Orang Bali Tersinggung
ORANG yang gampang marah lazimnya mudah tersinggung. Memang, tak semua kemarahan diawali ketersinggungan.
Tapi, karena kemarahan mudah tersulut jadi amuk, siapa saja yang gampang tersinggung harus pintar-pintar mengontrol diri agar tidak terpelanting menjadi orang yang mengamuk. Orang mudah tersinggung dijauhi kawan, tapi disukai mereka yang senang memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan. Massa yang tersinggung gampang disusupi provokator, disulut untuk mengamuk dan merusak. Jika kita berkawan dengan orang-orang yang mudah tersinggung, tentu kita akan sering berhadapan dengan orang yang suka marah-marah.
Tapi, tersinggung itu penting, pertanda kita masih punya harga diri. Jika seseorang jelas-jelas cekikikan di depan kita mengatakan hidung kita bengkok seperti burung kakatua, ya tentu kita harus tersinggung. Jika ada yang berkomentar di depan umum bahwa kita laki-laki loyo karena sudah sepuluh tahun kawin istri tak kunjung hamil, ya pasti kita tersinggung, karena komentar itu melanggar pribadi kita. Harga diri kita dicaci, mau dirontokkan di depan orang banyak.
Maka wajar, dan penting, pemeluk Hindu tersinggung karena simbol-simbol keagamaan mereka dijungkirbalikkan, diobrak-abrik semau gue oleh mereka yang tak paham Hindu. Yang disodok bukan lagi kebenaran, tapi harga diri. Jika kemudian pemeluk Hindu tak bereaksi, tidak tersinggung, artinya mereka tak punya harga diri.
Persoalannya adalah, bagaimana mengelola ketersinggungan itu agar tidak terseret dan terpelanting menjadi kemarahan. Ini bukan perkara mudah, karena ketersinggungan itu bisa merebak ke mana-mana: muncul di sudut kota, meliuk jauh ke pelosok-pelosok desa. Akan celaka jadinya jika semua pemeluk Hindu kemudian gagal mengelola ketersinggungan itu, dan mereka menjadi murka. Pasti akan muncul provokator yang memanfaatkan ketersinggungan itu untuk membakar amuk.
Maka persoalan harus dibeberkan, ketidakpahaman harus dijernihkan. Tuntutan-tuntutan mesti diluruskan, agar orang-orang tidak mudah terjebak dalam pergulatan pembahasan masalah yang simpang siur. Mengelola ketersinggungan, mengurus kemarahan, harus diawali dengan kejernihan. Sayangnya, sungguh tak gampang menampilkan pikir, kata, dan laku jernih ketika orang terlanjur tersinggung. Siapa pun yang bisa berada di kolam yang jernih ketika tersinggung, niscaya dia akan diuntungkan oleh ketersinggungan itu.
Mari kita ambil sepotong contoh. Kita tersinggung karena ada sekolah non-Hindu yang mewajibkan anak-anak pemeluk Hindu belajar agama lain. Di sekolah yang pasti bermutu itu (kalau tidak mana mungkin banyak anak-anak Hindu sekolah ke sana), mereka tak diberi kesempatan mengikuti pendidikan agama Hindu, karena memang sekolah itu tidak menyediakannya. Jika kita tersinggung, lalu murka, kita akan ramai-ramai datang ke sekolah itu. Boleh jadi, kita akan melempar jendela, memecahkan kaca, menyulut api. Tapi bagi mereka yang bisa mengelola ketersinggungan itu akan punya pengalaman baru: sekolah itu diminati karena bagus, mengapa kita tak bikin sekolah yang lebih bagus lagi untuk menampung anak-anak Hindu? Orang bisa menuduh kita tersinggung, marah, untuk menutupi ketidakmampuan kita membangun pendidikan formal yang bagus.
Tak cukup satu contoh? Ada yang lain. Seorang anak muda, laki-laki, tersinggung setiap kali pacarnya mentraktir makan dan nonton bioskop. Dia bisa jadi pencuri untuk mendapatkan uang, agar bisa ganti mentraktir. Tapi, dia bertekad jadi pengusaha besar kelak, (sebab menjadi orang miskin sehingga terus-terusan ditraktir cewek merupakan pengalaman memalukan) itu artinya dia sedang mengelola ketersinggungan menjadi kekuatan sehat untuk merebut masa depan.
Tersinggung itu berkah Hyang Widhi. Ia memperkaya rasa, sehingga kita bisa menimbang diri sendiri dalam hubungan dengan orang lain. Ia mengajarkan seseorang untuk berpikir dan bertindak progresif. Ia membujuk kita untuk gelisah, jangan diam. Jika ada sampradaya yang mencoba-coba memelintir tradisi kita, patutlah kalau banyak orang tersinggung.
Sesungguhnya berbahagialah mereka yang bisa tersinggung, tanpa dikuntit kemarahan, karena itu pertanda mereka sedang bergerak maju. Di Bali ini, di kalangan pemeluk Hindu, sanggupkah mereka tersinggung tanpa mesti menjadi marah, ketika keberadaan dan ketakwaan warisan leluhur mereka dipreteli dan diobrak-abrik? *
Aryantha Soethama
Komentar