Apakah Restorative Justice Berarti ‘Tidak Jadi’ Dihukum?
SURAT kabar yang terbit di Bali tanggal 14 April 2022, hampir semua memuat berita mengenai restorative justise atau keadilan restoratif.
Harian Nusa Bali menampilkan berita dengan judul cukup menarik: ‘Keadilan Restoratif Pekak Suarsa ‘Tak Jadi’ Dihukum’. Perkara ini bermula ketika I Wayan Suarsa mencuri sepeda motor milik I Wayan Nuada, asal desa Pujungan.
Atas perbuatan yang dilakukan ayah tiga anak dan tiga orang cucu ini seharusnya dituntut karena tindak pidana pencurian. Tetapi pihak Kejari Tabanan justru melakukan penghentian penuntutan karena tindak pidana ini dinilai memenuhi syarat diselesaikan melalui keadilan restoratif berdasarkan Peraturan Jaksa Agung No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan restorative justice jo Surat Edaran Jaksa Agung No 01/E/EJP/02/2022 tentang Pelaksanaan Penuntutan Keadilan Restoratif. Pertanyaannya, apakah penyelesaian tindak pidana melalui restorative justice atau keadilan restoratif berarti seseorng ‘tidak jadi’ dihukum? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut, terlebih dahulu perlu dipaham asal-usul yang namanya restorative justice.
Restorative Justice atau keadilan restoratif mulai dikenal pada tahun 1960-an sebagai penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan. Munculnya keadilan restoratif didorong oleh perpaduan antara gerakan sosial, praktik peradilan, serta penelitian dan teori ilmiah. Pada tahun 1970-an dan 1980-an lahir berbagai teori ilmiah dan penelitian-penelitian yang penting dalam sejarah perkembangan keadilan restoratif. Keadilan restoratif kemudian didefinisikan sebagai proses dimana pihak-pihak yang berkepentingan, memecahkan bersama cara mencapai kesepakatan pasca terjadinya suatu tindak pidana, termasuk implikasi hukumnya dikemudian hari. Keadilan restoratif sangat mengutamakan pemulihan kembali kepada keadaan semula sebelum terjadinya tindak pidana. Secara prosedural penyelesaian perkara diluar pengadilan dengan penerapan keadilan restoratif ini dilakukan dengan cara musyawarah dengan tidak mengurangi rasa keadilan dari pihak-pihak yang bersengketa.
Dalam hukum positif di Indonesia, ketentuan keadilan restoratif dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, dimana disebutkan Keadilan restoratif sebagai “penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan”.
Prinsip keadilan restoratif juga diatur dalam Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam hubungan dengan delik aduan absolut. Ditegaskan bahwa apabila terdapat pihak yang merasa dirugikan dapat mencabut aduannya sebagai dasar untuk menghentikan proses penanganan perkara oleh aparat penegak hukum.
Secara khusus terdapat beberapa aturan terkait penyelesaian pidana dengan keadilan restoratif di Indonesia, mulai dari tingkat kepolisian mengacu pada Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No.8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, tingkat kejaksaan mengacu pada Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, serta pada tingkat Pengadilan mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
Penerapan Keadilan Restoratif baik oleh Kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan diharapkan mampu lebih mempertimbangkan rasa keadilan untuk korban dan pelaku. Pelaku akan didorong untuk memperhatikan pemulihan (memberdayakan korban) dengan mementingkan terpenuhinya kebutuhan materiil, emosional, dan sosial korban. Melalui keadilan restoratif ini baik pelaku maupun korban diarahkan untuk mampu mencapai hasil kesepakatan yang menyelesaikan permasalahan tanpa melewati prosedur hukum pidana yang berlaku.
Pemulihan kembali pada keadaan semula menjadi lebih mudah untuk dilakukan demikian juga dapat memangkas proses penyelesaian perkara melalui prosedural formal sehingga mampu mencegah terjadinya penumpukan perkara di pengadilan. Selain itu melalui penerapan keadilan restoratif juga diharapkan mampu menjadi salah satu solusi permasalahan kelebihan beban yang saat ini terjadi dan dialami oleh Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan di Indonesia.
Terkait dengan syarat-syarat penerapan keadilan restoratif dapat dilihat dalam beberapa aturan seperti pada tingkat kepolisian diatur pada ketentuan Pasal 3 sampai dengan Pasal 10 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No.8 Tahun 2021. Pada ketentuan Pasal 3 diatur bahwa penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif harus memenuhi persyaratan umum dan/atau khusus. Persyaratan umum berlaku untuk penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif pada kegiatan penyelenggaraan fungsi reserse kriminal, penyelidikan atau penyidikan dan persyaratan khusus berlaku untuk penanganan perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif pada kegiatan penyelidikan atau penyidikan.
Persyaratan umum sebagaimana dimaksud Pasal 3 dibagi menjadi syarat materiil (Pasal 5) yang meliputi: tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak bersifat radikalisme dan separatisme, bukan pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan dan bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi dan tindak pidana terhadap nyawa orang. Syarat formil (Pasal 6) meliputi: perdamaian dari kedua belah pihak, kecuali untuk tindak pidana narkoba dan pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, kecuali untuk tindak pidana narkoba. Dalam Pasal 7 diatur mengenai persyaratan khusus yang merupakan persyaratan tambahan untuk Tindak Pidana: informasi dan transaksi elektronik, narkoba dan lalu lintas.
Dalam Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 mengenai syarat penghentian penuntutan diatur dalam Pasal 4 sampai Pasal 6. Mengacu pada ketentuan Pasal 4, dapat diketahui bahwa penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan dengan memperhatikan kepentingan kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, respon dan keharmonisan masyarakat dan kepatutan kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam Pasal 5 ditegaskan bahwa perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif dalam hal terpenuhi syarat-syarat meliputi tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau dianggap dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun dan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Sementara pada Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2012 khususnya dalam Pasal 2 ayat 2 diatur bahwa apabila nilai barang atau uang tersebut tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) Ketua Pengadilan segera menetapkan hakim tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan dalam Pasal 2 ayat 3 diatur bahwa apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, Ketua pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa restorative justice atau keadilan restoratif tidak identik dengan “tidak jadi” dihukum. Hakikat dari keadilan restoratif pada dasarnya adalah pengutamaan pemulihan atau restorasi bagi semua pihak yang terkena dampak dari suatu tindak pidana (korban, pelaku, dan masyarakat), dengan senantiasa memperhatikan kewajiban dan tanggung jawab yang muncul karena kejahatan yang dilakukan. Penerapan keadilan restoratif pada setiap tingkatan proses penegakan hukum pada sistem peradilan pidana diharapkan mampu membawa dan mewujudkan proses penyelesaian perkara yang berkesesuaian (semakin mendekati) dengan tujuan hukum yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. (Kadek Agus Sudiarawan SH MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana) *
Komentar