SPI Tuding PMK Akibat Impor Daging Sapi
Nilai kerugian Indonesia akibat merebaknya PMK sebesar Rp 11,6 triliun
JAKARTA, NusaBali
Serikat Petani Indonesia (SPI) menduga Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang menyerang hewan ternak di Indonesia berasal dari impor daging sapi yang meningkat beberapa waktu terakhir.
Ketua Umum SPI Henry Saragih mengatakan Indonesia sebenarnya sudah bebas PMK sejak tahun 90-an. Namun, virus ini kembali muncul seiring dengan meningkatnya impor daging sapi.
"Virus PMK ini muncul diduga karena impor daging, sapi, dan ternak lainnya dari luar yang meningkat dari negara-negara yang masih ada zonasinya wabah PMK, " kata Henry dalam keterangan resmi, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Kamis (12/5).
Data Badan Pusat Statistik (BPS), kata Henry, mencatat impor daging sapi mencapai 273,53 ribu ton atau naik 22,4 persen pada 2021 dibandingkan tahun sebelumnya yang cuma 223,42 ribu ton.
"Nilai impor daging sapi pun menjadi US$948,37 juta atau sekitar Rp13,64 triliun pada 2021. Jumlah ini naik 35,83 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar US$698,18 juta," katanya.
Sementara itu, Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi (P3A) SPI Qomarun Najmi mengatakan salah satu cara untuk memastikan PMK pada daging atau hewan ternak adalah melihat strain virus yang ada di komoditas atau hewan tersebut.
"Misalnya strain virus PMK di India sudah teridentifikasi kemudian nanti kalau strain virus di Indonesia sama dengan India berarti asalnya dari India. Artinya tetap harus ada yang bertanggung jawab terhadap munculnya PMK," kata Qomarun.
Untuk itu, ia mengingatkan pemerintah harus segera melakukan pencegahan karena virus ini sangat mudah menular.
"PMK pada sapi ini mengakibatkan kurangnya nafsu makan, demam, menggigil, menggosokkan bibir, air liurnya lebih banyak, dan gelisah. Pengobatan sekitar seminggu dua minggu bisa sembuh. Jika kondisinya sudah parah misalkan sampai kuku lepas itu mending dipotong saja untuk dikonsumsi," jelas Qomarudin.
Rugi Rp 11,6 T
Sementara itu, Kementerian Pertanian (Kementan) memproyeksi kerugian ekonomi Indonesia akibat wabah PMK tembus Rp11,6 triliun. Proyeksi kerugian tersebut belum termasuk potensi kerugian peternak, industri dan masyarakat secara keseluruhan. Hasil studi tersebut tercantum dalam Pedoman Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia Seri: Penyakit Mulut dan Kuku.
Kerugian ekonomi ini terjadi secara langsung pada sistem produksi peternakan, seperti akan terjadinya penurunan produksi susu, infertilitas, aborsi, kematian, penurunan produktivitas kerja dan penurunan berat badan.
Selain itu, kerugian akibat program pengendalian dan penanggulangan khususnya tindakan pemberantasan (depopulasi) serta hilangnya kesempatan ekspor dan pengaruh bagi industri pariwisata, juga akan timbul.
"Sementara, pengaruh sosial yang penting untuk diperhatikan adalah gangguan bagi aktivitas masyarakat pada saat pelaksanaan program pemberantasan penyakit," tulis pedoman tersebut, Kamis (12/5).
Wabah PMK juga akan mempengaruhi tenaga kerja di bidang peternakan maupun bidang lain yang terpengaruh oleh wabah. Tidak hanya itu, pedoman tersebut juga menyebut pada tingkat individu dan keluarga terutama di tingkat peternak kecil, kemungkinan pengaruh sosial yang terjadi adalah meningkatnya stress akibat kehilangan hewan ternak.
Lebih lanjut, pedoman tersebut menyebut pendanaan dan kompensasi merupakan hal utama dalam program pemberantasan PMK.
