Sastrawan Muda Berbagi Proses Kreatif di Desa Belajar
Dua sastrawan muda, Gede Putra Ariawan dan Putu Supartika, berbagi proses kreatif penulisan sastra Bali modern dan sastra Indonesia kepada puluhan mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia Universitas Pendidikan Ganesha dan siswa SMPN 1 Pupuan di Desa Belajar yang berlokasi di Desa Batungsel, Kecamatan Pupuan, Tabanan, Minggu (19/3).
TABANAN, NusaBali
Kegiatan ini diselenggarakan pengelola Desa Belajar, Wayan Artika, dan Ketua Jurusan Bahasa Indonesia Undiksha, Nyoman Astika. Diharapkan, melalui kegiatan ini semakin bertumbuh budaya literasi dan mahasiswa mampu menggali potensi dirinya.
Putra Ariawan mengaku menemukan kebahagiaan dari kegiatan menulis. Bahkan menulis baginya merupakan obat ketika dirinya terpuruk, ketika larut dalam duka, maupun ketika nasib tak bersahabat padanya. Ia bisa curhat melalui tulisan, ia bisa menyampaikan rasa marah, dan kekesalannya melalui cerpen maupun puisi. Bahkan guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Kediri Tabanan ini mampu beli cincin kawin dari kegiatan menulis cerpen dan menerbitkan buku. Ia pun berbagi tips dan motivasi kepada mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia dan siswa SMPN 1 Pupuan untuk mencari obat ketika badmood melalui tulisan. “Saya menemukan obat saat duka ketika menulis cerpen. Menulis itu membahagiakan,” kata penulis muda asal Desa Banjar Anyar, Kediri ini.
Demikian pula Supartika, penulis muda ini menemukan kebahagiaan dalam menulis. Tulisan pemuda asal Manggis Karangasem ini tidak hanya menghiasi koran lokal namun sudah tembus media nasional. Supartika mengaku uang sakunya terbantu berkat aktif menulis. “Pesan saya jangan cepat putus asa ketika cerpen ditolak media. Cobalah terus, asah imajinasi dengan banyak latihan,” pesan peraih Rancage di bidang jasa tahun 2017 ini. Supartika juga mengingatkan, menulis tidak hanya menjadi kewajiban mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia, seperti dirinya yang pilih jurusan Matematika di Undiksha justru mulai dikenal karena menulis sastra, baik cerpen berbahasa Bali maupun cerpen berbahasa Indonesia.
Sementara Wayan Artika mengaku mulai mengelola Desa Belajar sejak tahun 2008 saat lulus kuliah di Jogjakarta. Dosen di kampus Undiksha ini ingin berguna di desa sehingga pilih membangun perpustakaan di rumahnya, Desa Batungsel. “Kegiatan Desa Belajar bentuknya perpustakaan berbasis rumah tangga. Jadi rumah ini saya jadikan perpustakaan dengan ruang baca. Saya bekerjasama dengan SD di Batungsel dan masyarakat setempat,” ungkap Artika. Peraih anugerah Widya Pataka untuk kumpulan esai ‘Kembali ke Desa’ ini pada tahun 2008 perpustakaan sekolah tidak berdaya dan minat baca siswa rendah.
Sehingga di atas lahan 17 are miliknya, ia mendirikan ruang baca dan perpustakaan dengan menyediakan buku-buku yang menarik. Awalnya ia mendapat donasi dari pihak luar untuk mendirikan bangunan itu, selanjutnya ia kelola perpustakaan dengan mandiri. Keinginannya waktu itu, anak-anak sekolah dan masyarakat termotivasi untuk membaca. “Minat baca ketika itu masih rendah. Orangtua bisa beli tivi, tapi belum tumbuh budaya beli buku,” tandasnya.
