam dan mindset tentang pohon mati, maka pohon akan beradaptasi. ‘’Saya jadi bangga karena Bonsai Cemara Jepang ini nggak ada pada pameran Bonsai di Bali,’’ ujarnya. Dalam pendalaman dunia Bonsai, dia mengaku mendapat dukungan dari Penasihat PPBI Cabang Gianyar I Wayan Artana dan Ketua PPBI Cabang Gianyar Gusti Bagus Adi Widhya Utama alias Bem.*wilasa
Wayan Dona,41, seniman patung dan tato dari Banjar Medahan, Desa Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Berbasis seni itu, petualangan artistiknya kian meluas. Kini dia dikenal sebagai kreator Bonsai yang disegani para penghobi, penikmat hingga kolektor. Nafas karya-karyanya pun keluar dari ‘jebakan’ seni Bonsai umum yang masih mapan, konvensional, bahkan ortodok. Maka aliran surealis atau postmodern kini jadi kekuatan kreasinya.
Jika menyimak deretan karya-karya Bonsai di rumahnya, Wayan Dona menampakkan kematangan dalam proses maupun kreasi Bonsainya. Tak sebagaimana Bonsai komersil umumnya, karya-karya Wayan Dona makin keluar dari ‘permainan’ gaya-gaya natural/alamiah atau aliran ekspresionis yang lebih bertumpu pada personal kreator. Karya-karya Wayan Dona cenderung bebas dan sarat nafas aliran surealis atau postmodern. Dalam aliran ini, pohon ditumbuhkan pada media tak wajar, dijungkir, instalatif, namun tetap tumbuh subur, estetik, dan futuristik (bermasa depan). Aliran ini makin kuat tatkala mampu memantik multi makna di benak audiens.
Bonsai ‘Cedik’, misalnya, karya terbaru Wayan Dona merepresentasikan diri seakan-akan ingin lepas dari Bonsai mainstream yang kaku bahkan cenderung hegemonik. Pada Bonsai berbahan Waru ini, Wayan Dona tak sekadar membentuk, tapi mencipta personal-stream (pengayaan pribadi) yang lebih evolutif dan independen. Aliran ini memberi ruang lebih bebas untuk merespon pelbagai kemungkinan ekspresi rupa Bonsai masa depan.
Wayan Dona kesemsem dengan dunia Bonsai sejak tahun 1998, saat masih kelas 2 di SMA PGRI Blahbatuh, Desa/Kecamatan Blahbatuh Gianyar. Hobinya itu membimbing dia berkenalan dengan Mohamad Tawi (almarhum tahun 2000), Ketua PPBI (Perhimpunan Penggemar Bonsai Indonesia) Cabang Bali di Denpasar kala itu. Pakar Bonsai mudah dikenali karena punya stand Bonsai.
Dia rajin menyimak ilmu tuturan dari Mohamad Tawi, lanjut praktik secara intens, terutama dalam hal bentuk dan gaya otentik sebuah Bonsai. Biasanya ‘kuliah’ perbonsaian dilakoni sepulang sekolah, berlanjut saat kuliah di Jurusan Perhotelan, Akademi Pariwisata (Akpar) Mapindo, Denpasar. ‘Jiwa’ pohon kerdil nan indah itu pun makin didalami. ‘’Ada sekitar 50 persen ilmu Bonsai, sumbangan Pak Tawi untuk saya. Meski semua itu baru basis tentang anatomi dan olah seni Bonsai,’’ kenang mantan pekerja kapal pesiar 2000 - 2011 ini, Rabu (6/4) lalu.
Wayan Dona menemukan tiga basis pendorong dirinya untuk selalu belajar perbonsaian yakni ‘tak tahu’, pengalaman, dan salah. Karena semua orang belajar berawal dari tak tahu, lanjut mendalami pengalaman, dan berproses hingga mampu memperbaiki setiap kesalahan.
Setelah lulus Akpar, dia bekerja ke luar negeri 11 tahun di kapal pesiar. Akibatnya, banyak Bonsainya mati karena tak terurus.
Sekitar tahun 2015 dia kembali menekuni hobi Bonsai. Seorang kreator bonsai seperti Wayan Dona tentu tak cukup bermodal hobi. Dia kerap holic, semacam ‘kemabukan’ sebagai efek psikis atas kesuntukan kreatif yang tak jarang berbuah lupa diri.
Karena semua serpihan pikirannya berdialog hingga larut pada titik estetik dan anatomi pohon. Kondisi ini biasanya ditandai, antara lain, sering lambat makan dan ngulik Bonsai hingga malam. Lebih parah lagi kelupaan pada diri menjadi-jadi, tatkala Bonsai yang dikreasi makin menunjukkan proporsi ideal. Semisal, subur, estetik, mengagumkan, dan bernilai kebaruan.