"Perlunya ketersediaan dana ini harus dimuat dalam peraturan perundangan, sehingga pada saat wabah terjadi, maka dana tersebut dapat segera diakses dan digunakan," sambung pedoman. *
Ketua Umum SPI Henry Saragih mengatakan Indonesia sebenarnya sudah bebas PMK sejak tahun 90-an. Namun, virus ini kembali muncul seiring dengan meningkatnya impor daging sapi.
"Virus PMK ini muncul diduga karena impor daging, sapi, dan ternak lainnya dari luar yang meningkat dari negara-negara yang masih ada zonasinya wabah PMK, " kata Henry dalam keterangan resmi, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Kamis (12/5).
Data Badan Pusat Statistik (BPS), kata Henry, mencatat impor daging sapi mencapai 273,53 ribu ton atau naik 22,4 persen pada 2021 dibandingkan tahun sebelumnya yang cuma 223,42 ribu ton.
"Nilai impor daging sapi pun menjadi US$948,37 juta atau sekitar Rp13,64 triliun pada 2021. Jumlah ini naik 35,83 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar US$698,18 juta," katanya.
Sementara itu, Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi (P3A) SPI Qomarun Najmi mengatakan salah satu cara untuk memastikan PMK pada daging atau hewan ternak adalah melihat strain virus yang ada di komoditas atau hewan tersebut.
"Misalnya strain virus PMK di India sudah teridentifikasi kemudian nanti kalau strain virus di Indonesia sama dengan India berarti asalnya dari India. Artinya tetap harus ada yang bertanggung jawab terhadap munculnya PMK," kata Qomarun.
Untuk itu, ia mengingatkan pemerintah harus segera melakukan pencegahan karena virus ini sangat mudah menular.
"PMK pada sapi ini mengakibatkan kurangnya nafsu makan, demam, menggigil, menggosokkan bibir, air liurnya lebih banyak, dan gelisah. Pengobatan sekitar seminggu dua minggu bisa sembuh. Jika kondisinya sudah parah misalkan sampai kuku lepas itu mending dipotong saja untuk dikonsumsi," jelas Qomarudin.
Rugi Rp 11,6 T
Sementara itu, Kementerian Pertanian (Kementan) memproyeksi kerugian ekonomi Indonesia akibat wabah PMK tembus Rp11,6 triliun. Proyeksi kerugian tersebut belum termasuk potensi kerugian peternak, industri dan masyarakat secara keseluruhan. Hasil studi tersebut tercantum dalam Pedoman Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia Seri: Penyakit Mulut dan Kuku.
Kerugian ekonomi ini terjadi secara langsung pada sistem produksi peternakan, seperti akan terjadinya penurunan produksi susu, infertilitas, aborsi, kematian, penurunan produktivitas kerja dan penurunan berat badan.
Selain itu, kerugian akibat program pengendalian dan penanggulangan khususnya tindakan pemberantasan (depopulasi) serta hilangnya kesempatan ekspor dan pengaruh bagi industri pariwisata, juga akan timbul.
"Sementara, pengaruh sosial yang penting untuk diperhatikan adalah gangguan bagi aktivitas masyarakat pada saat pelaksanaan program pemberantasan penyakit," tulis pedoman tersebut, Kamis (12/5).
Wabah PMK juga akan mempengaruhi tenaga kerja di bidang peternakan maupun bidang lain yang terpengaruh oleh wabah. Tidak hanya itu, pedoman tersebut juga menyebut pada tingkat individu dan keluarga terutama di tingkat peternak kecil, kemungkinan pengaruh sosial yang terjadi adalah meningkatnya stress akibat kehilangan hewan ternak.
Lebih lanjut, pedoman tersebut menyebut pendanaan dan kompensasi merupakan hal utama dalam program pemberantasan PMK.
"Perlunya ketersediaan dana ini harus dimuat dalam peraturan perundangan, sehingga pada saat wabah terjadi, maka dana tersebut dapat segera diakses dan digunakan," sambung pedoman. *
Komentar