Sertifikatkan Tanah Teba, Bendesa Disomasi Krama
GIANYAR, NusaBali
Bendesa Adat Demayu, Desa Singakerta, Kecamatan Ubud, Gianyar, Dr Ir I Ketut Suamba MP disomasi oleh kramanya sendiri.
Surat peringatan ini dilayangkan oleh Mangku I Made Sukarta,60, terkait penyertifikatan tanah teba atas nama desa adat. Selaku pewaris, Mangku Sukarta merasa keberatan. Menurutnya Bendesa keliru menafsirkan Awig-awig Desa Adat Demayu yang telah dicatatkan pada lembaran daerah Kabupaten Gianyar Nomor 8 Tahun 1993 tertanggal 15 Juli 1993 pada Sarga III Sukerta Tata Pakraman Palet 5 Indik Druwen Desa Pawos 24.
Bahwa padruwen desa antara lain Kahyangan Tiga, pelaba pura, setra adat Demayu dan setra Adat Semana, dan piranti desa berupa bale Banjar dan wangunan di desa adat. "Dalam ketentuan awig-awig ini, sama sekali tidak mengatur bahwa tanah teba milik krama desa merupakan padruwen desa adat," beber Mangku Made Sukarta, Selasa (17/5).
Jika pun dikaitkan dengan Pararem Desa Pakraman Demayu Nomor 22/DPD/VIII/2015 tentang Hak dan kewajiban Krama tamiu serta kontribusi kontrak alih fungsi tanah ayahan desa, lahan sawah dan tegalan juga tidak diatur. Khususnya pada poin a, bahwa karang ayahan desa yang terdiri dari utama mandala sebagai tempat suci, madya Mandala sebagai tempat tinggal dan nista Mandala (Teba) merupakan aset desa.
"Aset desa tidaklah boleh dimaknai sempit sebagai penguasaan atas dasar hak milik oleh desa adat. Terlebih sampai merugikan pihak lain. Sehingga sangat jelas bahwa tindakan Bendesa memohonkan sertifikat tanah Teba milik keluarga kami dengan mengatasnamakan kepentingan desa adat Demayu adalah perbuatan yang tidak berdasar serta melewati kapasitas dan kepentingan dari Desa Adat Demayu," tegas praktisi elektronik ini.
Sepengetahuan Mangku Sukarta ada sekitar 50 krama yang tanah Teba-nya dimohonkan sertifikat atas nama Desa Adat Demayu. Dari jumlah ini, dua krama yang keberatan termasuk keluarga Mangku Sukarta. "Sebagian besar kemungkinan enggan berurusan. Padahal ini perlu diperjuangkan. Karena keluarga secara turun-temurun berdasarkan kenyataan telah menguasai secara fisik bidang tanah teba ini. Bahkan sudah lebih dari 80 tahun," jelasnya.
Atas penguasaan tersebut pula setiap tahunnya Mangku Sukarta membayar kewajiban pajak bumi bangunan (PBB) atas objek tanah seluas 3.150 meter persegi. Mangku Sukarta tak berharap polemik ini sampai ke ranah pengadilan. Pihaknya hanya berharap, Bendesa mencabut atau membatalkan permohonan pensertifikatan tanah teba milik krama. "Agar dikembalikan pada marwah awig-awig," ujarnya.
Sebelum somasi ini dilayangkan, Mangku Sukarta mengaku sudah mencoba melakukan pendekatan secara persuasif sejak awal tahun 2021 lalu. Namun hingga akhir tahun tidak ada kejelasan. "Bendesa sempat memohon waktu untuk menjelaskan, namun dari komunikasi kami tidak kunjung membuahkan kejelasan," ujar Mangku Sukarta. Maka itu, jika somasi pertama tak digubris, maka minggu depan akan dikirimkan kembali somasi kedua.
"Jika tetap bersikukuh maka demi melindungi hak keluarga, kami akan mengupayakan tuntutan hukum dari segala aspek baik pidana maupun perdata," ungkapnya. Dikonfirmasi terpisah, Bendesa Adat Demayu, Ketut Suamba mengatakan sudah menerima surat somasi pertama tersebut. Bendesa Ketut Suamba mengaku tidak akan goyah. Sebab permohonan pensertifikatan tanah teba ini sudah merupakan kesepakatan krama. "Kami dari Bendesa jalankan pararem yang ada. Karena tanah ayahan desa termasuk teba itu dari isi pararem. Sudah dibuat tahun 2015. Jadi kita tetap mohonkan sertifikat," tegasnya.
Bendesa Ketut Suamba pun menegaskan tidak mungkin membatalkan permohonan pensertifikatan. Sebab sudah atas kesepakatan semua krama dan diatur dalam pararem. "PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) 2018 itu kan program Presiden Jokowi, kami selaku Bendesa sudah melakukan sosialisasi," terangnya. Bendesa Ketut Suamba menjelaskan pensertifikatan ini baik untuk generasi penerus. Mengantisipasi tindakan jual beli.
"Atas namanya saja desa adat, yang memanfaatkan tetap krama yang menempati. Tujuannya supaya tanah itu tidak dijual. Misal disewa itu silahkan, yang memanfaatkan yang menempati," terangnya. Bendesa Ketut Suamba pun mengaku akan tetap mempertahankan pararem. "Supaya lahan tetap ajeg. Jadi kalau sampai dijual generasi ini, berarti tidak berkelanjutan kewajiban ayah-ayahan krama di kemudian hari," ujarnya. Atas somasi yang dilayangkan, Bendesa Ketut Suamba mengatakan akan menjawab usai rapat. "Sedang kita rapatkan, yang jelas desa adat tetap bertahan. Ini bukan keputusan saya sendiri, ada Sabha Desa. Sudah diputuskan dalam rapat, sudah berlaku sejak 2015," tegasnya. *nvi
1
Komentar