Akhirnya dengan menyediakan buku-buku yang menarik, anak-anak SD di kampungnya gemar baca buku di Desa Belajar. Urusan buku, Artika mengaku melakukan seleksi ketat yakni buku menarik. Ia tak mau sembarangan atau sekadar koleksi buku untuk Perpustakaan Desa Belajar. “Koleksi sekarang hampir seribu. Kendalanya saya susah mencari buku-buku yang menarik,” tandasnya. Selain mengajak anak dan masyarakat setempat, mereka juga diajarkan komputer. Namun saat ini pembelajaran komputer tak berlanjut karena pirantinya rusak. Dalam menumbuhkan budaya literasi, Artika juga mengundang sastrawan untuk berbagi proses kreatif kepada siswa, mahasiswa, dan masyarakat. “Dukungan masyarakat Batungsel sangat besar,” ungkap Artika. * k21
Putra Ariawan mengaku menemukan kebahagiaan dari kegiatan menulis. Bahkan menulis baginya merupakan obat ketika dirinya terpuruk, ketika larut dalam duka, maupun ketika nasib tak bersahabat padanya. Ia bisa curhat melalui tulisan, ia bisa menyampaikan rasa marah, dan kekesalannya melalui cerpen maupun puisi. Bahkan guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Kediri Tabanan ini mampu beli cincin kawin dari kegiatan menulis cerpen dan menerbitkan buku. Ia pun berbagi tips dan motivasi kepada mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia dan siswa SMPN 1 Pupuan untuk mencari obat ketika badmood melalui tulisan. “Saya menemukan obat saat duka ketika menulis cerpen. Menulis itu membahagiakan,” kata penulis muda asal Desa Banjar Anyar, Kediri ini.
Demikian pula Supartika, penulis muda ini menemukan kebahagiaan dalam menulis. Tulisan pemuda asal Manggis Karangasem ini tidak hanya menghiasi koran lokal namun sudah tembus media nasional. Supartika mengaku uang sakunya terbantu berkat aktif menulis. “Pesan saya jangan cepat putus asa ketika cerpen ditolak media. Cobalah terus, asah imajinasi dengan banyak latihan,” pesan peraih Rancage di bidang jasa tahun 2017 ini. Supartika juga mengingatkan, menulis tidak hanya menjadi kewajiban mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia, seperti dirinya yang pilih jurusan Matematika di Undiksha justru mulai dikenal karena menulis sastra, baik cerpen berbahasa Bali maupun cerpen berbahasa Indonesia.
Sementara Wayan Artika mengaku mulai mengelola Desa Belajar sejak tahun 2008 saat lulus kuliah di Jogjakarta. Dosen di kampus Undiksha ini ingin berguna di desa sehingga pilih membangun perpustakaan di rumahnya, Desa Batungsel. “Kegiatan Desa Belajar bentuknya perpustakaan berbasis rumah tangga. Jadi rumah ini saya jadikan perpustakaan dengan ruang baca. Saya bekerjasama dengan SD di Batungsel dan masyarakat setempat,” ungkap Artika. Peraih anugerah Widya Pataka untuk kumpulan esai ‘Kembali ke Desa’ ini pada tahun 2008 perpustakaan sekolah tidak berdaya dan minat baca siswa rendah.
Sehingga di atas lahan 17 are miliknya, ia mendirikan ruang baca dan perpustakaan dengan menyediakan buku-buku yang menarik. Awalnya ia mendapat donasi dari pihak luar untuk mendirikan bangunan itu, selanjutnya ia kelola perpustakaan dengan mandiri. Keinginannya waktu itu, anak-anak sekolah dan masyarakat termotivasi untuk membaca. “Minat baca ketika itu masih rendah. Orangtua bisa beli tivi, tapi belum tumbuh budaya beli buku,” tandasnya.
Akhirnya dengan menyediakan buku-buku yang menarik, anak-anak SD di kampungnya gemar baca buku di Desa Belajar. Urusan buku, Artika mengaku melakukan seleksi ketat yakni buku menarik. Ia tak mau sembarangan atau sekadar koleksi buku untuk Perpustakaan Desa Belajar. “Koleksi sekarang hampir seribu. Kendalanya saya susah mencari buku-buku yang menarik,” tandasnya. Selain mengajak anak dan masyarakat setempat, mereka juga diajarkan komputer. Namun saat ini pembelajaran komputer tak berlanjut karena pirantinya rusak. Dalam menumbuhkan budaya literasi, Artika juga mengundang sastrawan untuk berbagi proses kreatif kepada siswa, mahasiswa, dan masyarakat. “Dukungan masyarakat Batungsel sangat besar,” ungkap Artika. * k21
1
Komentar