Versi Wayan Dona, problem terberat dalam berkreasi seni Bonsai yakni sifat makhluk hidup yang bisa mati. Oleh karena itu, dirinya telah menjadikan karya-karya Bonsainya bagian dari khasanah kehidupan keluarga. Ia (bonsai) membutuhkan perhatian dengan keikhlasan sempurna. Tatkala ada perilaku salah asuh, maka Bonsai tak bisa protes. Ia hanya menunjukkan tanda-tanda sebagaimana di alam, misal sakit dengan layuh dan daun menguning. Apalagi, sebuah Bonsai yang ideal mesti dirawat secara baik dan benar, minimal 10 tahun. ‘’Bonsai itu benda hidup yang tak bergerak dan tak bisa bicara, itu lah letak sulitnya merawat Bonsai,’’ jelas laki-laki bertato ini.
Tak cukup itu, menurut Wayan Dona, ada banyak hal tak kalah sulit dalam dunia perbonsaian. Dari sisi subjek atau pelaku, ‘pengakuan jati diri’ adalah sebuah keniscayaan yang ingin dicapai para kreator hingga kolektor Bonsai. Namun hal itu tak mudah untuk diraih. Oleh karena itu, apa pun predikat orang dalam dunia Bonsai, baik kreator, trainer, penghobi, dan istilah lainnya, mesti rajin sharing ilmu demi kematangan diri dan Bonsainya.
Wayan Dona meyakini Bonsai adalah sebuah produk budaya masyarakat yang dapat meraih ruang lebar di hati orang Bali. Terbukti, penggemar, kreator, penikmat, penghobi, hingga kolektor Bonsai makin banyak di Bali. Kondisi ini menandakan orang Bali amat menghargai seni. Dia pun mengasosiasikan praktik kehidupan orang Bali adalah seni. Seperti memasak, mengasuh anak, ngayah, majejahitan, matanding banten, dan lain-lain. Karena itu pula, Bonsai menjadi salah satu bagian terunik dari kehidupan.
Menurut Wayan Dona, semakin banyak orang menghargai karya seni dan berjiwa seni, maka harga Bonsai makin fantastis. Tak salah, Bonsai menjadi representasi budaya dari pergulatan paduan seni, hobi, investasi, hingga gaya hidup. Dia merasakan sisi investasi Bonsai di Bali menguat sejak enam tahun lalu. Semua itu ditopang dengan seringnya ada kontes, pameran, lengkap dengan bursa Bonsai di Bali. Di setiap kabupaten/kota di Bali ada cabang-cabang PPBI, maka ‘pemain’ Bonsai makin banyak. Stand Bonsai baik langsung dan virtual menjamur.
Dia berharap Bali, khususnya Gianyar, punya museum bonsai.
Karena meseum sangat bermanfaat sebagai wahana mengedukasi masyarakat tentang banyak hal. Mulai dari keragaman hayati bidang tetumbuhan, seni tentang sifat dan khazanah alam, wisata sumber daya hayati, dan lainnya. Museum ini juga belum ada di Indonesia. Terlepas siapa yang mampu mewujudkan, dia menyadari cita-cita itu terlalu ‘besar’. Karena perlu biaya besar, harus mencari koleksi atau memuseumkan Bonsai yang menyandang nama dan reputasi besar. Harga bonsai kategori lolos dimuseumkan juga pasti besar, ditambah biaya merawat juga besar.
Oleh karena itu, dia merasa lebih lapang untuk berharap sebatas gallery Bonsai, garden Bonsai, atau semacam konservatori hayati. ‘’Jujur saja, saya belum berangan-angan atau harapan yang terlalu tinggi seperti pada museum Bonsai itu,’’ jelas laki-laki kelahiran 12 Juni 1981 ini sembari tersenyum.
Dia mengaku telah sampai pada obsesi sederhana yang bermanfaat untuk orang banyak. Bentuknya, intens berbagi ilmu dan pengalaman tentang perbonsaian melalui channel youtube ‘Bonsai Element’ miliknya. Channel ini membahas tuntas tentang kegairahan diri dan publishing tentang kemahiran para senior Bonsai di Bali.
Menurut dia, bonsai merupakan salah satu budaya adopsi dari luar negeri, yakni China dan lanjut ngepop di Jepang. Namun demikian, Bonsai juga harus dikembangkan dengan gaya Indonesia yang berkarakter alam tropis. Dia bangga tatkala jika pohon luar negeri, yang menurut mindset umum ‘pasti mati ditanam di Indonesia’, bisa hidup subur dan jadi bonsai menarik. Misalkan, Cemara Jepang dianggap tabu di Indonesia karena habitatnya sejuk seperti di Jepang dan China. Dia coba menanam berkali-kali, dan mati. Namun seiring kesabaran dan ketelatenan merawat, kini dia punya ratusan bahan Bonsai Cemara Jepang, setengahnya layak jadi Bonsai. Rahasianya, kata dia, hanya ubah media tanam dan mindset tentang pohon mati, maka pohon akan beradaptasi. ‘’Saya jadi bangga karena Bonsai Cemara Jepang ini nggak ada pada pameran Bonsai di Bali,’’ ujarnya. Dalam pendalaman dunia Bonsai, dia mengaku mendapat dukungan dari Penasihat PPBI Cabang Gianyar I Wayan Artana dan Ketua PPBI Cabang Gianyar Gusti Bagus Adi Widhya Utama alias Bem.*wilasa
1
Komentar